Kriminalisasi Ajaran Islam Khilafah Merupakan Penistaan Agama dan Dapat Dipidana Berdasarkan Pasal 156a KUHP


Memahami sejarah secara benar

Belajar untuk konsisten dengan prinsip negara demokrasi memang sulit. Kendatipun telah "makan bangku" sekolah puluhan tahun belum tentu juga mampu meningkatkan daya analisis dan critical thinking seseorang. Di samping itu pemahaman seseorang bagaimana sejarah bangsanya perlu diperbaiki. Kita harus banyak membaca bagaimana perkembangan day to day, week per week, hingga tahun ke tahun bangsa ini tumbuh dan berkembang. Indonesia ada bukan turun dari langit, tiba-tiba NKRI ada tanpa proses yang melatarbelakangi. 

NKRI ada berproses bagaimana negara-negara kerajaan di bumi Indonesia ini menyatu dengan dilatarbelakangi pula oleh penerapan sistem hukum, khususnya hukum Islam. Kita tidak boleh menutup mata bagaimana hukum Islam diterapkan dan bagaimana peran negara luar khususnya Negara Arab hingga masa kekhalifahan Turki Ustmani menjelang perjuangan kemerdekaan Indonesia dari imperialisme Belanda. Bila ditelusuri lebih jauh, justru para tokoh dan ulama Islamlah yang berjibaku menginisiasi pergerakan kemerdekaan RI tanpa menafikkan peran dari tokoh dan pemimpin agama lain. 

Islam dengan segala ajarannya menentang penindasan terhadap keadilan dan kebenaran dari siapa pun dan oleh siapa pun. Itu ruh utama ajaran Islam yang datang dari Alloh langsung melalui para nabi dan rasul-Nya. Dan tidak ada keraguan terhadap kebenaran di dalamnya. 

Ajaran Islam juga Sistem Pemerintahan

Ajaran Islam itu luas, tidak hanya sekedar soal menyembah secara ritual kepada Alloh, melainkan mengatur segala bidang kehidupan manusia, dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara hingga mondial. Secara ideal demikian adanya. Namun, perkembangan masyarakat bangsa mengalami pasang surut tergantung sistem pemerintahan dunia yang menghegemoninya. 

Menurut sistem Polybios sistem sistem pemerintahan berkembang dengan siklus Monarkhi (kerajaan), Tirani, Aristokrasi, Oligarki, Demokrasi, Okhlokrasi. Polybios meramalkan setelah demokrasi sekarat akan masuk fase berikutnya yaitu okhlokrasi, yakni sistem pemerintahan negara yang dikendalikan oleh kelompok "para perusak" negara demi kepentingannya sendiri. Kelompok ini ditengarai tidak memahami cara memerintah yang baik, bodoh, dungu alias avidya. Dampaknya pasti buruk dan merusak serta menjauhkan pencapaian tujuan bangsa dan negara didirikan. Ada yang menarik, ramalan Polybios diterjemahkan oleh Ian Dallas bahwa setelah Okhlokrasi akan muncul monarkhi dan juga dapat muncul new chaliphate (kakhalifahan baru). Bahkan, hal ini sempat diramalkan oleh National Intelligence Council (NIC) AS sejak tahun 2004 yang menyatakan bahwa pada tahun 2020 ada kemungkinan munculnya sistem kekhalifahan baru.

Kita tidak mengerti secara tegas apa yang akan terjadi, tetapi jelas dapat memahami apa yang telah terjadi. Sistem pemerintahan kekhalifahan jelas pernah dijalankan di bumi ini dengan segala variasi sistem teknisnya dengan ruh utama penerapan syariat Islam selama ribuan tahun, ada yang menyebut 1300 tahun yang berakhir pada keruntuhan kekhalifahan Turki Ustmani 1924. Sistem pemerintahan dunia berubah menjadi sistem demokrasi yang berbasis pada prinsip negara bangsa (nation state). Jadi, jika diteliti sistem pemerintahan dunia dengan prinsip demokrasi itu baru berjalan belum genap 100 tahun. 

Hukum Islam bukan Hukum Terasing

Kembali kepada soal peranan kekhalifahan dunia terhadap perkembangan bangsa Indonesia. Dari mana sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara berasal? Apakah mempunyai sistem yang tumbuh dari Indonesia sendiri? Ternyata bukan. Bangsa ini mengenal cara memerintah dari ajaran Islam yang sejak abad 7 telah memasuki wilayah Indonesia. Jadi, hukum Islam telah pernah dijalankan di bumi Nusantara, yakni pada masa kerajaan atau kasultanan Islam. Inilah cikal akal adanya bangsa Indonesia. Akankah kita menolak fakta ini? Kita tidak menafikkan adanya sistem pemerintahan kerajaan yang lain yang didasarkan pada ajaran agama lain, baik Hindu maupun Budha. Hal itu juga sebuah fakta sejarah. 

Berdasar pada latar belakang penerapan hukum Islam di bumi Nusantara, maka tidak berlebihan jika di awal persiapan kemerdekaan Indonesia ada tuntutan agar Indonesia didirikan atas sistem ajaran Islam, hingga ditemukan sehuah fakta sejarah adanya PIAGAM JAKARTA (Jakarta Charter) yang sebenarnya berisi kesepakatan antara golongan Islam dengan golongan nasionalis yakni dengan rumusan sila pertama dasar negara yang berbunyi: "Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Jika diteliti, sebenarnya kalimat inilah yang tepat dan peka terhadap pluralitas warga bangsa di Indonesia bukan rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa". Jika dirumuskan "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebenarnya secara moral justru menutup diri dari ajaran ketuhanan selain Yang Maha Esa. Jadi, para perumus dasar negara di awal perumusan itu justru yang paling sesuai dengan pluralitas yang ada di Nusantara. 

Kriminalisasi Khilafah Ajaran Islam: Penistaan Agama.

Keanehan masih terus berlangsung ketika Islam dengan segala ajaran sucinya dipojokkan dengan isu terorisme dan radikalisme. Para pengemban dakwah merasa terintimidasi ketika mengajarkan seluruh ajaran Islam tanpa kecuali termasuk ajaran khilafah sebagai sistem pemerintahan menurut Islam. Sistem pemerintahan ini bukan isme atau ideologi. Tidak bisa disejajarkan dengan isme seperti kapitalisme dan komunisme. Hal inilah yang saya khawatirkan terjadi di negeri ini ketika para punggawa DPR RI menginisiasi RUU HIP. 

Untuk apa sebenarnya RUU HIP ini dibuat? Kecurigaan saya ternyata terbukti ketika fraksi-fraksi pengusungnya sengaja menolak dimasukkannya Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan larangan menganut ideologi komunisme dan marxisme-leninisme. Protes umat Islam menggema menolak RUU HIP karena penolakan Tap MPRS tersebut sebagai politik hukumnya. Perkembangan terakhir inisiator RUU HIP setuju memasukan Tap MPRS tersebut dengan syarat agar paham lain yang mengancam dan bertentangan dengan Pancasila dicantumkan juga sebagai ideologi terlarang. Sekjen PDIP menyebut ada dua ideologi yang dimaksud, yaitu Khilafahisme dan Radikalisme. 

Khilafahisme hendak disejajarkan dengan ideologi terlarang komunisme. Hal ini dapat dipandang pelecehan dan penistaan ajaran Islam. Khilafah bukan isme tapi sistem pemerintahan yang berbasis pada ideologi Islam. Mengkriminalkan ajaran Islam adalah tindakan gegabah dan menistakan agama. Jika Indonesia menyatakan belum menerima sistem kekhalifahan sebagai sistem untuk mengatur penyelenggaraan negara, tentu tidak serta merta menempatkan ajaran Islam ini sebagai isme yang dilarang dan bertentangan dengan Pancasila. Ini bukan apple to apple. 

Khilafah adalah bagian dari ajaran agama Islam di bidang politik (siyasah). Dalam hal ini ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah setelah beliau. Oleh karena itu ajaran agama maka Ia tak layak disejajarkan dengan paham lain buatan manusia yang bukan ajaran agama. Maka khilafah tak pantas ditambahi isme sebagaimana paham buatan manusia seperti Kapitalisme, komunisme, radikalisme, dll.

Jika kesesatan berfikir tentang khilafah dibiarkan, maka bisa saja nanti ajaran Islam yang lain akan juga disejajarkan dengan ajaran atau isme buatan mausia. Bisa saja mereka akan melecehkan kesucian ajaran haji dengan haji-isme, jihad-isme, zakat-isme, jilbab-isme, dll. Padahal itu jaran islam yang pasti baik buat manusia karena datang dari Allah SWT, sang Pencipta alam semesta.

Narasi khilafahisme disejajarkan dengan komunisme jelas sangat menodai ajaran agama Islam. Jika sengaja menyejajarkan ajaran agama dengan paham lain buatan manusia, maka itu merendahkan bahkan melecehkan ajaran agama. Menyamakan Khilafah dengan paham komunisme, radikalisme dan paham lain yang negatif adalah termasuk merendahkan ajaran agama Islam. Bahkan dapat dikategorikan menodai ajaran agama islam. Jadi dapat dinilai sebagai penistaan agama. 

Dalam hal ini dapat dinilai sebagai bentuk permusuhan atau kebencian terhadap ajaran agama Islam. Dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran pasal 156a KUHP bahwa harus diingat unsur utama untuk dapat dipidananya Pasal 156a adalah unsur sengaja jahat untuk memusuhi, membenci dan/atau menodai ajaran agama (malign blasphemies). Sedangkan menyatakan terkait khilafah sebaga ideologi kemudian dikampanyekan dan dibuat opini seolah-olah sesuatu kejahatan dihadapan dan/atau ditujukan kepada publik, artinya dapat dinilai unsur sengaja, terpenuhi.

Ditinjau dari perspektif HAM, dakwah tentang khilafah sebagaimana tentang sholat, haji, zakat dan ajaran islam lainnya tergolong sebagai hak asasi untuk menjalankan ajaran agama. Hal itu dilindungi konstitusi karena Islam adalah salah satu agama resmi yang diakui negara. Perlindungan HAM itu tertuang dalam Pasal 28E, Pasal 281 ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 UUD 1945. Sebagai ajaran Islam Khilafah tetap sah dan legal untuk didakwahkan ditengah-tengah umat, selama dilaksanakan tanpa adanya paksaan dan penggunaan kekerasan.

Oleh karena itu, mendakwahkan ajaran Islam Khilafah termasuk menjalankan ibadah berdasarkan keyakinan agama Islam. Siapapun yang menyudutkan dan mengkriminalkan ajaran Islam, termasuk Khilafah maka dapat dikategorikan tindak pidana penistaan agama.

Mengapa terjadi Demoralisasi Cara berhukum?

Pertimbangan moral yang seharusnya berlaku jika para penyelenggara negara (rezim) itu berhukum dalam tata negara dengan moralitas Pancasila. Namun, sangat disadari hal itu bagaikan pepatah: jauh panggang dari api? Ada apa dengan para pejabat negeri ini? Sulit sekali menemukan pejabat yang mundur karena moralitas. Pertanyaannya, mengapa dalam berhukum Pancasila kini justru yang terjadi demoralisasi? Atau perlu ditanyakan lebih lanjut, mengapa terjadi demoralisasi anak bangsa ini? Hal ini karena, bangsa ini telah terjerembab dalam kubangan kehidupan profan, sekuler, bahkan ateis. Intinya warga bangsa ini sudah makin menjauh dari ajaran agama. Maka tepat mutiara kata Prof Oemar Seno Adjie yang berbunyi: NO LAW WITHOUT MORAL, NO MORAL WITHOUT RELIGION. 

Jadi, jangan berharap banyak akan hadirnya cara berhukum Pancasila yang progresif yang "bounded" dengan moralitas itu jika para penyelenggara negara dan rakyatnya makin menjauh dari ajaran agama. Alih-alih menerapkannya, bahkan yang terjadi adalah kemauan untuk "mengkriminalisasikan" ajaran agama tertentu, misalnya ajaran Islam tentang khilafah. Khilafah bukan isme, jauh dari kata khilafahisme. 

Khilafah itu betu-betul bagian dari ajaran Islam yang dipelajari dalam kitab-kitab fikih terkait dengan Bab Siyasah. Tidak tepat disejajarkan dengan komunisme, kapitalisme, marxisme-leninisme yang secara formal memang sudah dilarang di Indonesia. Kita mesti fair terhadap ajaran Islam ini, tidak boleh MENISTAKANNYA dengan cara mengkriminalisasikan. Persoalan khilafah itu tidak atau belum dianggap sesuai dengan alam demokrasi di Indonesia itu persoalan pilihan dan memang tidak boleh dipaksakan apalagi penggunaan kekerasan seperti makar. Namun, siapapun juga tidak boleh menyatakan khilafah itu ajaran terlarang dan harus diperangi dan memburu pendakwahnya seperti seorang penjahat. Ini termasuk penistaan terhadap agama yang dapat dijerat dengan Pasal 156a KUHP.

Delik penistaan agama, Pasal 156 a KUHP

Pasal 156a KUHP berbunyi :

"Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: 

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".

Unsur "barang siapa yang dengan sengaja" maksudnya adalah perbuatan seseorang yang dilakukan dengan niat untuk melakukan atau agar terjadinya suatu perbuatan. Perbuatan dimaksud adalah perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Untuk meneliti apakah seseorang ada 'niat' dengan sengaja melakukan perbuatan, KUHP kita menganut perspektif objektif bukan subjektif. Maksudnya, ada tidaknya niat bukan dikembalikan kepada pernyataan pelaku atau pembuat perbuatan akan tetapi dikembalikan pada objek perbuatan.

Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja (ada niat) dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut:

1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus directus). Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.

2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn). Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan, contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.

3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet).

Dalam hal ini, ada pejabat negeri ini yang patut menginsyafi tindakannya yang menyatakan bahwa khilafah dikatakan sebagai isme dsn disejajarkan degan komunisme yang jelas sebagai ideologi terlarang. Bahkan ada pejabat yang menyatakan bahwa ASN yan terbukti menganut ideologi khilafah akan diberhentikan tidak dengan hormat dengan tuduhan melecehkan Pancasila berdasarkan Pasal 87 UU ASN. Meskipun pelaku mungkin mengklaim tidak ada niat melecehkan ajaran Islam, namun akibat yang tidak diinginkan pasti terjadi. Yakni, adanya perasaan keagamaan umat Islam yang tercederai oleh tindakan para pejabat tersebut.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar