Pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Dakwah Islam


Rasulullah saw merupakan seseorang yang diberikan keistimewaan dan kelebihan oleh Allah swt. Pada saat diturunkan ayat yang membatasi pernikahan hanya sampai pada empat orang istri pada satu waktu, maka beliau diberikan kekhususan untuk beristri lebih dari empat orang. Telah jelas bahwa hal itu merupakan kekhususan bagi Rasulullah saw. Karena perbuatan Nabi saw tentu tidak akan bertentangan dengan perkataan yang beliau ucapkan. Jika terdapat kontradiksi antara perkataan dan perbuatan Rasulullah saw, maka perbuatan itu adalah khusus diiperuntukkan bagi beliau, sedangkan perkataan beliau  tetap berlaku bagi kaum muslim seluruhnya.

Sebab sebagaimana telah ditetapkan di dalam kaedah ushul fikih bahwa perbuatan Nabi saw tidak akan bertentangan dengan perkataan beliau yang khusus ditujukan kepada umatnya. Pabila perbuatan Nabi saw bertentangan dengan perkataan beliau kepada umat, berarti perbuatan tersebut khusus berlaku hanya untuk beliau. Perintah Nabi saw yang khusus ditujukan kepada umat beliau, statusnya lebih khusus dari dalil-dalil peneladanan suatu perkara dengan mengikuti beliau baik perkataan maupun perbuatan.

Karena itu kaum muslim tidak boleh meneladani nabi saw dalam perbuatan yang bertentangan dengan perkara-perkara yang diperintahkan kepada mereka. Terlebih, kebolehan beliau menikahi lebih dari empat dan mengawini wanita yang menyerahkan dirinya kepada beliau, dan yang lainnya, hal itu telah ditunjukkan oleh ayat-ayat Alquran alkarim. Allas swt berfirman :

“Hai Nabi, sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu istri-istri yang telah kamu berikan mas kawainnya dan hamba sahaya yang kamu miliki termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anakperempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu.” (TQS Al-Ahzab [33] : 50)

Dengan merujuk kepada sejarah, kita akan menemukan bahwa Nabi saw mengawini Khadijah Ra dan tetap menjadi satu-satunya istri beliau hingga khadijah wafat tanpa beliau menikah lagi dengan wanita lain. Padahal saat itu poligami merupakan tradisi bagi kalangan masyarakat arab. Baik beliau menikah dengan Khadijah ra sebelum diangkat menjadi nabi maupun dalam kehidupan dakwah dan perjuangan melawan pemikiran-pemikiran kufur setelah menjadi nabi. Beliau tidak berfikir untuk menikah lagi.

Sebelum dan setelah pernikahannya dengan Khadijah ra, rasul saw juga tidak pernah dikenal sebagai laki-laki yang tergoda oleh perempuan. Padahal, saat itu dandanan dan tingkah laku jahliyah dari para wanita merupakan godaan bagi para laki-laki. Karena itu sangat aneh, jika kita menemukan bahwa ketika beliau berusia 50 tahun sepeninggal khadijah ra nabi menikahi lebih dari empat orang istri.

Dalam posisi beliau sebagai pengemban risalah islam, kepala negara, berdakwah di tengah-tengah masyarakat kufur, dan menentang peradaban besar persia maupun romawi. Dalam usia yang tidak muda lagi, maka muncul pertanyaan, apakah perkawinan beliau semata-mata karena keinginan terhadap wanita untuk memenuhi seksual semata, sebagaimana tuduhan yang ingin menjatuhkan Rasulullah? Ataukah justru karena motif lain, yaitu semata-mata terkait dengan risalah islam dan beban dakwah yang diemban oleh beliau?.

Dalam kitab An-Nizhomul al-Ijtima’i Fil Islam Karangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, bahwa setelah wafatnya Khadijah ra, beliau meminang Aisyah binti Abu Bakar, putri sahabat beliau yang menyertai dakwah sekaligus berposisi sebagai wazir (pembantu kepala negara) dalam mengatur urusan pemerintahan, peperangan, dan berbagai urusan negara lainnya. Termasuk juga ketika beliau menikahi Hafshah binti Umar ibn al-Khathtab, yang sebelumnya merupakan janda yang ditinggal mati suaminya yaitu Khunays salah seorang yang termasuk dari orang yang pertama-tama memeluk islam. Umar ibn al-Khathab ayah Hafshah juga sahabat rasulullah di dalam dakwah sekaligus wazir dalam urusan negara.

Rasulullah juga menikahi Sawdah binti Zam’ah, janda mendiang Sukran ibn Amr ibn Abdi Syams, salah seorang muslim yang turut berhijrah ke Habsyah kemudian kembali ke Mekkah dan wafat disana. Dan tidak ada riwayat bahwa Sawdah memiliki kecantikan, kekayaan maupun kedudukan. Berarti Rasulullah menikahi Sawdah karena ingin mengagungkannya, menanggung beban hidupnya dan mengangkat derajatnya menjadi Ummul Mukminin.

Sementara itu pernikahan beliau dengan Juwayriah binti al-Harist abi Dharar, salah seorang pemuka kaum dari Bani Mushtahaliq. Dan juga pernikahan beliau dengan Shafiyah binti Huyay ibn Akhthab, salah seorang pemuka kaum Yahudi. Pernikahan Nabi saw dengan keduanya merupakan pernikahan untuk mengangkat derajat seorang sabi (hamba sahaya karena kalah dalam peperangan). Selain itu beliau menikahi putri-putri dari pemimpin suatu kabilah yang telah beliau tundukkan, yang dinikahi untuk mendapatkan kecintaan pemimpin kabilah itu dan kaumnya.

Sedangkan pernikahan beliau dengan Maymunah, saudara perempuan Ummu al-Fadhl, isteri Abbas ibn Abd al-Muthalib. Merupakan kerabat dekat beliau sendiri. Pernikahan beliau dengannya agar dapat menjadi wasilah untuk meningkatkan saling pengertian antara beliau dengan orang-orang Quraisy dalam peristiwa Umrah al-Qadha, akibat perjanjian Hudaybiyah yang membatasi umat islam menjalani umrah. Beliau menikahi Maymunah pun karena ditawarkan oleh al-Abbas paman beliau, karena Maymunah melihat kondisi umat islam dalam peristiwa umrah tersebut akhirnya dia masuk islam dan menyiarkan dirinya telah masuk islam yang akhirnya dinikahi oleh rasulullah.

Di sisi lain pernikahan beliau dengan Zaynab binti Khuzaymah dan Ummu Salamah adalah pernikahan dengan janda dari dua orang sahabat beliau yang telah syahid akibat peperangan. Zaynab dikenal sebagai wanita yang memiliki kebajikan dan kedermawanan sehingga digelari Umm al-Masakin. Sedangkan Ummu Salamah adalah janda dari Abu Salamah, yang meninggal akibat luka serius di Perang Uhud. Kedua wanita ini sudah tidak muda lagi bahkan Ummu Salamah menyampaikan uzur karena memiliki banyak anak. Namun rasul tetap menikahi mereka dan menanggung keduanya.

Selanjutnya, pernikahan nabi saw dengan Ummu Habibah binti Abi Sufyan, yaitu seorang wanita yang hijrah ke Habsyah karena mempertahankan agamanya, kemudia ia bersabar karena suaminya murtad dari islam yang ketika hijrah memeluk agama Nasrani. Jadi rasulullah menikahi Ummu Habibah ketika beliau berada di Madinah sedangkan Ummu Habibah sendiri masih berada di Habsyah. Pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah selain untuk menunjukkan hukum pernikahan dengan akad wakalah (mewakilkan kepada orang lain untuk melangsungkan akad) karena Nabi di wakilkan oleh Najasyi (penguasa Habsyah) sementara Ummu Habibah diwakili oleh Khalid ibn Sa’ad ibn al-‘Ash, namun juga pernikahan beliau untuk mengangkat kedudukan Ummu Habibah karena merupakan putri dari pemuka Mekkah dan pemimpin kaum musyrik yaitu Abu Sufyan yang akhirnya juga memeluk islam.

Adapun pernikahan beliau dengan Zaynab binti Jahsyi adalah pernikahan dalam penetapan hukum syara’ dan juga ingin menghancurkan tradisi kafa’ah (kesetaraan/sekufu) dan juga tradisi dan kepercayaan bahwa tidak boleh menikah dengan mantan istri anak angkat. Karena di masa jahiliyah, anak angkat dianggap anak sendiri dan mendapatkan hak sebagaimana anak sendiri. Zaynab termasuk wanita mulia karena dari keluarga terhormat dari kalangan bani Asad, sementara suami pertamanya adalah Zayd, bekas budak yang dibeli Khadijah ra kemudian dimerdekakan oleh Rasulullah. Kedua-duanya sudah dianggap sebagaimana anak sendiri, karena nabi mengasuh keduanya. Oleh karena itu, pernikahan nabi dengan Zaynab ingin meruntuhkan tradisi yang salah sekaligus menetapkan hukum syara terhadap anak angkat.

Demikianlah kisah pernikahan Nabi saw dengan sejumlah istri beliau. Tampak jelas, bahwa perkawinan beliau itu bukan semata-mata karena tujuan menikah saja. Namun merupakan pernikahan seorang laki-laki berumur diatas 50 tahun yang amat disibukkan dengan aktivitas dakwah, urusan umat dan negara yang bertujuan untuk mengemban risalah islam ke seluruh penjuru dunia. Itulah alasan satu-satunya bukan yang lain, bahkan beliau juga memberikan contoh bagaimana memperlakukan istri-istrinya dengan cara yang makruf. Wallahu’alam.

Oleh W. Irvandi

Posting Komentar

0 Komentar