Ekonomi Kapitalistik Amerika Serikat (AS) Collapse di Tengah Badai Corona: Adakah Alternatif Sistem Pengganti?



Amerika Serikat (AS) menjadi representasi dari keberadaan sistem ekonomi kapitalis saat ini. Sejak berakhirnya dominasi Eropa, AS menjadi salah satu negara dengan ekonomi yang kuat. Berdasarkan laman investopedia.com (11/01/2020), negeri Paman Sam ini menempati posisi ketiga dalam laporan dengan judul ekonomi teratas tahun 2020. Amerika berada di belakang Jepang dan Jerman, namun masih di atas India, Prancis, Italia, Brazil dan Kanada. 

Kondisi tersebut sesuai dengan yang diharapkan pada awalnya. Namun, semua berubah saat pandemi Covid-19 terjadi. Menurut laman BBC.com (29/04/2020), akibat virus corona, ekonomi AS mengalami penyusutan yang sangat cepat sejak tahun 2008 ketika terakhir kali AS dihantam krisis ekonomi. Menurut laporan dari U.S of Bureau of economic analysis, pada q1 (kuartal pertama) tahun 2020, GDP (Gross Domestic Product) AS berada pada -4.8%. Padahal, akhir 2019 masih diangka 2%. GDP sendiri diyakini sebagai nilai perhitungan dari pendapatan nasional sebuah negara.  

Pada kuartal pertama tahun ini, AS akibat corona juga mengalami pukulan hebat pada meningkatnya angka pengangguran. Menurut laman CNN.com (02/07/2020), angka pengangguran di AS jatuh pada angka 11.1%. Nilai ini tertinggi sejak tahun 1940. Nilai ini meningkat drastis dibandingkan pada periode yang sama pada tahun 2019 lalu. Menurut laporan dari U.S. Bureau of Labor Statistics, angka pengangguran di AS pada Mei 2019 hanya di angka 3.6%. Perlu dicatat bahwa akibat corona ini, hampir 20 juta orang AS kehilangan pekerjaaanya. Dengan kondisi yang sedemikian rupa, akankah ekonomi AS akan terjungkal?


Kondisi Detail Ekonomi AS Akibat Badai Corona

Pada sebuah tulisan yang berjudul “How the U.S economy work?” dari laman us.usembassy.de, dijelaskan bahwa AS sering digambarkan sebagai representasi dari ekonomi "kapitalis", sebuah istilah yang diciptakan oleh ekonom Jerman abad ke-19 dan teori sosial Karl Marx untuk menggambarkan suatu sistem di mana sekelompok kecil orang yang mengendalikan sejumlah besar uang, atau modal, membuat keputusan ekonomi paling penting. Marx mengontraskan ekonomi kapitalis dengan ekonomi "sosialis", yang memberi lebih banyak kekuasaan dalam sistem politik. 

Marx dan para pengikutnya percaya bahwa ekonomi kapitalis memusatkan kekuasaan di tangan para pengusaha kaya, yang bertujuan terutama untuk memaksimalkan keuntungan. Ekonomi sosialis, di sisi lain, akan lebih cenderung menampilkan kontrol yang lebih besar oleh pemerintah, yang cenderung menempatkan tujuan politik-distribusi sumber daya masyarakat yang lebih adil, misalnya di atas keuntungan.

AS adalah negara adikuasa dalam segala bidang. Tidak terkecuali dari aspek ekonomi. Laporan terakhir pun masih menasbihkan bahwa AS termasuk 3 besar ekonomi dunia bersama Jepang dan Jerman. Berdasarkan laman statisticstimes.com yang dipublis pada 20/02/2020 dari sumber  International Monetary Fund World Economic Outlook (October-2019), AS menjadi negara dengan prosentase GDP (Gross Domestic Product) terbesar di dunia. GDP juga disebut dengan Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur kondisi perekonomian suatu negara, guna menghitung pendapatan suatu negara.

