Inggris Menghapus Khilafah dan Sekulerisasi Turki

Cerita di Balik Masjid Hagia Sophia


Diawali dengan konspirasi negara-negara kafir di Eropa untuk menghancurkan islam dengan cara membagi-bagi wilayah negara islam. Mereka menyulut semangat nasionalisme dan kemerdekaan bangsa-bangsa di Eropa. Setiap bangsa di Eropa berupaya untuk melawan Daulah Islam dan memisahkan diri dari Daulah dengan dukungan senjata dan dana dari negara kafir penjajah.

Mereka terus-menerus menyerang Daulah Islam dikarenakan adanya rasa permusuhan yang membara dalam jiwa mereka, kebencian terhadap islam serta permusuhan terhadap pemikiran dan hukum islam. Selanjutnya mereka melancarkan serangan misionaris dan budaya, Istanbul dan Beirut adalah dua kota yang digunakan sebagai markas untuk mewujudkan tujuan tersebut.

Serangan misionaris dan budaya ini berkedok ilmu pengetahuan, bertujuan untuk meraih simpati warga negara Daulah yang beragam Nasrani, serta menimbulkan keraguan kepada kalangan muslim terhadap agama islam dan mengguncang akidah mereka. Serangan tersebut berhasil melalui propaganda di universitas-universitas dan sekolah-sekolah.

Langkah berikutnya mengubah sistem pemerintahan dan hukum-hukum syariah dengan cara menghilangkannya lalu menggantikannya dengan hukum-hukum barat. Membangun konstitusi Daulah Islam dengan sistem barat yang berdasarkan sistem demokrasi. Sejak tahun 1856 upaya penggunaan hukum-hukum barat telah dimulai. Ini semua terjadi karena tekanan dari barat khususnya Prancis dan Inggris, agen-agen barat dan sebagian kaum muslim yang mengagumi barat.

Pada tahun 1857 M Daulah menggunakan UU hukum pidana Negara Utsmani. Tahun 1858 M Daulah mengeluarkan UU Keuangan dan Perdagangan. Pada tahun 1870 M Daulah menjadikan lembaga peradilan menjadi dua macam, yaitu peradilan syariah dan peradilan umum (sipil) yang sistemnya akan dibentuk. Pada tahun 1877 M undang-undang bagi pembentukan peradilan sipil dikeluarkan dan pada tahun 1878 M suatu keputusan tentang pokok-pokok UU Pemilikan dan Pidana dikeluarkan. Semua UU itu didukung oleh fatwa-fatwa ulama yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum islam.

Demikianlah akhirnya hukum syariah dan fikih islam ditinggalkan. Pembuatan UU baru tersebut merujuk kepada UU sipil kuno Prancis. Bahkan dibuat pasal yang berbunyi : “Prinsip dalam kitab hukum terletak pada maksud dan makna yang terkandung (substansinya) bukan susunan pernyataan dan kata-katanya”. Hal ini menunjukkan adanya penafsiran terhadap makna-makna qathi’y dengan mencari substansinya, sehingga bisa menghapus beberapa hukum selama substansinya terlaksana, misalnya menghapus hudud, yaitu orang-orang tidak lagi melakukan kejahatan. 

Dampak dari serangan budaya dan perundang-undangan tersebut menyebabkan kaum muslimin dan Daulah memberlakukan konstitusi (UUD) dan UU yang berasal dari konstitusi dan UU Barat untuk mengganti sistem pemerintahan dan UU Islam. Barat telah berhasil menyingkirkan hukum syariah dan menggantinya dengan hukum-hukum demokrasi dan UU Barat sebagai prinsip dasar tegaknya Khilafah dan rujukan sistem peradilan. Keberhasilan ini mengarahkan mereka kepada serangan terakhir yaitu menghancurkan Khilafah dan menghapuskannya.

Tidak lama setelah Perang Dunia I pecah dan Daulah Utsmani berpihak kepada Jerman, negara-negara kafir mendapatkan kesempatan untuk menghancurkan Khilafah. Mereka menyiapkan strategi untuk meraih tujuan ini. Langkah-langkah tersebut diawali dengan memecah-belah Daulah Islam menjadi sejumlah “pemerintahan islam” yang tunduk dan dalam pengaruh barat.

Negara-negara sekutu barat menyembunyikan niat tersebut dan merahasiakannya rapat-rapat. Karena memang tidak satupun dari kalangan umat islam yang mempunyai keinginan dan menerima penghapusan Khilafah, apalagi terhadap upaya penghapusannya. Sebagai gantinya barat menyerang Daulah Utsmani dari dalam melalui sejumlah inisiatif yang dapat membuat Daulah Utsmani mundur dari peperangan serta mau terlibat dalam suatu perjanjian damai dengan Sekutu.

Namun hal tersebut tidak akan berhasil kecuali dibantu dari kalangan perwira angkatan bersenjata Daulah Utsmani yang berpengaruh. Dari sejumlah perwira Turki, ada dua orang perwira yang menjadi tumpuan harapan Sekutu, yaitu Jamal Pasha dan Mustafa Kemal. Jamal Pasha merupakan orang yang mempunyai kedudukan yang berpengaruh, sementara Mustafa Kemal perwira junior, namun memiliki sikap ambisius dan aktif menentang Daulah.

Inggris berupaya membujuk Jamal Pasha untuk memberontak terhadap Daulah Utsmaniyah, namun tidak terjadi kesepakatan antara Inggris dan Jamal Pasha. Selanjutnya nama Mustafa Kemal muncul sebagai pahlawan pada peperangan Ana Forta, karena secara tiba-tiba Inggris menarik diri dari pertempuran tersebut. Setelah pertempuran inilah Mustafa Kemal menjadi seorang bintang.

Mustafa Kemal menjalin kerjasama dengan Inggris melalui agen intelejen Lawrence dan pemimpin-pemimpin Arab yang meminta agar membujuk Daulah Utsmaniyah menarik diri dari Perang Dunia dan membuat perjanjian damai unilateral dengan sekutu. Pada tahun 1916, Inggris, Perancis dan Rusia menyepakati perjanjian rahasia Sykes-Picot mengenai pembagian Kekaisaran Ottoman, yang kemudian menjadi dasar bagi perjanjian damai antara sekutu dan Mustafa Kemal.

Inggris melanjutkan serangannya pada Ibukota Negara Khilafah (Daulah Turki Utsmaniyah) yaitu Istanbul. Tujuannya adalah agar dapat memperoleh metode untuk menghapuskan Khilafah. Inggris mengambil alih Selat Bosporus dan menduduki area-area militer yang penting di seluruh Turki. Dan mulai melakukan manuver politik untuk mengendalikan Negara Khilafah atau Kerajaan Ottoman menurut istilah mereka. Dengan manuver politik tersebut terjadilah krisis politik bagi Daulah Utsmaniyah.

Langkah terakhir Inggris adalah melalui aktivitas politik dan intervensi terhadap perundang-undangan. Inggris berharap terjadi perubahan radikal dalam sistem pemerintahan. Berupaya menghancurkan Khilafah dan menegakkan sistem republik melalui metode yang legal dan sesuai dengan undang-undang (sah), tanpa harus melakukan kudeta militer atau revolusi bersenjata. Karena itulah aktivitas dan strategi politik dilakukan.

Setelah melakukan perjanjian damai dengan Khilafah, Inggris mengendalikan Khalifah dan memerintahkannya untuk mendirikan pemerintahan baru. Dan juga Inggris berupaya membubarkan parlemen yang disebut dengan nama Diwan Dua Utusan, karena Diwan ini memiliki anggota-anggota yang dipilih oleh rakyat dari seluruh wilayah Daulah Utsmaniyah (Daulah Khilafah). Diwan ini dianggap penghambat dari rencana Inggris.

Inggris juga berupaya menciptakan kekosongan politik, dengan menggunakan Mustafa Kemal untuk membujuk anggota parlemen memberikan mosi tidak percaya kepada pemerintahan. Namun upaya ini tidak berjalan lancar, sampai Inggris mengendalikan Khalifah untuk mengeluarkan keputusan yang memerintahkan pembubaran parlemen, tanpa menentukan waktu pemilihan umum yang baru. Hal ini dikarenakan Khalifah telah dihasut dan berharap mempertahankan kekuasaannya melalui Inggris, karena kekhawatiran Khalifah terhadap perebutan kekuasaan dari Mustafa Kemal dan anggota parlemen.

Begitulah Inggris memainkan dua kakinya, merongrong Khilafah dari dalam melalui Mustafa Kemal, sekaligus mengendalikan dan mempertahankan Khilafah dengan mendikte pendapat-pendapat mereka kepada Khilafah. Akibatnya, Khalifah kehilangan kekuasaan politik praktisnya layaknya seorang tahanan.

Upaya lain untuk penciptaan kekosongan politik adalah dengan mendorong rakyat untuk melakukan berbagai macam aktivitas politik yang dirancang untuk menciptakan konflik dan kekacauan. Pembubaran parlemen menyebabkan rakyat merasakan ketidakmampuan penguasa dalam melaksanakan pemerintahan, akhirnya muncullah berbagai kelompok untuk menyelamatkan keadaan.

Kekosongan politik semakin nyata, dikarenakan tidak ada lagi Diwan yang menyebabkan tidak adanya koordinasi yang baik dalam menjalankan negara. Ditambah lagi para politisi lokal sering berdebat dan timbulnya berbagai pendapat dan kepentingan yang berbeda-beda dalam rangka menyelesaikan masalah ketidakmampuan penguasa. Akhirnya keadaan status quo ini berlanjut selama enam bulan dari November 1918 M hingga April 1919 M.

Strategi kekosongan politik dibarengi dengan provokasi mengenai gagasan kemerdekaan di seluruh negeri. Slogan yang dipropagandakan yaitu kemerdekaan adalah hak setiap rakyat, dan negara Turki harus dimiliki oleh bangsa Turki. Turki yang modern harus didirikan pada kehendak rakyat dan untuk rakyat. Rakyat memiliki kehendak dan kekuasaan, tidak ada ruang bagi kekuasaan Khalifah (Sultan).

Inggris akhirnya merubah strategi politiknya, yaitu memisahkan Turki dari wilayah Daulah Utsmaniyah lainnya, menghancurkan Khilafah sekaligus mendirikan Republik Turki. Inilah strategi puncak yang bersifat politis, internasional dan revolusioner. Langkah ini dengan cara menjadikan Mustafa Kemal sebagai kaki tangan Inggris untuk melakukan pemberontakan kepada Daulah Utsmaniyah.

Mustafa Kemal mendirikan struktur negara baru di Ankara. Sekaligus menyebarkan isu bahwa Khalifah dan Kesultanan sudah dipengaruhi dan diperbudak oleh Barat khususnya Inggris. Peperangan terjadi antara pasukan Mustafa Kemal dan Khilafah, menyebabkan Mustafa Kemal terancam. Pada saat itu pula disiarkan perjanjian damai Sevres antara Khilafah dengan sekutu. Timbullah kemarahan rakyat terhadap Inggris dan Khalifah.

Pemerintahan Ankara berhasil mengambil alih wewenang pemerintahan. Dan memisahkan Khalifah (Kesultanan) dari Khilafah. Perundingan baru diadakan antara pemerintahan Ankara atas nama Daulah Utsmaniyah dan bertindak sebagai wakil Khilafah yang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia, yaitu perjanjian Lausanne pada tahun 1922. Pimpinan delegasi Inggris diwakili oleh Lord Curzon, menetapkan empat syarat sebelum memberikan pengakuan atas kemerdekaan Turki. Syarat-syarat tersebut adalah :

-Penghapusan Khilafah secara total

-Pengusiran Khalifah sampai keluar batas-batas negara

-Penyitaan kekayaan Khalifah

-Pernyataan Sekulerisasi Negara

Namun perjanjian ini hanya bertahan hingga 4 Februari 1923 tanpa menghasilkan keputusan apapun dan dinyatakan gagal, yaitu adanya penolakan dari Majelis Nasional. Akhirnya Mustafa Kemal melancarkan pukulan mematikan dengan menjerumuskan Majelis Nasional dalam kebingungan dan tidak dapat berfungsi dengan baik. 

Pertemuan Majelis Nasional pun diadakan dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Mustafa Kemal berdiri dan berpidato, diakhir pidatonya ia menyatakan : “.... Turki harus menjadi sebuah republik dengan seorang presiden terpilih.” Keputusan selanjutnya sudah disiapkan, Turki sebagai negara republik, Mustafa Kemal dipilih sebagai presiden pertama, kemudian ia menghapus Khilafah dan menyatakan sekulerisasi negara. Pada pagi hari tanggal 3 Maret 1924, diumumkan bahwa Majelis Nasional menyetujui penghapusan Khilafah dan pemisahan agama dari urusan-urusan negara.

Kemudian bangunan Hagia Sophia disekulerkan dan dibuka sebagai museum pada 1 Februari 1935 oleh Republik Turki. Namun menjadi masjid  kembali pada Jumat, 10 Juli 2020 setelah pengadilan Turki memutuskan bahwa konversi Hagia Sophia pada tahun 1934 menjadi museum adalah ilegal. Keputusan ini membuka jalan untuk kembali mengubah monumen tersebut menjadi masjid. Namun tetap tidak mengubah keputusan sekulerisasi Turki. Wallahu’alam.[]

Oleh Wandra Irvandi, S. Pd. M. Sc
Direktur Lembaga Kajian ANSPI
Kalimantan Barat

Posting Komentar

0 Komentar