Memutus Mata Rantai Kekerasan Terhadap Anak: Islam Solusinya


Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 23 Juli 2020 tahun ini mengambil tema Anak Terlindungi, Indonesia Maju, dengan tagline #AnakIndonesiaGembiradiRumah. Berbeda dari tahun sebelumnya, karena di tengah suasana pandemi Covid-19.

Meski dalam situasi pandemi Covid-19, semangat untuk melindungi anak-anak Indonesia diharapkan tak luntur. Wakil Presiden Ma'ruf Amin memberikan pesan khusus kepada anak-anak di Tanah Air. Beliau meminta agar anak-anak Indonesia tidak sedih dan putus asa.

Namun, kondisi anak-anak di Indonesia masih sangat rentan terhadap kekerasan yang bisa mengancam masa depannya. Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual yang bukan hanya melukai fisik tapi juga psikis.

Menilik fakta yang ada, bagaimana  sebenarnya kondisi anak Indonesia hingga hari ini? Apakah sudah aman, bahagia dan terlindungi? 

Mengutip dari situs kemenpppa.go.id (23/06/2020), Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Kekerasan dan Eksploitasi, Valentina Gintings menyatakan bahwa, “Berdasarkan data SIMFONI PPA, pada 1 Januari – 19 Juni 2020 telah terjadi  3.087 kasus kekerasan terhadap anak. Di antaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual, di mana angka ini tergolong tinggi."

Selanjutnya, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2019 khususnya di satuan pendidikan, tercatat sebanyak 21 kasus pelecehan seksual dengan jumlah korban 123 anak. Dari 123 korban ini, terdapat 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki, sedangkan untuk jumlah pelaku ialah 21, yang terdiri dari 20 laki-laki dan satu perempuan. Mirisnya lagi, kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada jenjang SD, SMP dan SMA saja, melainkan juga hingga jenjang perguruan tinggi. (suara.com, 23/03/2020)

Innalillahi, miris mengetahui fakta-fakta tersebut. Ternyata, anak-anak di negeri ini masih belum aman dan terlindungi.

Kasus Kekerasan Pada Anak Tak Kunjung Usai, Apa Penyebabnya?

Ternyata masih banyak sekali kasus-kasus kekerasan yang menimpa anak dan generasi. Meski Hari Anak Nasional (HAN) sudah diperingati di Indonesia sejak tahun 1984 dengan berbagai tema, namun kondisi anak Indonesia sampai dengan hari ini belum seperti yang diharapkan. Bahkan makin memprihatinkan, karena kekerasan pada anak justru terus meningkat. Apakah penyebabnya? bahwa ada sebuah pemahaman yang salah dalam masyarakat. Ada sebuah hal yang terabaikan, termasuk dari sebagian para orang tua. 

Pemahaman tentang keberadaan anak sebagai amanah dari Allah, yang harus dijaga dan dididik dengan baik seolah lenyap dan terabaikan. Bahkan tak sedikit yang lalai dan lupa akan adanya pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak di akhirat.

Saat ini, banyak ibu yang "dipaksa" harus bekerja di luar rumah, akibat tuntutan dan tekanan ekonomi yang begitu besar. Sehingga anak-anak kehilangan sosok ibunya dalam beberapa waktu kesehariannya. Fitrah mulia yang disematkan Allah pada seorang ibu menjadi tak utuh, bahkan ada juga yang benar-benar hilang.

Tak jarang, akibat rasa lelah dan berbagai tekanan yang dirasakan seorang ibu, membuat emosi rawan tak terkendali. Hingga muncul beberapa kasus anak menjadi tempat meluapkan emosi.

Lalu, kita juga menemukan di beberapa kasus lainnya, justru ayahlah yang melakukan kekerasan kepada anaknya. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Fungsi dan fitrah seorang ayah sebagai pemimpin, pencari nafkah, pengayom dan penjaga keluarga seringkali tak terbangun. Bahkan tak jarang terbalik fungsinya dengan ibu. 

Banyak ayah yang kemudian menjadi stres. Lapangan kerja sulit didapat, sementara tuntutan hidup semakin berat. Hingga tak jarang, tangisan atau rengekan anak mampu memicu emosi dan berujung pada tindak kekerasan.

Ditambah lagi dengan gempuran konten-konten pornoaksi dan pornografi yang mengelilingi keseharian ayah, ikut memicu gejolak seksual yang berujung memunculkan aksi pencabulan dan kejahatan seksual pada anak. 

Lalu, akibat kehilangan fungsi ayah-ibu, jiwa anak menjadi kering kerontang. Ditambah minimnya pengawasan, keseharian anak dipenuhi dengan tontonan-tontonan yang sarat aksi kekerasan maupun konten-konten dewasa. Hingga banyak juga kasus kekerasan fisik maupun seksual yang terjadi antara anak. 

Hal-hal di atas, baru menjadi sebagian saja dari penyebab maraknya kekerasan pada anak. Kalau kita mau mengamati lebih dalam, masih banyak lagi penyebab lainnya.

Salah satu cara untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak adalah memberi edukasi yang intensif pada para orangtua dan lingkungan sekitar. Bahwa setiap pihak wajib melindungi anak-anak dan terlibat aktif untuk membuat lingkungan aman bagi anak. Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, resiko kekerasan pada anak sangat tinggi di daerah yang padat penduduk. Dimana tingkat kemiskinannya sangat tinggi, begitu juga eksploitasi pada anak.

Kasus kekerasan terhadap anak ini sudah menjadi tontonan tiap hari di tengah-tengah masyarakat. Yang mana kasus tersebut saat ini amat membutuhkan solusi tuntas, bukan solusi sesaat saja. Sistem kapitalis yang di emban oleh negara ini tidak akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang mendera negeri ini. Karena sistem kapitalis berasas pada sekulerisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan, sehingga apapun permasalahannya tidak mampu diselesaikan dengan tuntas karena hukum yang diambil adalah hukum buatan manusia. 

Sistem sekuler ini tidak mampu membendung situs-situs porno beredar di tengah-tengah masyarakat, karena tidak dapat dipungkiri bahwa situs-situs porno tersebut menjadi ajang bisnis yang luar biasa penghasilannya. Pun juga membiarkan perzinahan merajalela, bahkan menfasilitasinya atas nama kebebasan berperilaku.

Islam Solusi Nyata

Berbeda dengan sistem sekuler. Sistem Islam memiliki segala solusi tuntas terhadap segala problematika umat manusia termasuk kasus kekerasan seksual terhadap anak. Dalam Islam, negara memiliki tangung jawab besar terhadap penyelesaian berbagai masalah yang menimpa rakyatnya. 

Dalam mengatasi kasus kekerasan seksual terhadap anak, Islam memiliki beberapa cara. Di antaranya adalah negara berkewajiban mendorong rakyatnya per individu untuk taat terhadap aturan Allah Swt. Negara juga mengharuskan penanaman akidah Islam pada diri setiap Insan (umat). Hal ini ditempuh mulai dari pendidikan formal maupun non formal melalui beragam sarana dan institusi.

Kemudian dalam sistem ekonomi Islam, negara harus menyediakan lapangan kerja yang cukup dan layak, serta mendorong para kepala keluarga untuk dapat bekerja dan mampu menafkahi keluarganya. Sehingga tidak akan ada anak yang terlantar ataupun krisis ekonomi yang memicu munculnya kekerasan anak oleh orang tua yang stres. Para perempuan pun akan fokus pada fungsi keibuannya sebagai ummu warobatul bait dan madrasatul ula bagi generasi. Yaitu mengurus rumah tangga, juga mengasuh, menjaga, dan mendidik anak-anaknya.

Dalam sistem sosial pun negara wajib menerapkan sistem sosial yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan, sesuai dengan ketentuan syariat. Baik laki-laki maupun perempuan wajib menjaga auratnya, tidak boleh berkhalwat ataupun berikhtilat, serta menjaga pandangannya (gadhul bashar). Setiap individu juga dilarang untuk melakukan pornoaksi atau pornografi. Sehingga terhindar dari naluri seksual yang tak terkendali, yang mengancam anak dari pencabulan, kekerasan atau kejahatan seksual.

Tak sampai di situ negara juga akan menutup semua mata rantai penyebaran situs-situs porno di berbagai media yang akan mampu menimbulkan syahwat para laki-laki. Selain itu negara juga akan memberikan sanksi yang tegas dan keras terhadap pelaku. Dimana sanksi tersebut mampu memberikan efek jera bagi pelaku dan orang lain.

Oleh karena itu, jika ingin memberantas secara tuntas kekerasan kepada anak, termasuk kekerasan seksual, tidak ada pilihan lain kecuali kembali kepada aturan Allah secara kaffah. Karena Allahlah Dzat Yang Maha Tahu atas segala sesuatu, Maha Tahu apa yang terbaik untuk manusia.
Sehingga hal tersebut akan mampu mencegah terjadinya kasus kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, dan di mana pun. 
Wallahu a'lam bisshawab.[]

Oleh: Amy Mufidah
Pemerhati Masalah Anak

Posting Komentar

0 Komentar