Total sharing GDP AS terhadap GDP dunia mencapai 24.08%. Lebih besar dari pada China yang memiliki sharing GDP sebesar 15.12% (posisi kedua). Berturut-turut berikutnya adalah Jepang, Jerman dan India. 

Kondisi tersebut awalnya berjalan sesuai dengan kebisaan pada fase sebelumnya. Namun, setelah munculnya pendemi corona, ekonomi AS pun juga terpukul hebat. Bagaimanakah deskripsi dari pukulan hebat tersebut? 

Berdasarkan laman bea.gov (2020) yang bersumber dari U.S Bureau of Economic Analysy (05/2020), riil GDP (gross domestic product) dari AS pada kuartal 1 tahun 2020 mengalami penurunan sebesar -4.8%. Padahal pada kuartal terakhir tahun 2019 lalu, GDP dari AS masih diangka 2.1%. Para pakar ekonomi AS meyakini bahwa hal ini terjadi semata akibat dari virus corona Covid-19. 

GDP melambat akan memicu kekhawatiran terjadinya resesi yang bisa saja berakibat meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja dan menurunnya pendapatan bisnis serta belanja masyarakat. Hal tersebut langsung terjawab pada paparan berikut. 

Akibat GDP yang menurun di AS telah mengaibatkan pengangguran. Pukulan hebat lain yang dialami oleh AS tentunya adalah meningkatnya angka pengangguran (unemployment). Berdasarkan laman CNN.com (2/07/2020), angka pengangguran di AS jatuh pada angka 11.1%. Artinya, ada 11.1% angkatan kerja yang menganggur. 

Saat ini di AS jumlah angkatan kerja mencapai 158.13 juta jiwa (Statista.com, 27/05/2020). Dengan nilai pengangguran tersebut, maka jumlah pengangguran di AS akibat pandemi ini mencapai 17 juta lebih, karena menurut laporan yang lain disebutkan bahwa all employees di AS pada juni 2020 hanya mencapai 137.8 juta jiwa. Dari berbagai data tersebut, menurut berbagai laporan, salah satunya dari Bureau of labor statistics, angka pengangguran ini adalah yang terburuk di AS sejak 1929 silam. Tentunya jumlah pengangguran ini akan memunculkan angka kemiskinan baru. 

Pengangguran yang mengakibatkan kemiskinan memungkinkan terjadinya gejolak sosial. Gejolak sosial ini ditandai dengan makin maraknya kejahatan dan kriminalitas. Solusi tambal sulam dari kapitalisme tekait kemiskinan yang meningkat hanya memberikan bantuan sosial yang cukup dinikmati dalam waktu sekejap. Tak ada jaminan agar rakyat terentaskan dari kemiskinan secara paripurna. Inilah cacat bawaan yang dimiliki oleh ekonomi kapitalisme.

Hal tersebut pula yang memaksa AS mewacanakan di seluruh dunia untuk masuk new normal life. Alih-alih menyelamatkan ekonomi, yang terjadi paparan virus corona makin meluas dan ancaman kebangkrutan ekonomi AS makin tak terbantahkan. CNN Indonesia 2/7/2020 melansir AS memiliki kasus Covid-19  terbanyak di dunia, dengan total kasus lebih dari 2,7 juta orang. Hal tersebut pula yang membuat WHO mewacanakan untuk pembatasan sosial bahkan melakukan lockdown.

Kondisi yang sedemikian rupa tidak salah kiranya dalam laman worldbank.org (26/06/2020) sampai membuat tulisan dengan judul “ The Global Economic Outlook During the Covid-19 Pandemic: A Changed World”. Dalam tulisan tersebut bahkan di awal-awal tulisan, worldbank sampai menuliskan bahwa “the economy damage is already evident and represents the largest economic shock the world has experienced in decades”. Dalam arti bebas dapat dimaknai bahwa kerusakan ekonomi sudah terbukti dan merupakan guncangan ekonomi terbesar yang dialami dunia dalam beberapa dekade. 

Akibat sebaran virus corona juga, dalam laman okezone.com (08/05/2020), pemerintah AS mengajukan tambahan hutang sebesar US$ 3 triliun atau setara dengan 45.000 trilyun rupiah. Angka ini cukup besar, mengingat jumlah hutang AS sudah mencapai US$ 26 triliun (hutang pemerintah dan publik). 

Perlu diketahui bahwa berdasarkan laman thebalance.com (2/07/2020), hutang AS terus meningkat setiap tahun. Sejak tahun 1989-2020, peningkatan jumlah hutang AS telah mencapai 800%. 

Hal ini cukup mengkhawatirkan. Dalam laman cfr.org (30/04/2020) sampai-sampai dituliskan bahwa penambahan hutang yang cukup besar ini merupakan alarm bagi pemerintahan AS. Mereka menuliskan “With the debt added in response to the pandemic, this will likely happen even sooner. That could expose the country to a number of dangers, economists say, and reducing it will require politically difficult decisions to curb entitlement spending, raise taxes, or both”. 

Yang artinya, “dengan utang yang ditambahkan sebagai respon terhadap pandemi, memungkinkan akan segera dilakukan dengan cepat. Hal itu bisa membuat negara menghadapi sejumlah bahaya, kata para ekonom, dan menguranginya butuh keputusan-keputusan sulit secara politis dengan mengekang hak pengeluaran hak, menaikkan pajak, atau keduanya”.

Lebih lanjut dalam sebuah laporan dari sumber CBO (The Congressional Budget Office) yang dipublis dalam laman cfr.ofg (2/07/2020), menyebutkan bahwa akibat pandemi, pemerintah AS mengalami defisit anggaran mencapai US$3.7 trilyun atau sekitar 18% dari GDP tahun 2020. 

Disebutkan bahwa nilai ini adalah yang tertinggi sejak perang dunia II. Masih dalam laporan yang sama, total hutang publik juga akan diperkirakan membengkak tajam pada tahun 2023, melebihi rekor sebelumnya yang mencapai 106% dari GDP. 

Demikianlah solusi tambal sulam kapitalisme, demi mengejar pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi dan menyelamatkan ekonominya ditempuh dengan cara utang atau/dan memangkas hak dengan memberikan pajak hingga menaikkan pajak. Utang ribawi atau pun pajak inilah penopang yang lemah bagi ekonomi kapitalisme selama ini. 

Alih-alih mensejahterakan, justru menciptakan jurang kemiskinan semakin dalam, apalagi ditambah banyaknya kebijakan yang lebih menguntungkan oligarki kapitalis.  Dengan kondisi yang sedemikian rupa, maka lonceng kematian ekonomi kapitalis yang direpresentasikan oleh AS sudah di depan mata.


Menelisik Kemungkinan Krisis Ekonomi yang Parah Kembali Terulang dalam Sistem Ekonomi Kapitalis

Dunia diambang krisis finansial dan depresi hebat. Sergei Klebnikov, Staff majalah kenamaan Forbes yang fokus pada bidang keuangan dan pasar dalam forbes.com (24/06/2020)  menyatakan bahwa terjadinya pemangkasan GDP (Gross Domestic Product) akibat adanya pandemi corona merupakan warning akan terjadinya sebuah krisis yang beliau tulis dengan istilah an economic crisis like no other (krisis ekonomi tidak seperti yang lain). Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa akibat corona, diprediksi akan menyebabkan resesi yang lebih dalam dan dan pemulihan ekonomi yang lebih lambat dari perkiraan semula. 

Hal serupa juga diungkapkan oleh Gita Gopinath, the International Monetary Fund's chief economist. Beliau merilis bahwa akan terjadi kontraksi GDP global sebesar 4,9% pada tahun 2020 ini. Nilai tersebut lebih besar dari perkiraan sebelumnya pada bulan April yang diprediksi hanya mencapai 3%. Dengan kondisi yang demikian, IMF memperingatkan akan terjadinya krisis keuangan global yang lebih hebat sejak “the great depression” pada tahun 1929 silam. IMF bahkan menyatakan bahwa hal ini bisa lebih buruk meskipun beberapa negara mulai dibuka kembali (new normal). 

Pada April 2020 lalu, bersumber dari world economic outlook,  IMF memprediksi bahwa krisis tahun 2020 ini lebih parah dari krisis ekonomi finansial tahun 2008-2009 silam. 

Hal tersebut didasari pada beberapa argumentasi diantaranya : 

1) imbas ekonomi ke hampir seluruh negara di dunia; 2)Harga komoditas yang turun tajam; 3) ketidakpastian pandemi akan berakhir; 4) pengetatan di pasar finansial; dan 5) krisis berlapis di sejumlah negara seperti krisis kesehatan, krisis ekonomi domestik, permintaan eksternal yang turun dan pembalikan aliran modal.  

Krisis keuangan yang terjadi pada periode ini tidak main-main. Adalah Lauren laratany dalam the guardian.com (06/07/2020) yang sampai-sampai memberikan judul dalam artikelnya dengan kalimat “why the covid-19 finansial crisis will leave lasting scars on gen Z”. Perlu diketahui bahwa generasi Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1998-2010. 

Usia mereka saat ini berada pada rentang 10-18 tahun. Lauren Laratany menyatakan bahwa efek dari penurunan ekonomi akibat virus corona ini akan terasa selama bertahun-tahun. Hal ini akan meninggalkan bekas tersendiri bagi orang-orang yang lahir antara tahun 1997-2012 (generasi Z) dimana pada masa inilah mereka mulai memulai karir dan membangun tabungan dengan kondisi ekonomi yang hancur berantakan. 

Dengan demikian, berdasarkan data dan analisis dari berbagai pakar tersebut, krisis ekonomi parah yang hari ini sudah mulai dialami oleh berbagai negara adalah suatu yang tidak terelekkan lagi. Seberapa parah krisis itu akan terjadi? Dalam berbagai tulisannya, IMF memberikan petunjuknya dengan menyatakan bahwa recoveri dari dampak krisis yang terjadi saat ini tidak pasti (A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery).

Secara mikro, krisis ekonomi akibat pandemi global hari ini juga telah menambah jumlah kemiskinan di hampir di seluruh dunia, tidak terkecuali di Amerika. The economist (06/07/2020) dalam sebuah artikelnya menuliskan bahwa krisis keuangan yang terjadi pada rentang tahun 2007-2009 saja telah menciptakan kemiskinan dari 12% menjadi 17% karena banyak orang kehilangan pekerjaan dan bisnis yang bangkrut. 

Guncangan ekonomi pada saat itu sudah seburuk itu. Bagaimana dengan hari ini? Tentu hal itu lebih buruk dari sebelumnya karena laporan pada tanggal 2 Juli lalu mengkonfirmasi bahwa jumlah pengangguran di Amerika paling besar dari satu dekade  yang lalu. 

The economist sampai menuliskan artikelnya dengan judul “America’s huge stimulus is having surprising effects on the poor”. Dengan demikian, AS sebagai representasi dari sistem kepitalisme juga menyimpan angka kemiskinan yang sangat besar dan menjadi besar akibat kondisi ekonomi yang semakin terpuruk. Kemiskinan inilah yang akan menjad penyebab terjadinya gejolak sosial. 

Krisis ekonomi sejatinya tidak bisa dipisahkan dari keberlangsungan dari sistem ekonomi kapitalis. Tidak serta merta adanya pandemi menjadi satu-satunya penyebab terjadinya krisis. 

