Ada Apa dengan Moderasi Islam?

Perubahan memang bukan sesuatu yang mustahil, bahkan sebuah keniscayaan, namun bagimana jika perubahan yang terjadi itu pada kurikulum pendidikan ?
Kurikulum merupakan jantungnya politik pendidikan, yang akan menyelesaikan problem-problem pendidikan. Sehingga memiliki peran yang sentral dalam proses pengajaran peserta didik hingga out put yang dihasilkan. Wajar jika muncul pertanyaan ada apa dibalik perubahan KMA 183 tahun 2019 yang menggantikan KMA 165 tahun 2014 ?

Tentang perubahan Kurikulum 2013 di Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah, menurut Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag Ahmad Umar, hanya akan ada perbaikan subtansi materi pelajarannya dan penguatan moderasi islam.

Masih menurut Umar, pelajaran tetap terdiri atas Quran Hadits, Akidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Bahasa Arab. Dan sebagai tindak lanjutnya, madrasah akan menggunakan 155 buku yang sebelumnya telah dinilai dan direvisi oleh Tim Penilai Puslibang Lektur dan Khazanah Keagamaan. Yang mana semua buku-buku ajar itu berorientasi pada penguatan karakter, ideologi Pancasila, dan anti korupsi, dan yang paling utama adalah mengajarkan Islam wasathiyah.

Yang perlu di high light adalah “moderasi islam” sebagai arus utama pergantian kurikulum pendidikan hari ini, ada apa dibalik moderasi itu?.

Salah Kaprah Moderasi Islam

Kampanye moderasi islam sudah ada, sejak tahun 2000, diaruskan dari level global maupun lokal. Hingga moderasi menjadi progran kemenag, bagaimana islam itu harus sesuai dengan perkembangan zaman. Ajaran islam harus ditinjau ulang, dengan interpretasi yang baru, agar relevan dengan abad modern dan menjadi agama modern, yang arahnya adalah taghrib (pembaratan).

Moderasi juga menganggap, ajaran islam itu radikal sehingga perlu ditafsirkan ulang agar islam menjadi agama damai, moderat yang menengahi timur dan barat. Bahkan Barat telah menciptakan makna islam radikal dengan interpretasi yang mengarah pada hal negatif, berdarah-darah, “fanatik”, dan cenderung tidak mengenal kompromi atas keberagaman/intoleran, tidak pancasilais dan anti Barat. 

Padahal jika merujuk pada makna sebenarnya, radikal adalah kembali pada sesuatu secara mendasar. Dan kembali kepada hal mendasar, dalam islam adalah kembali kepada aqidah. Jadi Islam radikal yang di interpretasikan Barat dengan mengidentikkannya pada tindakan negatif, tidak ada faktanya. Karena kembali pada akidah mendasar yang shahih justru sejalan dengan Islam itu sendiri. Jadi tampak jelas bahwa istilah radikalisme hanyalah alat propaganda Barat untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya.

Moderasi juga menganggap bahwa Jilbab dan kerudung itu kuno, tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Jihad jangan sampai hanya dimaknai sebagai qital (perang), tapi juga harus dimaknai menurut bahasa yaitu sungguh-sungguh.

Akibatnya siapapun yang bersungguh-sungguh dalam suatu hal maka dia berjihad. Sehingga peserta didik akan memahami bahwa menuntut ilmu itu jihad.  Ajaran khilafah berbahaya, sehingga harus disampaikan sebagai informasi sejarah dan cukup sebagai pengetahuan saja, dan tidak musti menjadi tuntunan, hingga menggiring opini meski khilafah pernah dipraktikkan, tapi tidak bisa diterapkan saat ini. Hal ini sangat bertentangan dengan syariat islam, karena khilafah itu masalah fiqih, dan fiqih itu ada hukumnya, dan hukum khilafah itu adalah wajib.

Dari upaya moderasi yang dilakukan kemenag, bisa dikatakan intinya adalah liberalisasi, bukan islamisasi tapi westernisasi, bukan tajdid tapi modernisasi. Karena moderasi itu, sama aja dengan meninggalkan akar turots (corak islam), ibarat pindah rumah, meninggalkan rumah lama (islam) pindah kerumah baru (sekulerisme). Yang hakekatnya adalah sesuatu yang ada diluar islam, yaitu memahami islam secara moderat, tidak radikal.  

Perspektif Islam Terhadap Moderasi

Jika moderasi dimaknai dari hadits tentang tajdid, maka tidaklah tepat, karena makna tajdid bukanlah moderasi seperti hari ini, sehingga tidak bisa disamakan. 
Tajdid adalah istilah syar’i yang bersumber pada hadits Nabi Saw : “Sesungguhnya pada setiap penghujung seratus tahun, Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan mengutus untuk umat ini orang yang akan memperbaharui agama mereka”. 

