Tuduhan Radikalisme: Dapatkah Mendegradasi Karakter Kritisisme Kampus Dalam Meruhanikan Sebenar Ilmu?


Syahdan, di tengah hiruk-pikuk dunia akademik ada kelompok yang menyebut dirinya sebagai alumni ITB dan mengatasnamakan diri sebagai Gerakan Anti Radikalisme - Alumni Institut Teknologi Bandung, meminta agar Din Syamsuddin dicopot dari Majelis Wali Amanat ITB. Permintaan ini tertuang dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Ketua Wali Amanat ITB. 

Sebagaimana diberitakan oleh Tempo.com, 26 Juni 2020 Gerakan Alumni itu menuntut Din Syamsudin mundur dari MWA ITB karena 3 alasan:

1. Dianggap terlalu sering mengkritik pemerintah;
2. Dianggap terlibat dalam Webinar pemakzulan Presiden;
3. Dianggap tak segan menyerang Pemerintah Jokowi.

Pada prinsipnya Prof. Din Syamsudin dianggap telah melanggar ketentuan Statuta ITB yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2013 tentang Statuta ITB dan Peraturan MWA tentang Penetapan Tri Dharma dan Otonomi Pengelolaan ITB PTNBH. Peraturan tersebut di antaranya menegaskan bahwa hubungan eksternal dengan pihak pemerintah, alumni, tokoh masyarakat, dan komunitas harus dikelola dengan baik dan berkesinambungan.

Benarkah seperti itu cara berpikir alumni yang notabene merupakan bagian kampus yang tidak terpisahkan? Apakah mereka tidak memahami bahwa tugas kampus itu meruhanikan ilmu yang berarti karakter berpikir kritis (critical thinking) adalah andalannya?


Pentingnya karakter radikal (kritisisme) dimiliki oleh Kampus dalam menjalankan tugasnya untuk meruhanikan ilmu pengetahuan

Atas peristiwa tuntutan mundur terhadap insan kampus yang kritis, mengingatkan penulis pada peristiwa penyematan kampus radikal di Indonesia berdasarkan hasil penelitian Setara Institute sebagaimana diberitakan oleh Suara.com, 31 Mei 2019. Direktur Riset Setara Institute, Halili mengungkapkan, sebanyak 10 perguruan tinggi negeri di Indonesia terpapar paham radikalisme, termasuk di dalamnya adalah ITB. Bahkan, dikatakan yang paling parah itu ITB.

Tahun 2018 dan 2019 memang banyak muncul berita tentang radikalisme di kampus. Tahun-tahun itu seperti musim panen raya isu radikalisme, termasuk masjid dan pesantren. Itu fakta atau propaganda? Dikatakan fakta, ternyata banyak bukti yang menunjukkan tidak nyatanya fenomena itu di kampus yang dituduh RADIKAL. Jika oleh Setara Institute disebutkan ada 10 kampus terpapar radikalisme, setidaknya ada 7 kampus negeri di Indonesia yang diframe melalui riset BNPT sebagai kampus radikal.

Atas dasar realitas tersebut di muka, sayang sekali, mahasiswa di kampus-kampus tersebut justru merasa heran dengan penyematan status radikal itu karena mereka merasa tidak ada fenomena radikalisme di setiap kegiatan kampusnya. Tidak ada unsur pemaksaan kehendak apalagi penggunaan kekerasan untuk menerapkan suatu ideologi tertentu. Mereka beraktifitas biasa, aktivitas badan-badan kegiatan mahasiswa semuanya berjalan normal, tidak terpapar hingga "gosong" wajahnya karena radikalisme.

Singkat cerita waktu itu mahasiswa menolak penyematan status RADIKAL pada kampus yang dicintainya. Mereka juga menanyakan tentang NARASI RADIKAL itu apa? Ini narasi ilmiah, narasi hukum ataukah narasi politik? Semuanya belum jelas, sehingga membuat orang membuat narasi sendiri sesuai kepentingannya. Bila para mahasiswa di kampus-kampus yang disematkan status radikal itu menolak bahkan heran dengan temuan riset pihak tertentu itu, lalu apakah radikalisme di kampus itu fakta atau propaganda? Anda mungkin bisa menilai sendiri.