Bahkan krisis ekonomi yang terjadi pada periode sebelumnya sama sekali tidak berhubungan dengan adanya pandemi sebuah penyakit, tetapi lebih dari bangunan dari sistem ekonomi kapitalis yang memang rapuh yaitu dengan adanya spekulasi perdagangan pada sektor non riil, adanya bunga, mekanisme pasar bebas, bebasnya kepemilikan dsb). 

Bahkan indikator kesejahteraan hanya diukur dari pendapatan minimal per hari yang hanya sebesar US$1.90 (Rp 32.000,-). Jika kurang dari itu, maka terkategori tidak sejahtera. Sekali lagi, adanya American’s Huge Stimulus merupakan gambaran konkrit pada masalah ini (baca: kemiskinan). Kerapuhannya semakin nampak bahkan dengan indikator yang mereka tetapkan sendiri. Kapitalisme telah gagal mensejahterakan setiap individu manusia.

Jika AS sebagai nahkoda ideologi kapitalisme dunia sudah menuju kebangkrutan yang nyata, tentunya hal tersebut akan diikuti oleh seluruh negara pengekor dan negara yang menjadi lahan jajahan AS tersebut. Wajar saja, jika AS pun kalang kabut dengan ancaman krisis di tengah mata, negeri-negeri lain pun juga demikian. 

Kegagalan kapitalisme dalam menciptakan kesejahteraan individu inilah yang akan menjadi pemantik hijrahnya dunia menuju sistem alternatif yang mampu menjamin kesejahteraan individu yaitu ekonomi Islam dalam naungan penerapan syariat Islam dan khilafah. 

Karena setiap insan mendambakan hidup sejahtera, tercukupi kebutuhan hidupnya, dan terjaga harta dan nyawanya. Hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh sistem kapitalisme dan hanya mampu diwujudkan dengan sistem Islam paripurna.


Peluang Bangkitnya Sistem Ekonomi Islam menggantikan Kegagalan Sistem Ekonomi Kapitalis dalam Menyejahterakan Dunia

Tak dipungkiri kehadiran ekonomi kapitalisme telah mampu menenggelamkan konsep ekonomi sosialisme ke dasar yang paling dalam. Keserakahan kapitalisme juga menyebabkan bangunan peradaban Islam yang dahulu pernah berjaya terkubur dalam catatan sejarah. 

Tetapi lama-kelamaan rapuh dan bobroknya ekonomi kapitalisme tidak bisa dikhianati. Kegagalan kapitalisme dalam menciptakan kesejahteraan individu semakin nampak. Jurang antara kaum borjuis dan kaum proletar kian menganga. 

Semakin bertambahnya angka kemiskinan yang diciptakan oleh sistem kapitalisme menjadi bukti konkrit gagalnya kapitalisme. Sekalipun kapitalisme senantiasa memberikan solusi tambal sulamnya. Dari memberikan pajak untuk pemerataan ekonomi, menambah utang baik negara maupun swasta, bantuan sosial yang hanya dijadikan sedikit pemanis menutupi kegagalan sistem ini. 

Pada tataran fakta tetap saja, segala solusi tersebut hanya untuk menyelamatkan kroni-kroni kapitalis dari jurang kebangkrutan, dan tak mampu mengentaskan seluruh rakyat dari ancaman kemiskinan yang kian meningkat.

Inilah yang menjadi bahwa umat saat ini harus melirik bahwa terus memperjuangkan ekonomi Islam sebagai solusi tuntas menyelamatkan dunia dari ancaman kebangkrutan akibat krisis yang menjadi cacat bawaan sistem ekonomi kapitalisme. 

Tentunya untuk menjadikan sistem ekonomi Islam sebagai solusi tak akan bisa jika hanya mengambil sistem ekonominya saja. Seperangkat aturan Islam harus diambil secara keseluruhan untuk menyelamatkan dunia. Syariat Islam diterapkan secara kaffah hanya bisa dalam naungan institusi khilafah Islam. 

Berbicara Islam hadir sebagai solusi tuntas segala permaslaahan dan landasan hidup. Islam sebagai sebuah landasan dari bangunan sistem kehidupan, Islam telah menyiapkan seperangkat sistem aturan yang mengatur berbagai sistem kehidupan, tidak terkecuali untuk sistem ekonomi.  

Dalam sebuah karya fenomenalnya, An Nabhani (2010) dalam bukunya sistem ekonomi Islam telah memberikan kritik mendesar pada bangunan sistem ekonomi kapitalis. Kritiknya yang paling mendasar adalah pada kesalahan sistem ekonomi kapitalis dalam memandang permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat. 

Sistem ekonomi kapitalis memandang bahwa kelangkaan dan keterbatasan barang dan jasa menjadi akar persoalan ekonomi. Dengan kata lain, menjadi masalah jika kebutuhan banyak sedangkan alat pemuas kebutuhan sedikit. Dengan demikian maka fokus mereka adalah pada peningkatan produksi barang/jasa untuk memenuhi kebutuhan, bukan pada bagaimana memenuhi kebutuhan masing-masing individu. Harus terjamin produksi yang setinggi-tingginya pada barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. (An Nabhani, 2010: 15). 

Atas dasar itulah, Sholahudin (2001) dalam jurnal Ekonomi Pembangunan menyatakan bahwa atas dasar itulah sistem ekonomi kapitalis hanya mengarah pada satu tujuan yaitu meningkatkan kekayaan negara secara total, dan kemudian berusaha meningkatkan produksi setingi-tingginya. 

Harapannya adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang merupakan buah dari meningkatnya pendapatan nasional/national income yang biasanya diukur dari nilai GDP (Gross Domestic Product). Pandangan inilah yang dikenal dengan politik ekonomi atau ekonomi kapitalis. 

Pandangan ini jelas keliru dan bertentangan dengan realitas serta tidak pernah meningkatkan kesejahteraan individu masyarakat secara menyeluruh. Serta tidak pernah menghasilkan kemakmuran bagi masyarakat. Fakta yang terjadi di negara-negara barat yang kaya sekalipun, masih dijumpai orang-orang miskin di perkampungan serta para pengemis dan gelandangan di sudut-sudut kota. 

Dengan demikian menurut Sholahudin (2001), masalah ekonomi yang sesungguhnya adalah bagaimana distribusi kekayaan, barang dan jasa, bisa sampai ke setiap individu. Terutama kebutuhan akan barang dan jasa yang bersifat primer (Sandang, pangan dan papan). Solusi alternatif dari kesalahan mendasar dari sistem ekonomi kapitalis tersebut telah dimiliki oleh sistem ekonom Islam. 

Dalam penjelasan yang lebih detail, An Nabhani (2010: 66) menyatakan  bahwa hukum-hukum syariah telah menjamin tercapainya pemenuhan kebutuhan seluruh kebutuhan primer setiap warga negara Islam secara menyeluruh seperti sandang, pangan dan papan. Caranya adalah dengan mekanisme syariah. Dimana mewajibkan setiap laki-laki yang mampu untuk bekerja agar dia bisa memenuhi kebutuhan primernya sendiri, berikut kebutuhan orang-orang yang dinafkahinya.

 Jika tidak mampu bekerja, maka Islam mewajibkan anak-anaknya serta ahli warisnya untuk bekerja. Jika yang menanggung nafkahnya tidak ada, maka baitul mal lah yang wajib memenuhinya. Dengan demikian, maka Islam telah menjamin setiap pribadi terpenuhi kebutuhan mendasarnya. 

