Pancasila-RUU HIP, Ide Khilafah dan Kebebasan Berpendapat di Negara Hukum Demokratis




Melalui artikel "singkat" ini, saya hendak membuka diskursus tentang ideologi dan sistem pemerintahan. Mungkin bagi sebagian Anda akan merasa gerah, tetapi sebuah diskursus mesti dihadapi dengan diskursus pula. Berpikir jernih (critical thinking) adalah kuncinya. Seandainya ada kritik, itu mesti dianggap sebagai cara seseorang untuk turut membangun, bukan ditempatkan sebagai "enemy", bukan musuh yang harus disingkirkan dan diperangi melainkan mitra membangun bangsa dan negara. Diskursus itu hendak saya paparkan melalui 4 pertanyaan mendasar berikut ini. Selamat berpikir!

A. Apakah Pancasila mungkin "perang" dengan Khilafah?

Baru saja Pemerintah dan beberapa elemen masyarakat memeringati Hari Lahir Pancasila tangga 1 Juni. Penulis sendiri menentukan sikap lebih meyakini bahwa secara legal-konstitusional dan historikal Pancasila itu lahir pada tanggal 18 Agustus 1945. Baiklah, saya tidak akan mengajak berpolemik perihal kelahiran Pancasila ini. Yang jelas sekarang Pancasila itu adalah sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945.

Santer terdengar berita bahwa di kancah pemilu 2019 yang lalu yang terjadi adalah peperangan antara dua ideologi, yaitu Pancasila versus Khilafah. Hal itu pernah dinyatakan oleh Mantan Kepala BIN Hendro Priyono. Bila berita itu benar, maka pernyataan itu dapat dinilai kurang tepat. Mana mungkin Pancasila Perang Melawan Khilafah? Itu tidak akan terjadi karena "peperangan" yg terjadi tidak secara Apple to Apple. 

Kedudukan dan Fungsi Pancasila bisa beragam tergantung dimanfaatkan dalam bidang kehidupan apa. Ditengarai setidaknya ada 4 (empat) Bidang Kehidupan (BK) yang diatur secara estetik oleh Pancasila, yaitu:

1. BK Bermasyarakat, sebagai WAY OF LIFE
2. BK Berbangsa, sebagai IDEOLOGI BANGSA
3. BK Bernegara, sebagai DASAR NEGARA
4. BK Mondial, internasional, sebagai THE MARGIN OF APPRECIATION.

"Pancasila itu ada pada tataran ideologis
sedangkan khilafah itu ada di tataran teknis". Kalau mau apple to apple mestinya begini: "Ideologi Pancasila perang melawan Ideologi Islam atau Sistem demokrasi perang melawan sistem Khilafah".

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945---ada juga yang menyebut UUD2002----, kita negara hukum, bila ada persoalan hukum sebaiknya ditempuh dengan cara berhukum yang baik. Tunjukkan bahwa negara ini benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Dialog sangat penting untuk dilakukan, untuk saling bertabayun dan mengambil cara terbaik. Negara atau Pemerintahnya itu bertugas merangkul segala warga negara bukan memukul.

Logika yang seharusnya diutamakan adalah penempatan Pancasila sebagai nilai-nilai luhur. Bukan sosok yang disembah laksana berhala. Coba diperinci satu per satu, mulai dari nilai ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, apakah ada sifat nilai itu yang universal? Lalu kita uji apakah nilai-nilai Pancasila itu bertentangan dengan Islam? Jawabnya tentu tidak. Islam secara agama itu luas seperti sistem hidup dan kehidupan. Secara historis maka terbukti bahwa Pancasila itu sebagai hadiah agung umat Islam karena telah legowo menerima Pancasila sebagai ideologi berbangsa padahal semula umat Islam itu menghendaki dasar negara adalah agama Islam. 

Jadi, berdasar logika ini mana mungkin umat Islam hendak membunuh "anak peradaban"-nya sendiri dalam kehidupan bermuamalah. Persoalan umat Islam meyakini dan oleh karenanya mendakwahkan khilafah ke tengah umat Islam sendiri adalah bukan perbuatan yang dilarang dan tidak boleh dipersekusi apalagi ditindas. Yang penting dalam penyebaran pokok peradaban Islam itu tidak ada unsur pemaksaan dan kekerasan apalagi adanya kegiatan melakukan makar. Tidak ada paparan radikalisme. Hal ini dijamin oleh konstitusi kita khususnya dalam UUD NRI 1945 Pasal 28 E. Lalu mengapa "pengusung" dan pendakwah sistem pemerintahan khilafah dikejar dan distempeli anti NKRI dan Pancasila? Ini negara demokrasi bukan? Keragaman atau pluralisme harus dijunjung tinggi bukan?

Apakah tidak mungkin justru kita perlu duduk bersama berwacana, berdialog dan membuat pemikiran baru untuk mengatasi berbagai persoalan rumit negara bangsa ini? 

Adakah kita pernah berwacana dan berpikir bahwa: "Mungkinkah nilai-nilai Pancasila akan terwujud dalam Sistem Pemerintahan negara khilafah"? Saya ingatkan dan tekankan, hal itu cuma sebatas berwacana yang perlu diuji kebenaran mengingat satu hal yang telah disebutkan di muka bahwa Pancasila hendaknya jangan dimaknai sebagai jasad yang disembah melainkan sebagai nilai dasar luhur yang hendak diwujudkan dalam 4 bidang kehidupan tersebut.

Bagaimana posisi khilafah dalam negara hukum Indonesia terkait dengan situasi politik era sekarang ini? Dalam situasi memanas menjelang Pemilu 2019, Dewan Pertimbangan MUI memberikan tausyiah yang merupakan hasil Rapat Pleno Ke-37, tertanggal 28 Maret 2019. Disampaikan himbauan sebagai berikut:

1. Sebaiknya kedua kubu Paslon Presiden-Wapres menghindari penggunaan isu keagamaan, seperti penyebutan khilafah, karena itu merupakan bentuk politisasi agama yang bersifat peyoratif (menjelekkan).

2. Walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Al-Qur'an adalah ajaran Islam yang mulia (manusia mengemban misi menjadi Wakil Tuhan di Bumi/ khalifatullah fil ardh).

3. Mempertentangkan khilafah dengan Pancasila adalah identik dengan mempertentangkan Negara Islam dengan Negara Pancasila, yang sesungguh sudah lama selesai dgn penegasan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Upaya mempertentangkannya merupakan upaya membuka luka lama dan dapat menyinggung perasaan umat Islam.

4. Menisbatkan sesuatu yang dianggap Anti Pancasila terhadap suatu kelompok adalah labelisasi dan generalisasi (menggebyah-uyah) yang berbahaya dan dapat menciptakan suasana perpecahan di tubuh bangsa.

5. Mengimbau segenap keluarga bangsa agar jangan terpengaruh apalagi terprovokasi dengan pikiran-pikiran yang tidak relevan dan kondusif bagi penciptaan Pemilu/Pilpres damai, berkualitas, berkeadilan, dan berkeadaban (Jakarta, 29 Maret 2019, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI).

Dengan demikian dapat kita simpulkan, sebenarnya terlalu naif mempertentangkan khilafah dengan Pancasila karena khilafah adalah ajaran Islam sehingga tidak mungkin ajaran Islam itu bertentangan dengan Pancasila mengingat Pancasila adalah buah peradaban umat Islam sendiri. Yang terpenting bagi kita adalah tidak ada upaya pemaksaan dan penggunaan kekerasan dalam menyampaikan ajaran Islam apa pun, apalagi hendak melakukan makar baik secara idelologis, wilayah maupun pemerintahan yang berkuasa.

B. Apakah Cara Berhukum di Negara Demokrasi ini sudah dijiwai nilai Pancasila?

Kalau boleh saya menyampaikan "statement nakal" sebenarnya kita ini sejak merdeka belum pernah menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam bernegara. Fungsi Pancasila sebagai rechtsidee itu hanya lamis (kembang lambe alias lips service) karena senyatanya kita di bawah cengkeraman liberal kapitalisme. Memang secara ideal kita punya UUD 1945 sebagai pengejawantahan Pancasila sebagai rechtsidee itu tetapi secara riil kita tidak memiliki ruh Pancasila dalam berhukum kita. 

Pancasila akhirnya hanya berfungsi sebagai stempel kekuasaan yang cenderung ingin mengatakan bahwa 'saya Pancasila' yang identik dengan slogan 'saya adalah negara atau negara adalah saya' (L'etat C'est Moi). Dari slogan ini berakibat ketika ada orang berlawanan dengan 'saya' maka itu berarti berlawanan dengan negara dan Pancasila. Hukum sudah tidak dianggap lagi sebagai panglima meski negara ini mendeklarasikan dirinya sebagai negara (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945). Lalu tampillah politik sebagai godam penguasa untuk pertahankan status quo. Maka akhirnya yang berlawanan itu akan dianggap sebagai musuh dan oleh karenanya mesti disingkirkan dengan cara yang seolah legitimate padahal yang sedang berlangsung adalah ritual otoritariarisme. Di situlah kriminalisasi politik tengah berlangsung dengan tujuan utama "memenjarakan" lawan yang lantang berteriak perbedaan dalam klaim demokrasi.

Lalu di mana Pancasila yang nilai-nilai luhurnya sudah dikaji keutamaannya untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini? Nilai itu hanya sekedar menjadi macan kertas belaka. Akhir skenario ini dapat ditebak bahwa negara hukum Indonesia hendak dipaksa berubah arah menjadi negara kekuasaan dan ini berarti hal itu telah menjawab pertanyaan kritis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt : How democracies die? 

Menanggapi pendapat Prof Mahfudz bahwa "polisi jangan takut dituduh kriminalisasi"  perlu saya sampaikan beberapa hal berikut ini. Benar adanya, kalau memang tindak kriminal  tentu tidak perlu ada kriminalisasi. Yang menjadi masalah adalah perkara yang seharusnya tidak perlu ditindak secara pidana "dipaksa" untuk ditindak secara pidana. Memang harus bijaksana menegakkan hukum di Indonesia dengan keragaman yang ada dan kata orang cara berhukum kita itu mesti dijiwai nilai Pancasila   mengingat Pancasila sebagai rechtsidee

Sudahkan nilai-nilai Pancasila itu tembus dalam cara berhukum kita bila kenyataannya pidana lebih  diutamakan dari pada restoratif-nya. Katanya kita ikuti asas hukum pidana ultitum remedim? Mana buktinya? Asal ada dugaan adanya tindak pidana seolah langsung "ngebet" memenjarakan warga negara. Itukah pancasilais sejati? Oleh karena itu tingkat hunian penjara kita---sebelum adanya kebijakan asimilasi dan integrasi di masa Pandemi corona--- sudah overbook dan overcapacity (200%), sedang Belanda sebagai negeri kiblat hukum  kita sudah sangat berbeda cara berhukumnya sehingga penjara "sepi" penghuni warga binaan. Belum lagi persoalan adanya perbedaan penanganan perkara  antara dua kubu sewaktu pemilu dengan dugaan tindak pidana yang sama. Kalau dikatakan di kubu A banyak yang ditindak, itu mana bukti-buktinya? Namun kalau dikatakan dari kubu B yang ditindak itu jelas banyak bukti-buktinya. Dalam hal ini saya juga amat merasakan adanya ketidakadilan dalam hal ini. 

Aroma ototitarianisme dalam cara berhukum kita saya kira mudah tercium. Benar memang, pemerintah sudah menggunakan "hukum" dalam bertindak, tetapi hukum itu patut diduga seolah dibuat dan diterapkan hanya untuk sekedar memback up perilakunya agar tetap dinilai "legitimate", yang oleh Brian Z Tamanaha disebut sebagai 'the thinnest rule of law' . Penggunaan UU ITE untuk menjerat aktivis demokrasi misalnya patut diduga terkesan digunakan secara serampangan seolah menggantikan UU Subversi dahulu. Apalagi ada ide untuk menindak hoax dengan godam UU Terorisme. Sungguh "nggegirisi"---sangat menakutkan---bila hal itu dilakukan. Kebebasan berpendapat tampaknya berada di titik nadir dalam kurun waktu reformasi. Intimidasi yang menimpa para mahasiswa UGM dan Narasumber Webinar yang sedianya diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 2020 tentang pemkazulan presiden serta yang penangkapan dan penahanan dialami Alimudin Baharsyah, oleh Ruslan Buton terkait dengan surat terbukanya untuk presiden agar mengundurkan diri adalah beberapa bukti belum adanya kedewasaan kita berpolitik dalam sistem demokrasi.

Dalam hal ini saya tidak membela kubu mana pun, baik yang pro pemerintah maupun yang berada dalam posisi berseberangan. Saya hanya mengungkapkan kegelisahan sebagai seseorang yang dianggap sedikit tahu tentang cara berhukum  berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Sepertinya mendesak bagi Indonesia ini untuk segera dirancang model atau cara berhukum dgn mengutamakan Restorative Justice dari pada Reteibutive Justice. Integrated Criminal Justice System mesti diimbangi dengan NJC, Neighbourhood Justice Center seperti yang diterapkan di Australia.

Maukah melakukan perbaikan cara berhukum? Maukah nafsu memukul orang lain kita ubah menjadi nafsu merangkul? Itu baru bisa dikatakan cara berhukum berbasis nilai Pancasila. Bukankah begitu wahai petinggi BPIP?

C. Sudah tepatkah pendirian kembali lembaga kenegaraan penguatan Pancasila, yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan melalui Peraturan Menristekdikti Nomor 55/2018 dibentuk pula Unit Kegiatan Mahasiswa Pembinaan Ideologi Bangsa (UKM-PIB) dan bagaimana dengan RUU HIP?

Dalam kaitan ini, saya berpendapat---seperti pula saya lontarkan di ILC tgl 5 Juni 2018----tidak setuju dengan pembentukan BPIP yang identik dengan BP7 sewaktu Orde Baru. Kalau dulu BP7 punya "andhahan" (bawahan di setiap propinsi), boleh diduga BPIP juga punya "andhahan" di setiap kampus di seluruh Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya perintah menteri agar kampus membentuk UKM Pembinaan Ideologi Bangsa. Buat apa semua itu? Kalau soal Ideologi Pancasila itu sudah final, mengapa kita terus mengusiknya? Bukankah lebih baik bicara soal implementasinya di bidang POLITIK, EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA? Dengan kata lain secara murni dan konsekuen PEMERINTAH NEGARA mesti memberikan CONTOH TELADAN tentang PENERAPAN IDEOLOGI PANCASILA.

Pembentukan BPIP tidak akan mampu memberi solusi "belum diterapkannya" Pancasila dalam ke-4 Bidang Kehidupan (BK) seperti yang telah saya ungkapkan di muka, bahkan boleh jadi lembaga ini akhirnya hanya akan menjadi lembaga "stamping and labeling" terhadap PIKIRAN, SIKAP dan TINDAKAN orang-orang yang berada dalam posisi dianggap "lawan pemerintah". Dugaan itu ada kemungkinan benar ketika Pemerintah kemudian membentuk TAHU (Tim Asistensi Hukum) yang diprakarsai oleh Menkopolhukam yang waktu itu dipegang oleh Wiranto, dan di dalamnya juga ada "wakil" dari BPIP. Realitasnya, akan teruji dengan berjalannya waktu.

Demikian pula pendirian UKM-PIB, akan "muspro" (mubadzir). Mengapa? Karena yang dibutuhkan mahasiswa itu bukan "cekokan" gagasan yang "ndakik-ndakik" utopis tetapi miskin implementasi. Terkait dengan suatu ideologi, yang dibutuhkan mahasiswa adalah penerjemahannya dalam realitas pada ke-4 Bidang Kehidupan. Saya seringkali "nangis bathin" ketika sedang mengajarkan dan mendesiminasikan nilai Pancasila kepada para mahasiswa. Mengapa? Karena kita miskin contoh teladan. Coba anda tanyakan: mana contoh politik pancasila, Demokrasi pancasila, Ekonomi pancasila, budaya pancasila, mana? Tunjukkan kepada saya! Justru yang terpampang di hadapan kita adalah: politik liberal, eononi liberal, demokrasi liberal, budaya liberal bukan?  

Secara kurikulum sebenarnya cukup bila pembinaan ideologi Pancasila itu masuk ke dalam mata kuliah pancasila dan pendidikan budi pekerti. Pancasila harus kita pahami secara intelektual keilmuan bukan secara indoktrinasi yang sudah terbukti kegagalannya ketika dilaksanakan pada era Orde Baru. Pendirian UKM-PIB pun tidak akan meleset prediksi saya yakni hanya akan berakhir menjadi unit untuk "mengawasi" pikiran, sikap dan tindakan mahasiswa yg harusnya merdeka menjadi "caged" terkungkung oleh mantra-mantra indoktrinasi. 

Mari kita buktikan bahwa ideologi Pancasila itu sudah selesai sehingga yang terpenting adalah: bukti penerapan nilai dasarnya, sebaliknya bukan menjadi racun yang merusak pikiran, sikap dan tindakan mahasiswa akibat terpenjara oleh indoktrinasi tentang ideologi bangsa yang miskin contoh peradabannya. Jika dipaksakan untuk tetap ada, UKM-PIB tidak boleh menjadi badan legitimasi kampus untuk memberangus, bahkan mempersekusi pemikiran warganya yang sebenarnya harus berkarakter radikal, Ramah Terdidik dan Berakal. Karakter inilah yang akan mampu mengantarkan kesuksesan kampus yg bertugas meruhanikan ilmu pengetahuan.

Karakter inilah yang akan membawa terwujudnya Otonomi keilmuan, Kebebasan Akademik dan Kebebasan Mimbar Akademik. Namun, ketiganya ini tidak akan dapat dilaksanakan sepenuhnya ketika suatu perguruan tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN), baik yang BLU maupun PTNBH jika penentuan rektor masih ada campur tangan rezim kekuasaan. Campur tangan hegemonik itu terletak pada hak menteri terkait (dulu Menristekdikti), sekarang menteri pendidikan dan kebudayaan atas 35 % suara dalam pemilihan Rektor. Pemenang pemilihan di tingkat universitas sekalipun tidak otomatis menjadi rektor karena harus mendapat restu dari rezim dengan 35 % suara menteri ini, bahkan pemenang terendah pun bisa menjadi rektor lantaran diguyur dengan 35 % suara menteri itu. 

Pertanyaan saya, masihkah Anda sekarang menyaksikan adanya otonomi perguruan tinggi, khususnya PTN? Lalu benarkah ada otonomi keilmuan? Adakah kebebasan akademik? Betulkan seorang profesor atau dosen senior berpengaruh memiliki kebebasan mimbar akademik? Tidak bukan? Justru yang Anda saksikan adalah tontonan ada dosen "vokal", kritis diintimidasi dan diberi sanksi dengan hukum disiplin pegawai, mahasiswa diancam dan dikenai DO dari kampusnya. Hal inilah yang kemudian secara tidak langsung memberangus, membungkam kebebasan berpendapat di negara yang konon menganut sistem demokrasi. Padahal ruhnya demokrasi itu adalah kebebasan. Jadi ketika kebebasan---tentu saja ada batas--- tidak lagi menjadi ruh demokrasi maka sebenarnya demokrasi itu telah mati atau setidaknya menuju pada lonceng kematiannya.

D. Menyoal RUU HIP: Layakkah menjadi sebuah UU?

Terkait dengan isu yang masih hangat yang berhubungan dengan Pancasila, sekarang ini sedang dibahas RUU HIP yang diklaim sebagai RUU inisiatif DPR. Atas analisis yang dilakukan teehadap RUU ini, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan, sebagai berikut:

1. Politik Hukum RUU HIP tidak selaras dengan hakikat pemahaman Pancasila yang utuh bahkan cenderung terjadi distorsi teks sekaligus konteks sehingga berpotensi menyimpang dari sendi pokok Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang akan berakibat Indonesia semakin memasuki kehidupan yang ateis dan sekular.

2. Duplikasi formulasi konten RUU HIP dengan RPJP, GBHN dan bahkan UUD NRI 1945 menyebabkan dorongan agar kita kembali kepada UUD NRI 1945 yang asli sehingga GBHN dapat dihidupkan kembali. Jika tidak, maka Indonesia akan terjerumus ke dalam pengelolaan negara secara liberal, atau sosialis dan sekular. 

3. Secara kasat mata dapat kita simak bahwa RUU HIP tidak menjadikan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang kembali ke UUD NRI 1945 dan Ketetapan MPRS No. XXV / MPRS/ 1966 tentang larangan PKI dan ideologi komunisme serta marxisme-leninisme dalam konsideran, dan Pancasila di peras jadi Trisila, selajutnya menjadi Ekasila. Hal ini dikawatirkan Pancasila sebenarnya secara hakikat tidak ada lagi dan akan berakhir pada kembalinya ideologi sosialis dan komunis. Apakah hal ini patut diduga bahwa anggota DPR akan menghidupkan kembali faham komunis di NKRI?

Berdasar analisis singkat ini dapat kita simpulkan bahwa RUU HIP tidak layak ditetapkan sebagai UU dan lebih tepat sebagai Ketetapan MPR dengan segala perbaikan atas banyak distorsi Pancasila baik secara tekstual maupun kontekstual, apalagi RUU HIP ini juga kesulitan untuk menentukan rumusan-rumusan delik berupa larangan yang diikuti dengan pemberian sanksi pidana. Jangan sampai setelah menjadi UU, HIP ini mandul karena tidak memiliki daya paksa keberlakuannya. Jadilah macan kertas saja.

Ketika diusung sebagai Rancangan Ketetapan MPR, maka diharapkan proses soundingnya lebih baik sehingga aspirasi rakyat secara optimal dapat tersalurkan. Kekuatan moral memang sangat diperlukan seperti kata para founding fathers dahulu yang menyatakan bahwa tidak mungkin UUD 1945 itu sempurna, maka yang terpenting adalah semangat para penyelenggara negara.

Apakah Anda memiliki pandangan, pendapat yang berbeda dengan saya? Silahkan berpendapat secara merdeka. Tabik!

Oleh Prof. Dr. Suteki S.H M. Hum
(Pernah mengajar MK Pancasila dan Filsafat Pancasila 24 tahun)

Posting Komentar

0 Komentar