Tebang Pilih Hukum, Inikah Demokrasi?


Dua pelaku kasus penyiraman penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan akhirnya diadili selama kurang lebih tiga tahun dua bulan. Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan Jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara Jalan Gajah Mada Gambir Jakarta Pusat (Kamis, 11/6/2020). 

Jaksa menyebut terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras kebagian wajah Novel. Menurut Jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Berdasarkan dakwa tersebut Rahmad Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dituntut jaksa dengan hukuman 1 tahun penjara. Keduanya dinilai melanggar pasal 353 ayat 2 KUHP juncto pasal 55 ayat (1).
 
Menurut Novel Baswedan, hukum di Indonesia Compang-camping (Kompas.com, 12/06/2020). Perjalanan kasus Novel Baswedan yang sangat berat daripada tuntutan jaksa yang terlalu ringan. Bukan suatu hal yang aneh, apabila sistem peradilan saat ini terlihat compang-camping. Landasan hukum saat ini merupakan hasil produk akal manusia. 

Sedangkan akal manusia itu terbatas, tanpa bimbingan wahyu akal akan memutuskan segala hal sesuai hawa nafsu. Sehingga hukum yang dihasilkan bukan menjadi solusi, namun cenderung melindungi kepentingan kelompok tertentu. Inilah sanksi dalam sistem sekuler demokrasi. Sistem yang utopia dalam menciptakan keadilan di tengah - tengah masyarakat. 

Berbeda dengan sistem Islam atau biasa disebut dengan istilah Khilafah dibangun berdasarkan Aqidah Islam. Bahwa Allah yang menciptakan manusia sekaligus pemberi peraturan. Maka Dia satu-satunya yang berhak membuat hukum. 

Oleh karena itu, sistem sanksi (uqubat) juga tidak lepas dari paradigma ini. Dalam Islam pelaksanaan sanksi (uqubat) di dunia merupakan tanggung jawab Khalifah atau yang ditunjuk mewakilinya.
Jadi negaralah yang melaksanakan, sanksi di dunia berfungsi sebagai pencegah (zawajir) yakni mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal. Sekaligus penebus dosa (jawabir) yakni menggugurkan sanksi akhirat bagi pelaku kriminal yang telah dikenai sanksi di dunia. 

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dari Ubaidah bin Shamit ketika menuturkan ihwal teks Ba'iat Aqabah 1 yang diantaranya menyebutkan "Siapa diantara kalian yang memenuhi nya maka pahalanya disisi Allah. Siapa yang melanggarnya lalu diberi sanksi maka itu sebagai penebus dosa baginya siapa yang melanggarnya, namun kesalahan itu ditutupi oleh Allah, jika Allah menghendaki Dia akan mengampuni nya, jika ia menghendaki, Dia akan mengasahnya (HR. Bukhari). 

Bentuk sanksi dalam Islam akan digolongkan menjadi 4 yaitu Hudud, Jinayat, Ta'zir, dan Mukhalafat. 

Terkait kasus penyiraman air keras hingga mengakibatkan cacat permanen. Maka dalam pandangan Islam ini merupakan tindakan kriminal dengan sanksi Jinayat. Jinayat merupakan tindakan pencederaan terhadap jiwa hingga menghilangkan nyawa. Sanksi yang akan diberikan adalah Hukum Qishas. 

Namun jika keluarga korban memaafkan, hakim tidak bisa memberikan sanksi pelaku diwajibkan membayar Diyat. Diyat merupakan sejumlah harta yang dibayarkan sebagai kompensasinya atas pencederaan badan atau timbulnya kematian. Diyat untuk nyawa seratus unta atau seribu dinar. Dinar pencederaan badan, nilainya disesuaikan dengan kerusakan fungsi organ serta jenis anggota badan yang dicederai. 

Sebagaimana seperti diterangkan dalam banyak hadis konstitusi (dustur) dalam Islam diadopsi dari ketentuan bahwa Al Qur'an, As Sunnah, Ijma', dan Qiyas merupakan sumber hukum yang diakui oleh syara'. Begitupun seperti Mazhab Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hambali menjadi referensi penting dalam mengadili dan membuktikan perkara karena itu hakim selain wajib merujuk Al Qur'an dan Al Hadits juga merujuk kitab ulama-ulama memperhatikan pandangan dan ijtihad ulama agar tidak keliru menjatuhkan vonis. 

Dalam sistem Islam (Khilafah), qadli (hakim) harus berderajat ulama yakni orang alim (mengetahui) akan syariat penerapan Islam dalam Rana praktis.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50)

Wallahu'alam bi showab.[]

Oleh : Sahna Salfini Husyairoh
Aktivis Muslimah

Posting Komentar

0 Komentar