At-Tajdîd berasal dari kata jaddada (جَدَّدَ) dan jadîd (جَدِÙŠْدٌ). Kata jadîd sering digunakan dalam al-Qur`ân dan assunnah, juga sering dipakai oleh para Ulama. at-Tajdîd, menurut bahasa, maknanya berkisar pada menghidupkan (الإِØ­ْÙŠَاء), membangkitkan ( البعْØ«ُ) dan mengembalikan (الإِعَادَØ©ُ). Makna-makna ini memberikan gambaran tentang tiga unsur yaitu keberadaan sesuatu (ÙˆُجُÙˆْد ÙƒَÙˆْÙ†ِÙŠَØ©) kemudian hancur atau hilang (بَÙ„َÙ‰ أو دُرُÙˆْس) kemudian dihidupkan dan dikembalikan (الإِØ­ْÙŠَاء أو الإعَادَØ©). Makna “at-tajdid” dalam beberapa hadits Nabi Saw, sama dengan makna bahasanya yaitu berkisar pada arti kebangkitan, menghidupkan dan mengembalikan. 

Istilah tajdid sering didefinisikan dengan beragam definisi yang menyimpang. Padahal istilah ini berasal dari hadits Nabi Saw. Sehingga mestinya pengertiannya yang benar adalah yang dimaksudkan oleh Rasûlullâh Saw, dan yang disampaikan kepada para sahabat. Kemudian disampaikan  kepada generasi setelahnya secara bersambung dan estafet. Oleh karena itu, yang berkompeten menjelaskan pengertian istilah ini menurut syari’at adalah para Ulama salaf dari kalangan sahabat, tabi’în dan tabi’ut tabi’în serta para ulama besar yang sudah terkenal dan masyhur serta diterima oleh kaum muslimin dari generasi ke generasi. Maka  untuk memahmi tajdid harusnya berdasarkan sunnah Rasûlullâh Saw. 

Tajdid dalam ushul aqidah (rukun-rukun islam dan nash-nash syariat), merupakan sesuatu yang tidak mungkin berubah dan berganti hukumnya, maka tajdid dalam hal ini, adalah menghidupkan kembali pemahaman yang benar dan menghilangkan semua syubhat dan kerancuan yang ada dalam akal manusia, serta mengembalikannya menjadi hukum bagi manusia.

Sedangkan peristiwa yang baru, maka ia tunduk kepada nash-nash syariat untuk dihukumi dan bukan sebaliknya. Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan bahwa apabila ada nash dalam al-Quran atau sunnah yang shahih tentang satu perkara dengan  satu hukum tertentu, maka ia adalah benar tidak ada pengaruhnya perubahan waktu dan tempat, serta keadaan. Semua yang telah ditetapkan, maka ia akan tetap berlaku selamanya dalam segala zaman, tempat dan keadaan, hingga datang nash syariat yang memalingkannya dari hukum tersebut di waktu, tempat atau keadaan lainnya (Al-Ihkam Fi Ushuul al-Ahkam, 5/774). 

Oleh karena itu, merujuk pada ulama salaf, tajdid adalah menghidupkan kembali apa yang telah dilupakan, yang ditinggalkan dari ajaran islam guna mereformasi kehidupan kaum muslimin ke arah yang lebih baik. Maka Orang yang memurnikan agama, ia menghapus penyimpangan, menghapus perubahan, ia juga menghilangkan rekayasa atau kedustaan dan kepalsuan. Bukan menghilangkan yang lama dan mengubah dari aslinya, kemudian menggantinya dengan yang baru.

Jadi islam wasathiyah, islam yang berkeadilan, dan uamtanya adalah umatan wasatho adalah umat yang adil, yang punya prinsip, bukan umat yang guncang tanpa prinsip.  Berupaya mengembalikan umat kepada prinsip yang tegak di atas al-Quran, as-sunnah sesuai pemahaman ulama salafush sholih. 

Jadi revisi pelajaran agama hari ini, adalah bentuk liberalisasi dengan cover moderasi Islam yang tidak menafikan ada inovasi, kreasi, dinamisasi zaman yang terus berubah, sehingga islam harus tunduk pada realitas, bukan realitas yang tunduk pada Islam.

Masihkah kita akan terus terjebak dengan propaganda Barat? tentu tidak.
Karena Islam dan ajarannya adalah ajaran yang sempurna. Datang dari zat yang Maha Sempurna. Telah terbukti mampu mengantarkan manusia dalam peradaban mulia yang tertata dalam sistem Khilafah Islamiyah. Peradabannya mampu bertahan selama 13 abad dan menaungi 2/3 wilayah dunia. Khilafah adalah janji Allah dan Bisyarah Rasulullah Saw. Dan akan tegak sesuai kehendak-Nya. Wallahu A’lam.[]

Oleh: Fariha Adibah (Aktivis Muslimah)

Posting Komentar

0 Komentar