Dalam kacamata pengamatan kami, diksi Radikal yang dinarasikan pemerintah yaitu suatu faham yang identik dengan gerakan ekstrimis, sarat kekerasan dan sering dikait-kaitkan dengan sikap intoleran atau dengan istilah disebut dengan faham Radikalisme. Dan narasi itu pulalah yang tidak hanya disematkan ke beberapa kampus secara khusus namun kerap disematkan juga kepada seseorang atau kelompok dari umat Islam yang militan mendakwahkan ajaran-ajaran syariat Islam.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi Radikal yaitu: ra·di·kal yang berarti berpikir secara mengakar dan mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): yang menuntut suatu perubahan serta maju dalam berpikir atau bertindak. Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kata Radikal dalam definisi sebenarnya adalah bermakna positif, yang terbentuk pada pola pikir yang mengakar dari apa yang diyakini kemudian maju secara pemikiran dan tindakan yang mengarahkan pada suatu perubahan. Jauh dari tindakan ekstrimis, kekerasan hingga peneroran seperti yang sering dinarasikan oleh pemerintah dewasa ini terhadap seseorang atau kelompok umat Islam dalam sebuah pergerakan dakwah atau memperjuangkan Islam. 

Tugas kampus adalah untuk meruhanikan ilmu pengetahuan. Ruhani itu berarti bicara tentang cipta, rasa dan karsa. Ini yang kita sebut dengan akal. Akal inilah yang mendasari mengapa seorang ilmuwan yang dilahirkannya harus berkarakter radikal. Sedangkan narasi tentang radikal oleh penulis dalam tulisan ini adalah: RAmah terDIdik beraKAL. Artinya "critical thinking" yaitu cara insan kampus berpikir terlepas dari kepentingan hegemoni kekuasaan rezim. Bahkan kalau perlu, berani memberikan kritik atas kekeliruan pada kebijakan rezim penguasa, bukan membebek dan mengamini kekeliruan tersebut. Maka, yang seperti demikianlah bisa disebut sebagai kampus yang meruhanikan ilmu. Bila tidak, sebenarnya kampus itu tidak ubahnya seperti "kepanjangan tangan" rezim penguasa.

Seorang ilmuwan haruslah mengutamakan akal dalam bersikap, berpendapat dan bertindak. Seseorang dikatakan berakal bila masih ada ikatan antara cipta, rasa dan karsanya. 
Cipta: bertugas pada pencarian kebenaran
Rasa: bertugas mewujudkan keindahan, keseimbangan.
Karsa: bertugas mengarahkan pada kebaikan.

Namun ketika seorang ilmuwan telah:
1. Terinjak kaki nya lantaran masalah besarnya;
2. Terbujuk dengan janji manis;
3. Tidak mampu lagi berArgumentasi;

maka tunggulah kelumpuhan intelektualitasnya hingga tak lagi dapat diharapkan ada perubahan ilmu yang idealogis apalagi berharap keberkahannya darinya. 

Ilmu tanpa praktik hanya menjadi macan kertas. Garang di atas kertas tapi lumpuh di alam nyata. Seonggok kata-kata tanpa makna, sebatas syair jampi-jampi yang meninabobokkan; sedang praktik tanpa ilmu hanya akan menggiring manusia ke arah kehancuran karena kehidupan yang dijalani nir ideologi, nir akal sehat. Maka, tugas utama kampus atau universitas adalah meruhanikan ilmu sehingga mampu menuntun kehidupan manusia menjadi lebih baik. Itulah kampus yang diharapkan mampu memanusiakan manusia yang hakikatnya adalah mahluk ruhani, kampus yang mendekatkan dirinya terhadap persoalan masyarakat, bukan menara gading. Oleh karena itu, sebuah kampus itu haruslah:

1. Menyuarakan kebenaran sebagai kewajiban pokok ilmuwan;
2. Menampilkan keindahan sebagai tugas mulia ilmuwan;
3. Mendukung kebaikan sebagai sikap santun seorang ilmuwan.

Kampus hendaknya tetaplah berkarakter radikal yang bermakna Ramah, Terdidik Berakal dan berpikir mendasar dan menuntun pada perubahan yang benar. Pemberangusan karakter radikal hanya akan berakhir pada kemandegan ilmu pengetahuan dan kejumudan berpikir yang akan berakhir pada situasi yang dalam bahasa Jawa kasar disebut "micek/buta", yakni membutakan diri dengan tidak peduli terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran serta ketimpangan sosial yang terjadi di depan mata.

Indikasi kampus tercerabut karakter meruhanikan sebenar ilmu melalui desakan pengunduran diri atas Prof Din Syamsudin dari MWA ITB

Terlihat dalam kiprahnya selama ini Prof. Din Syamsudin bukanlah pribadi radikal terorisme, beliau hanya menjadi sebagai insan radikal karena pikiran-pikirannya yang mendasar hendak berusaha mencari akar masalah dan kritis atas segala kerumitan bangsa dan negara Indonesia. Idealnya di negara yang menganut paham demokrasi dan "the open society" siapapun haruslah bijak dalam menyikapi kritik.

Kritikus itu bukan ditempatkan sebagai musuh (enemy), tapi sebagai sparing partner permainan yang harus dirangkul, bukan dipukul. Jika karena kritisisme pemikirannya lalu Prof. Din Syamsudin mengundurkan diri karena tekanan kelompok alumni yang mengklaim dirinya AntiRadikalisme, maka bisa dikatakan di kampus ITB telah terjadi proses pelumpuhan karakter kampus yang seharusnya bertugas meruhanikan ilmu pengetahuan. 

Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya karena sejatinya sedari awal telah terjadinya Sekularisasi di dalam mayoritas lingkungan kampus kita sebagai buah dari sistem pendidikan yang diterapkan hari ini. Yang ditandai dengan adanya azaz kepentingan pribadi yang menunjukkan corak mahasiswanya yang hedonis, individualis, liberalis, hedonis, permissive, pragmatis, materialis dan apatis yang jauh dari karakter dan cerminan sebagai insan akademis. Yang cenderung menjadikan tolak ukur manfaat dan mendewakan keinginan yang muncul, kemudian direalisasikan begitu saja tanpa ada batasan yang benar dan salah menurut kebenaran mutlak. Sehingga tolak ukur mahasiswa bukan lagi halal-haram melainkan memandang baik atau buruknya sesuatu bersifat relatif yang berdasarkan manfaat saja. 

Sungguh miris tatkala menyaksikan kondisi kampus dan para mahasiswa kita hari ini yang menjadikan sekularisme sebagai asas dalam kehidupannya. Akibat dari kondisi tersebut kebanyakan dari mereka telah melakukan pembiaran terhadap hegemoni penjajahan bahkan menjadi penikmat atas segala penjajahan terutama penjajahan pemikiran asing yang tanpa sadar telah berkuasa dalam diri mereka. 

Sebagian besar mahasiswa yang ada di kampus – kampus hari ini adalah mahasiswa yang hanya menginginkan akan terpuaskan hidupnya, terkenyangkan perutnya, dan terisikan dompetnya dan segala macam keinginan dalam zona kenyamanan yang ada. Alhasil bukan agama yang menjadi poros hidup mereka, namun kepentingan dunialah yang menjadi orientasi. Sehingga kian kering sudah rasa kepekaan yang ada terhadap kondisi masyarakat dan sifat kritis terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang seharusnya menjadi objek kontrol mereka sebagai ilmuwan dan insan akademisi. Maka, tak heran yang tinggal hanyalah para akademis yang menjadi kepanjangan tangan rezim atau pembebek penguasa saja. Jikapun harus kritis mereka hanya akan mengkritik hal-hal yang remeh dan yang mengancam kepentingan kampus atau hajat mereka saja.

Dengan demikian patut diduga bahwa kelompok yang menginginkan ilmuwan kritis seperti Prof. Din Syamsuddin mundur itu telah terpapar sekulerisme radikal serta intoleransi keberagaman. Apakah ini sebuah gejala bahwa kita sedang menuju "new normal baru" berupa sistem neo komunisme Indonesia? Sistem perekonomian-nya dilepas secara liberal kapitalistik, tetapi sistem politiknya dicengkeram dengan balutan otoritarianisme?

Strategi sistem pendidikan Islam menyikapi penyimpangan kebijakan rezim penguasa melalui karakter kritisisme pemikiran (critical thinking) civitas akedemika kampus.

Berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam, Islam menolak keras sekularisasi dalam sistem pendidikannya. Sistem pendidikan dalam Islam ditopang kuat oleh sistem kurikulum yang berbasis akidah dalam setiap jenjangnya. Visi atau tujuan sistem pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia atau generasi yang memiliki: kepribadian Islam; menguasai pemikiran Islam dengan handal; menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); serta emiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna. Sehingga dengan sistem pendidkan islam mampu melahirkan para siswa dan mahasiswa yang bertaqwa menjadi penerus para ilmuwan dan ulama yang keberadaannya sangatlah penting dalam kehidupan suatu negara.

Keberadaan lembaga pendidikan ataupun berbagai kampus atau perguruan tinggi sangatlah menjadi perhatian penting di dalam Islam. Maka tak heran ketika di masa kejayaan pemerintahan Islam para khalifah membangun berbagai lembaga pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Tujuannya tidak lain adalah meningkatkan pemahaman umat terhadap agama, sains dan teknologi.

Selama masa pemerintahan Islam tersebut, tercatat beberapa lembaga pendidikan Islam yang terus berkembang dari dulu hingga sekarang. Kendati beberapa di antaranya hanya tinggal nama, nama-nama lembaga pendidikan Islam itu pernah mengalami puncak kejayaan dan menjadi simbol kegemilangan peradaban Islam. Beberapa lembaga pendidikan itu, antara lain, Nizhamiyah (1067 -1401 M) di Baghdad, Al-Azhar (975 M-sekarang) di Mesir, al-Qarawiyyin (859 M-sekarang) di Fez, Maroko dan Sankore (989 M-sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika.

Masing-masing lembaga tersebut memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang sangat maju ketika itu. Beberapa lembaga itu berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan ilmuwan Muslim yang sangat disegani. Misalnya, al-Ghazali, Ibnu Ruysd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun, Al-Farabi, al-Khawarizmi dan al-Firdausi.

Adapun sikap kritis atau (critical thinking) yang memiliki pola pikir dan sikap kritis terhadap penguasa adalah karakter penting yang dimiliki oleh mahasiswa para ilmuwannya. Karena sikap kritis adalah bagian dari aktivitas amar makruf nahi mungkar yang merupakan inti dari ajaran Islam, dan bagian dari wujud ketaqwaan. Sebab adalah suatu yang lumrah ketika terjadi pelanggaran hukum syara' atau penyimpangan dalam kebijakan bisa dilakukan oleh seorang pemimpin sebagai seorang manusia yang mempunyai keterbatasan, maka di sinilah fungsi muhasabah atau kritik itu wajibkan agar pemimpin kembali ke jalan yang benar.

Rasulullah SAW menegaskan, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pemimpin negara yang berkuasa atas manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang lelaki/suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Wanita/istri adalah pemimpin terhadap keluarga suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam sejarah masa kekhalifahan Islam adalah khalifah Sayyidina Umar bin Khattab memberlakukan sebuah kebijakan yaitu akan memangkas setiap kelebihan dari mahar yang diberikan kepada pengantin wanita dan memasukkannya ke baitul mal. Di saat itu juga ada seorang perempuan Quraisy berdiri lalu melontarkan protes ketika Sayyidina Umar turun dari podium. 

"Hai Amirul Mu'minin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?" "Ya." “Apakah kau tak pernah dengar Allah menurunkan ayat: ÙˆَآتَÙŠْتُÙ…ْ Ø¥ِØ­ْدَاهُÙ†َّ Ù‚ِÙ†ْØ·َارًا "... kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar)..." (QS an-Nisa': 20)"
Namun, apa yang terjadi, protes tersebut ternyata disambut hangat oleh Khalifah Umar. Ia membaca istighfar dan berujar, "Tiap orang lebih paham ketimbang Umar." Ini adalah kalimat retorik Sayydina Umar dari kepribadiannya yang rendah hati dan karakter kepemimpinannya yang tidak antikritik. 

Dalam riwayat lain ia mengatakan, "(Kali ini) perempuan benar, lelaki salah." Selanjutnya khalifah kedua ini kembali ke atas mimbar dan berkata, "Wahai khalayak, tadi aku larang kalian memberikan mahar kepada istri melebihi 400 dirham. Sekarang silakan siapa pun memberikan harta (sebagai mahar) menurut kehendaknya." 
Walaupun di sisi lain kebijakan atau pendapat yang hendak diberlakukan Sayyidina Umar tersebut mungkin mengandung kebenaran karena menghindarkan para calon pengantin dari hal-hal yang memberatkan dan sikap berlebih-lebihan. Bukankah Rasulullah pernah mengatakan “sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah?” namun Khalifah Umar lebih membenarkan pendapat perempuan itu yang dia nilai juga memiliki aspek kebenarannya, yakni diperbolehkanya memberikan mahar yang banyak kepada perempuan yang dinikahi. 

Prinsipnya ada hal yang lebih menarik dan menjadi pelajaran dari peristiwa protes dan perdebatan tentang jumlah mas kawin tersebut. Yakni cara Sayyidina Umar sebagai pemimpin kala itu dalam menyikapi kritik dari warganya. Ia menunjukkan kelasnya sebagai pemimpin teladan dengan tanpa sungkan mengakui kekurangannya. Sayyidina Umar juga tanpa ragu merevisi isi pidatonya/ kebijakan yang hendak diterapkannya walaupun koreksi datang dari seorang perempuan, bagian dari kelompok manusia yang pernah ia rendahkan pada zaman jahiliyah. 

Oleh karena itu, adalah suatu yang dibenarkan ketika adanya tokoh ilmuwan sekaligus ulama seperti halnya Prof. Din Syamsuddin yang memiliki sikap yang kritis atas jalannya penyelenggaraan pemerintahan guna mencari tahu akar masalah serta solusi dalam penyelesaiannya yang seharusnya diapresiasi oleh pemerintah dan mendapatkan dukungan dari para akademika kampus seperti alumni ITB tersebut. Karena sudah seharusnya para akademisi dan ilmuwan bersama-sama berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai bagian dari dedikasi mereka untuk kebaikan negeri ini.

Dari sejumlah uraian di atas dapat kami tari beberapa kesimpulan, di antaranya:

Pertama, Tugas utama kampus atau universitas adalah meruhanikan ilmu sehingga mampu menuntun kehidupan manusia menjadi lebih baik. Itulah kampus yang diharapkan mampu memanusiakan manusia yang hakikatnya adalah mahluk ruhani, kampus yang mendekatkan dirinya terhadap persoalan masyarakat, bukan menara gading. Memiliki karakter radikal yang bermakna Ramah, Terdidik Berakal dan berpikir mendasar dan menuntun pada perubahan yang benar. Pemberangusan karakter radikal hanya akan berakhir pada kemandegan ilmu dan kejumudan berpikir, membutakan diri dengan tidak peduli terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran serta ketimpangan sosial yang terjadi di depan mata.

Kedua. Kondisi lingkungan kampus dan para mahasiswa kita hari ini yang menjadikan sekularisme sebagai asas dalam kehidupannya. Sehingga kian kering sudah rasa kepekaan yang ada terhadap kondisi masyarakat dan sifat kritis terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang seharusnya menjadi objek kontrol mereka sebagai ilmuwan dan insan akademisi. Dengan demikian patut diduga bahwa kelompok yang menginginkan ilmuwan kritis seperti Prof. Din Syamsuddin mundur itu telah terpapar sekulerisme radikal serta intoleransi keberagaman. 

Ketiga. Berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam yang menolak keras sekularisasi, yang ditopang kuat oleh sistem kurikulum yang berbasis akidah dalam setiap jenjangnya, dan berhasil melahirkan tokoh-tokoh pemikir, akademisi dan ilmuwan Muslim yang sangat disegani. Sikap kritis atau (critical thinking) adalah karakter penting yang dimiliki oleh mahasiswa para ilmuwannya. Karena sikap kritis adalah bagian dari aktivitas amar makruf nahi mungkar yang merupakan inti dari ajaran Islam, dan berfungsi sebagai muhasabah agar pemimpin yang melakukan penyimpangan dalam kebijakannya kembali ke jalan yang dibenarkan. Para akademisi dan ilmuwan bersama-sama berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai bagian dari dedikasi mereka untuk kebaikan negeri.

Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum* dan Liza Burhan**

*Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat
**Analis Mutiara Umat

Posting Komentar

0 Komentar