Demikianlah sekelumit gambaran dari sistem ekonomi Islam yang mampu  dijadikan sebagai sistem ekonomi alternatif dan solusi dunia di tengah ketidakmampuan sistem ekonomi kapitalis dalam memenuhi kebutuhan mendasar setiap individu dan mensejahterakannya. Terlebih dengan terjadinya krisis finansial yang rentan terjadi pada ekonomi kapitalisme akibat spekulasi dan riba yang hukumnya haram dalam sistem ekonomi Islam. 

Tentunya hanya sistem ekonomi Islam di bawah naungan khilafah yang mampu menciptakan dan menjamin kesejahteraan setiap individunya. Selain itu syariat Islam juga membawa berkah dan rahmat ke seluruh alam jika diterapkan dalam setiap sendi-sendi kehidupan. 

Dengan berbasis aqidah dan ketaatan semata-mata hanya pad Allah SWT, sistem Islam mampu menciptakan ekonomi tahan krisis dan mempunyai ‘sense of crisis’. Maka tidak ada keraguan lagi untuk menjadikan Islam sebagai solusi dan terus mendakwahkannya agar kehidupan Islam segera terwujud dalam naungan khilafah, insya Allah.

Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut.

Pertama. Kondisi ekonomi AS pada masa pandemi saat ini mengalami pukulan yang hebat. Mengakibatkan riil GDP turun hingga minus, angka pengangguran yang tertinggi sejak the great depression, meningkatnya hutang pemerintah  dan defisit anggaran yang cukup besar. Demikianlah solusi tambal sulam kapitalisme, demi mengejar pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi dan menyelamatkan ekonominya ditempuh dengan cara utang atau/dan memangkas hak dengan memberikan pajak hingga menaikkan pajak. Utang ribawi atau pun pajak inilah penopang yang lemah bagi ekonomi kapitalisme selama ini. Alih-alih mensejahterakan, justru menciptakan jurang kemiskinan semakin dalam, apalagi ditambah banyaknya kebijakan yang lebih menguntungkan oligarki kapitalis.  Dengan kondisi yang sedemikian rupa, maka lonceng kematian ekonomi kapitalis yang direpresentasikan oleh AS sudah di depan mata.

Kedua. Sangat dimungkinkah terjadinya krisis yang sangat hebat. Analisis dari berbagai pakar telah mengungkapkannya. Diperparah oleh bangunan mendasar dari sistem ekonomi kapitalis yang rapuh semisal spekulasi dan riba. Jika AS sebagai nahkoda ideologi kapitalisme dunia sudah menuju kebangkrutan yang nyata, tentunya hal tersebut akan diikuti oleh seluruh negara pengekor dan negara yang menjadi lahan jajahan AS tersebut. Wajar saja, jika AS pun kalang kabut dengan ancaman krisis di tengah mata, negeri-negeri lain pun juga demikian. 

Ketiga. Sistem ekonomi Islam adalah solusi alternatif dari kegagagalan sistem ekonomi kapitalisme dalam mensejahterakan manusia. Sistem ekonomi Islam menjamin terpenuhi kebutuhan pokok setiap pribadi meliputi sandang, pangan dan papan. Sistem ekonomi Islam juga mengharamkan spekulasi dan riba yang menjadi masalah mendasar dari sistem ekonomi kapitalis. Tentunya seperangkat sistem Islam di bawah institusi khilafah mampu menciptakan dan menjamin kesejahteraan setiap individunya. Selain itu syariat Islam juga membawa berkah dan rahmat ke seluruh alam jika diterapkan dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Dengan berbasis aqidah dan ketaatan semata-mata hanya pad Allah SWT, sistem Islam mampu menciptakan ekonomi tahan krisis dan mempunyai ‘sense of crisis’. Maka tidak ada keraguan lagi untuk menjadikan Islam sebagai solusi dan terus mendakwahkannya agar kehidupan Islam segera terwujud dalam naungan khilafah, insya Allah.[]

Oleh Ika Mawarningtyas, S. Pd.
Analis Muslimah Voice dan Dosol UNIOL 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar