Hukum Progresif: Cara Berhukum dengan Moralitas Pancasila (Pejabat Politik Siap Mundur?)



Apa Hukum Progresif Itu?

Hukum progresif sangat tepat untuk mewadahi segala kajian hukum, khususnya studi hukum dan masyarakat. Kesesuaian kajian ini dapat dilihat dari hakikat keilmuannya, yang meliputi aspek ontologi, epsitemologi, metodologi dan aksiologinya seperti rincian berikut ini:

(1) Ontologi: Hukum is not only rules and logic but also behavior, even behind behaviour.

(2) Epistemologi: Pencarian kebenaran dengan menempatkan hukum sebagai objek kajian secara kritis.

(3) Metodologinya: legal pluralism approach; mixed method; socilo-legal approach.

(4) Aksiologi: Keadilan substantif; kebenaran dan kejujuran, the perpect justice!

Jadi, boleh dikatakan bahwa hukum progresfi itu merupakan Hukum yang berkarakter melampaui teks, in making process, tidak absolut dan tidak final atau finite. Melampaui positivisme hukum, kreatifitas, mele (cair, like amoeba). Satu hal lagi perlu dikemukakan adalah spirit hukum progresif yaitu spirit pembebasan (tipe cara dan kultur konvensional). Cara berhukumnya juga memiliki karakter khusus yaitu: mengutamakan keadilan substantif sehingga lebih condong pada mission oriented dibandingkan dengan procedure oriented

Karakter Hukum progresif

Oleh karena karakter hukum progresif sebagaimana disebutkan di muka, maka hukum progresif juga bersesuaian dengan cara berhukum manusia Indonesia yang menempatkan hukum bukan hanya mencari kepastian melainkan pencarian terhadap kebenaran dan keadilan yang jelas diamanatkan oleh ideologi Pancasila dan Konstitusi UUD NRI 1945. Moral konstitusi kita menjujung tinggi “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang tentu saja kandungan moral tersebut dikehendaki untuk menyebar ke seluruh bidang dan pekerjaan di negeri ini termasuk bidang peradilan, include di dalamnya adalah dunia advokat. Konstitusi kita memberikan amanat agar peradilan di Indonesia lebih berjalan di sisi idealism, seperti menolong orang susah, daripada menajalankannya sebagai tempat mencari untung.

Polisi-polisi, Jaksa-jaksa dan Hakim-hakim, advokat-advokat progresif hanya dapat dihasilkan oleh PTH yang progresif pula, yang tanggap terhadap ketidakcukupan hukum yang hanya dipandang sebagai peraturan perundang-undangan. Untuk ini seharusnya mulai dirintis perubahan kurikulum PTH serta perubahan mindset para dosen, pengajar- pengajar diklat profesi hukum menuju kurikulum pendidikan progresif, tidak lagi konvensional-legal positivistik. 

Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia seharusnya sudah berpikir untuk mengintrodusir satu mata kuliah yang dapat menyemaikan hukum progresif. Akhirnya dapat ditegaskan bahwa sejak learning in schools of law, law making hingga law sanctioning, kehidupan hukum diwarnai oleh gagasan hukum progresif.

Cara berhukum progresif harus disertai dengan karakter khusus dalam penegakan hukum, yaitu rule breaking. Ada 3 karakter rule breaking, yaitu:

(1) Penggunaan spiritual quotion (berupa kreativitas) untuk tidak terbelenggu (not rule bounded) pada aturan ketika peraturan hukum itu ditegakkan justru timbul ketidakadilan. Bahkan, dalam pidato pengukuhan guru besar saya berani saya ajukan sebuah kebijakan yang disebut "policy of non enforcement of law", kebijakan tidak menegakkan hukum demi keadilan substantif.

(2) Penafsiran hukum yang lebih dalam (deep interpretation), yakni hukum tidak boleh ditafsirkan secara dangkal saja melainkan harus mendalam, yaitu sampai pada konteks sosial, bahkan filosofis sehingga makna sosial-ideologis yang terdalam dari hukum itu dapat ditemukan dan dijadikan kredo dalam penegakan hukum.

(3) Penegakan hukum tidak boleh hanya didasarkan pada logika (rasio, logic), melainkan juga harus didasarkan pada rasa, yakni rasa kepedulian dan keterlibatan kepada vulnerable people, orang terpinggirkan, orang lemah, dan orang terdzalimi. Ini yang dapat diringkas dengan istilah compassion. Jadi menjalankan hukum itu tidak cukup mengandalkan rules and logic but also behaviour, even behind behaviour.

Berdasarkan tiga karakter rule breaking inilah penegakan hukum dinIndonesia tidak terjebak pada mantra-mantra positivisme hukum, melainkan berhidmat pada nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di tengah masyarakat (vide Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Kultur hukum Pancasila: Sebuah Cara Tersendiri

Penegakan hukum biasa sering terbelenggu dengan mantra-mantra sakti positivisme hukum yang mengandalkan rule and logic dengan alasan karena kita mengkiblat pada hukum Eropa Kontinental yang beraroma civil law system. Benarkah? 

Apakah dengan kultur hukum Pancasila itu kita tidak punya cara tersendiri, cara Indonesia dalam penegakan hukum? Bukankah telah terjadi ingsutan paradigma penegakan hukum dari yg mengutamakan kepastian hukum (rule and logic) kepada kepastian hukum yang adil? Kita lihat UUD 1945 juga UU Kekuasaan Kehakiman dan juga Rancangan KUHP kita yg mengutamakan nilai keadilan di samping nilai kepastian (rule and logic). 

Ini adalah langkah progresif! Pertanyaannya adalah: Cukupkah di tataran ide dan di atas kertas? Bukan! Harus diimplementasikan. Nah, di sini perlu legal culture baik Internal Legal Culture maupun External Legal Culture. 

Gustav Radbruch dengan Triadism (justice, certainty and expediency (utility)) juga mengatakan: "where statutory law is incompatible with justice requairment, statutory law must be disregarded by a judge..". Maka hukum mestinya mengutamakan pencarian keadilan bukan terlalu sibuk dengan kepastiannya yang justru dapat menghadirkan ketidakadilan. Hukum yang tidak adil itu bukan hukum (lex injusta non est lex: Thomas Aquinas).

Cara berhukum progresif sebenarnya juga mengajarkan kepada bangsa ini untuk menumbuhkan karakter asasi manusia sesuai dengan hukum alam, yakni:

(1) Honeste vivere (to be honest in your life). Mengagungkan watak jujur, melarang perbuatan bohong (hoax).

(2) Alterum non laedere (to hurt no one). Tidak melukai, tidak merugikan, tidak berbuat curang, tidak menipu dan karakter culas lainnya.

(3) Suum cuique tribuere (to give the right to the others). Berikanlah kepada orang lain itu hak-haknya. To respect, to protect, and to fullfil.

Pejabat Politik Mundur: imperatif Kategoris

Terkait dengan aspek moralitas dalam berhukum khususnya dalam penyelenggaraan negara, ada pernyataan yang menarik disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud Md dalam acara Talkshow Spesial HUT tvOne "Memelihara Persatuan di Tahun Politik" pada Februari 2018. 

"Kalau sudah mendapat cemoohan masyarakat, ini kata tap MPR No 6 Tahun 2000 (ada salah penyebutan tahun, yang benar Tahun 2001), seorang pemimpin kalau sudah tidak dipercaya oleh masyarakat, kebijakannya dicurigai, menimbulkan kontroversi karena tingkah lakunya...mundur, kata Tap MPR ini, mundur," kata Mahfud MD saat itu (Liputan6.com, 30 September 2018). Secara lengkap bunyi ketentuan yang mengatur pejabat publik untuk mundur adalah sebagai berikut:

"Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat."

Mengapa Terjadi Demoralisasi Cara Berhukum?

Itulah pertimbangan moral yang seharusnya berlaku jika para penyelenggara negara (rezim) itu berhukum dalam tata negara dengan moralitas Pancasila. Namun, sangat disadari hal itu bagaikan pepatah: jauh panggang dari api? Ada apa dengan para pejabat negeri ini? Sulit sekali menemukan pejabat yang mundur karena moralitas.

 Pertanyaannya, mengapa dalam berhukum Pancasila kini justru yang terjadi demoralisasi? Atau perlu ditanyakan lebih lanjut, mengapa terjadi demoralisasi anak bangsa ini? Hal ini karena, bangsa ini telah terjerembab dalam kubangan kehidupan profan, sekuler, bahkan ateis. Intinya warga bangsa ini sudah makin menjauh dari ajaran agama. Maka tepat mutiara kata Prof Oemar Seno Adjie yang berbunyi: no law without moral, no moral without religion. 

Jadi, jangan berharap banyak akan hadirnya cara berhukum Pancasila yang progresif yang "bounded" dengan moralitas itu jika para penyelenggara negara dan rakyatnya makin menjauh dari ajaran agama. Alih-alih menerapkannya, bahkan yang terjadi adalah kemauan untuk "mengkriminalisasikan" ajaran agama tertentu, misalnya ajaran Islam tentang khilafah. Khilafah bukan isme, jauh dari kata khilafahisme. 

Khilafah itu betu-betul bagian dari ajaran Islam yang dipelajari dalam kitab-kitab fikih terkait dengan Bab Siyasah. Tidak tepat disejajarkan dengan komunisme, kapitalisme, marxisme-leninisme yang secara formal memang sudah dilarang di Indonesia. Kita mesti fair terhadap ajaran Islam ini, tidak boleh menistakannya dengan cara mengkriminalisasikan. Persoalan khilafah itu tidak atau belum dianggap sesuai dengan alam demokrasi di Indonesia itu persoalan pilihan dan memang tidak boleh dipaksakan apalagi penggunaan kekerasan seperti makar. Namun, siapapun juga tidak boleh menyatakan khilafah itu ajaran terlarang dan harus diperangi dan memburu pendakwahnya seperti seorang penjahat. Ini termasuk penistaan terhadap agama. Ini cara berhukum yang jauh dari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai Kemanusiaan Yang Adil dan beradab dari Pancasila. 

Bila cara berhukum pejabat publik yang melahirkan kebijakan-kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan moralitas Pancasila, apakah masih patut duduk di singgasana yang ditopang dengan keagungan nilai-nilai moralitas Pancasila? Mundur, itu kewajiban moral yang sebenarnya mengandung perintahnya yang bersifat imperatif kategoris, yakni perintah yang tidak dapat ditawar.[]

Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar