Meneguhkan Ide Khilafah di Tengah Propaganda Islam Wasathiyah yang Membahayakan Kehidupan Umat Islam


"Paham khilafah ala HTI adalah virus yang sama berbahayanya dengan virus Corona. HTI tidak terlihat tapi berbahaya dan mematikan seperti Covid-19. Untuk itu harus kita cegah, tangkal dan basmi peredaran paham ini.” Demikian pesan aksi Sewon United#5 yang digelar sejumlah mahasiswa dan alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta di sekitaran Kampus ISI Yogyakarta, Senin (30/3/2020). Dalam aksinya, para peserta memakai kaos bertuliskan ‘Reresik Virus Covid-19 & Anasir HTI di Kampus ISI,’ sebagai bentuk perlawanan terhadap bahaya paham khilafah ala HTI dan virus Covid-19.(tribunjogja.com, 31/3/2020)

Di lain kesempatan, Deputi IV Bidang Pertahanan Negara Kemenko Polhukam Mayjen TNI Rudianto saat Diskusi Publik Virtual bertema “Menjaga Stabilitas Keamanan Nasional di Tengah Covid-19” di Jakarta, Rabu (20/5), menyampaikan bahwa dalam situasi nasional masih ada yang menyuarakan khilafah, radikal dan teror. Bahkan, mereka saat ini melakukan konsolidasi dan menyiapkan amaliyah-amaliyah di tengah pandemi. (republika.co.id, 20/5/2020)

Tuduhan khilafah sebagai virus berbahaya pun datang dari beberapa kalangan. Direktur Eksekutif Wisdom Institute Sulawesi Tengah, Lukman S. Thahir menilai Indonesia saat ini sedang berada dalam pusaran virus corona dan khilafah. Ia menilai bahwa virus khilafah perlu diwaspadai karena sama bahayanya dengan virus Corona.

Dianggap sebagai virus maka khilafah harus dicarikan vaksin untuk menghadapinya. Sejumlah kalangan menyiapkan ide Islam wasathiyah sebagai penangkalnya. Diwartakan oleh nu.or.id (18/6/2020), seorang anggota Lembaga Persahabatan Ormas lslam (LPOI) Ir. H Mohamad Faisal Nursyamsi mengatakan bahwa aksi radikalisme-terorisme (khilafah selama ini dianggap bagian radikalisme) yang membahayakan keutuhan bangsa membutuhkan vaksin penawar yang bernama pandangan Islam moderat atau Islam wasathiyah. Dimana vaksin ini berbentuk Islam yang rahmatan lili alamin yang harus ditanamkan kepada diri masyarakat khususnya umat Islam.

Diiringi semangat menyosialisasikan Islam wasathiyah untuk menghadang penyebaran khilafah, sebuah webinar digelar. Bertajuk “Mengukuhkan Islam Wasathiyah dan Pancasila di Tengah Mewabahnya Virus Khilafah Saat Pandemi Covid-19,” kajian via aplikasi Zoom ini diadakan pada Sabtu (20/6/2020) atas prakarsa founder Sangkhalifah.co. 

Mengapa khilafah dianggap sebagai virus yang sama berbahayanya dengan Covid-19? Mana yang sebenarnya berbahaya, Islam wasathiyah sebagai bentuk liberalisasi Islam atau khilafah sebagai ajaran Islam?

Islam Wasathiyah, Proyek Barat Menghadang Penegakan Khilafah Islamiyah

Tak dipungkiri, pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sekitar tiga bulan ini, menyisakan berbagai persoalan. Tak hanya masalah kesehatan, ekonomi, ketidakpuasan masyarakat atas penanganan pemerintah, juga benturan pemikiran di antara anak bangsa. Dunia maya riuh dengan berbagai gelaran virtual. Di tengah pandemi seperti saat ini, webinar dan seminar online dengan beragam tema dibuat. Di antara tema tersebut, ada yang saling berhadapan bahkan menyerang. Terjadilah perang pemikiran. Salah satunya, ide Islam wasathiyah yang diversuskan dengan khilafah. 

Pihak yang kontra khilafah mengkhawatirkan para pengusung ide khilafah “memanfaatkan” pandemi saat ini sebagai peluang menyebarkan pemikirannya. Mereka menilai pejuang khilafah sebagai tukang jualan obat dan kajian online yang digelar mereka sebut untuk menyerang pemerintah. Pun memberikan catatan hitam baik terhadap narasumber maupun pemikirannya. Stigma negatif khilafah sebagai virus berbahayapun dialamatkan. Ada virus, ada vaksinnya. Maka ide Islam wasathiyah disodorkan sebagai penawar khilafah. 

Sebenarnya tak hanya kali ini saja Islam wasathiyah dihadapkan dengan khilafah. Sejak kemunculannya, ide ini memang disiapkan untuk menghadang laju penyebaran khilafah. Islam wasathiyah merupakan varian dari gagasan Islam moderat. Dengan pendekatan istilah Bahasa Arab dan menjadikan ayat “ummatan wasathon” sebagai landasan, diharapkan ide ini lebih mudah diterima umat Islam. Padahal secara hakikat, ide ini tak ada bedanya dengan Islam moderat, istilah yang lebih awal muncul.

Dalam Bahasa Arab modern, padanan untuk kata moderat atau moderasi adalah wasat atau wasatiyya. Istilah “mutawassit” kadang-kadang juga dipakai. Islam moderat dalam Bahasa Arab modern disebut sebagai al Islam al wasat. Moderasi Islam diungkapkan dengan frasa wasatiyyat al Islam. Dalam penggunaan umum saat ini, istilah Islam moderat diperlawankan dengan istilah Islam radikal. Islam moderat dalam pengertian yang lazim kita kenal sekarang adalah corak pemahaman Islam yang menolak cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh kalangan lain yang menganut model Islam radikal. 

Pada faktanya, tidak sedikit kaum muslim yang beranggapan jika ide ini sejalan dengan Islam. Mereka berpandangan bahwa pemahaman dan praktik Islam yang terlalu ketat bertentangan dengan Islam. Meski mereka juga tidak menghendaki kebebasan yang melampaui batas aturan Islam. Oleh karena itu, sikap jalan tengah merupakan posisi yang paling tepat. 

Mereka membangun argumentasinya berdasar logika akal bahwa benda secara empirik memiliki dua kutub yang kontradiktif dan bagian tengah merupakan titik keseimbangan, keadilan dan keamanan dari dua kutubnya. Ini merupakan posisi terbaik. Ini pula yang dimiliki Islam yang mengajarkan sikap moderat dalam segala hal, baik berupa keyakinan, syariat, ibadah, akhlak, dan sebagainya. 

Lebih dari itu. Mereka menggunakan sejumlah ayat di dalam Alquran yang dianggap menyerukan untuk mengambil jalan tengah dalam berbagai hal. Salah satunya adalah firman Allah Swt: “Demikianlah kami jadikan kalian umat yang wasath…” (QS. Al Baqoroh: 143).

Mereka beranggapan bahwa ayat ini memerintahkan umat Islam untuk menjadi umat yang moderat. Kata ‘wasath’ pada ayat tersebut diartikan di tengah-tengah. Sehingga umat Islam tidak boleh terlalu berlebih-lebihan dalam beragama seperti praktik orang-orang Yahudi. Namun sebaliknya, mereka juga tidak boleh terlalu bebas sebagaimana orang-orang Nashrani. 

Sepintas Islam wasathiyah merupakan gagasan positif dan elegan. Tetapi jika didalami, kampanye Islam wasathiyah tak lepas dari peristiwa WTC 11 September 2001 dimana umat Islam menjadi tertuduh. Selanjutnya, diciptakanlah istilah Islam radikal untuk menggiring kaum muslim agar menerima Islam moderat (wasathiyah).

Dari berbagai pernyataan politisi dan intelektual Barat terkait klasifikasi Islam menjadi Islam moderat (wasathiyah) dan Islam radikal, akan kita temukan bahwa yang mereka maksud Islam wasathiyah adalah Islam yang tidak anti Barat. Substansinya, Islam wasathiyah adalah “Islam sekuler,” yang mau menerima nilai-nilai Barat seperti demokrasi dan HAM, berkompromi dengan imperialisme Barat dan menjadi mitra Barat. 

Islam wasathiyah merupakan pemahaman yang tidak datang dari Islam dan tidak dikenal dalam Islam. Pemahaman ini berkembang pasca diruntuhkannya khilafah yang mendapat dukungan negara-negara Barat. Barat sangat berkepentingan untuk mencegah kebangkitan Islam dan menghalangi Islam kembali berjaya memimpin peradaban dunia. Demi tujuan ini, Barat (baca: AS) membuat strategi politik untuk merusak keyakinan umat Islam terhadap konsep kebangkitan ini.

Hal ini tergambar dalam tulisan Henry Kissinger (mantan Menteri Luar Negeri AS di masa Presiden Richard Nixon dan Gerald Ford) yang menyatakan bahwa ideologi Islam adalah satu-satunya musuh Barat. Kissinger mengibaratkan umat Islam sebagai “kayu bakar” (firewood) dan kelompok Islam sebagai “bunga api” (sparks). Dibaginya kelompok muslim menjadi lima kelompok yaitu:

1. Kelompok yang fokus pada aspek keimanan (akidah).

2. Kelompok fokus pada akhlak, di antaranya kalangan sufi.

3. Kelompok fokus pada aspek keilmuwan, yaitu para akademisi dan peneliti.

4. Kelompok fokus pada jihad dan perlawanan fisik, yatu mujahidin.

5. Kelompok fokus pada penerapan Islam komprehensif (Islam kaffah) dalam kehidupan.

Menurut Kissinger, kelompok pertama tidak berbahaya bagi Barat karena mereka sibuk mengkafirkan kelompok muslim lainnya, bahkan menguntungkan Barat karena mampu menghancurkan persatuan kaum muslimin. Sedangkan kelompok yang paling berbahaya bagi kaum kafir adalah kelompok kelima, karena mereka memiliki gambaran sempurna terhadap bentuk negara Islam di masa depan, yang mereka inginkan, persiapkan dan terapkan, yakni khilafah islamiyah.

Karena itulah, Henry Kissinger lantas merekomendasikan untuk mencegah “kayu bakar” dan “bunga api” saling terhubung. Untuk mencegah bersatunya kelompok yang menginginkan khilafah dengan umat, AS merancang pendekatan halus. Strategi tersebut bertujuan mempolitisasi (mencitraburukkan) Islam melalui tiga cara: 

1. Mencegah penyebaran Islam politik yang mengantar pada kebangkitan Islam. 

2. Dalam melakukan perlawanan, harus dihindari kesan bahwa AS menentang Islam. 

3. Mencegah pemikiran “Islam negara” tidak diadopsi umat dan mendorong gerakan demokratisasi di negara muslim.

Politisasi Islam akan berjalan baik jika terbentuk jaringan aktor moderasi, yakni antek-antek AS yang muslim dan penduduk asli negara tersebut. Jaringan aktivis Islam moderat beranggotakan ormas Islam, akademisi muslim, aktivis muslim, bahkan ulama yang berpikiran moderat. Ciri khas Islam moderat dibentuk oleh Barat menuruti standar pemikiran kufur. Di antara ciri utamanya adalah menerima demokrasi dan menerima sumber hukum apapun, tidak fanatik pada hukum agama (baca: syariat Islam).

Prinsip utama Islam moderat (wasathiyah) selanjutnya ialah menerima sumber-sumber hukum buatan manusia. Mereka tidak menerima kedaulatan syariat Islam. Para aktivis Islam moderat lebih percaya pada pemikiran Barat seperti sekularisme dan liberalisme. Muslim moderat juga harus menerima pluralisme, feminisme, humanis, tidak anti Yahudi, menentang khilafah, menolak jihad, netral terhadap Israel, dst. Semua itu menjelaskan bahwa ide ini membentuk pribadi muslim yang akomodatif terhadap nilai-nilai kufur. Bila muslim memiliki karakter Islam moderat (wasathiyah), tidak ada bedanya dengan kaum liberal sekular bukan?
  
Bahaya Islam Wasathiyah Sebagai Bentuk Liberalisasi Islam terhadap Kehidupan Umat Islam

Pengaruh dari penyebaran Islam wasathiyah sedikit banyak terasa di tengah umat. Hal ini karena para pengusungnya memiliki strategi yang terencana dan masif dijalankan. Strategi tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Dekonstruksi tafsir dan fiqih agama serta merekonstruksikan sesuai pemahaman moderat.

Untuk memasukkan paham moderat ke dalam Islam, mereka mendekonstruksi pemahaman yang sudah mapan melalui metode penafsiran dan istinbath hukum ala Islam moderat. Penafsiran para ulama salaf dilabeli sebagai penafsiran yang kaku, absolut, diksriminatif, dsb. Fiqih juga didefinisikan sebagai etika sosial, tidak terkait dengan hukum negara. Diopinikan sebagai aktivitas individu belaka yang tak membutuhkan penerapan hukum oleh negara. Umat digiring pada perasaan tidak butuh terhadap penerapan syariat dalam institusi negara.

2. Merekrut tokoh-tokoh agama Islam sebagai corong.

Islam wasathiyah hakikatnya adalah bagian dari perang ide. Perang ide ini difokuskan pada dukungan terhadap partner yang bertindak sebagai corong beserta program kerjanya. Kalangan potensial sebagai partner adalah: intelektual/akademisi muslim yang liberal sekular, ulama muda moderat, komunitas aktivis dan LSM, kelompok perempuan pendukung kesetaraan, penulis dan jurnalis moderat, dsb.

3. Pengopinian pemikiran Islam wasathiyah melalui media massa.

Menurut lembaga riset AS, Rand Corporation, radio dan televisi merupakan alat paling dominan yang digunakan AS dalam menyebarkan isu yang hendak digulirkan. Di Indonesia, beberapa media yang masif mengopinikan Islam wasathiyah dan mengangkat tokoh-tokohnya, misalnya Kompa, Tempo, Suara Pembaruan, dst.

4. Memasukkan pemahaman Islam wasathiyah dalam kurikulum pendidikan.

Lembaga pendidikan dianggap sebagai kunci pengembangan moderatisme, yaitu melalui pesantren dan madrasah yang banyak tersebar di Indonesia.  Berbagai universitas Islam maupun yang berada di bawah naungan ormas tertentu dibidik untuk mengembangkan gagasan paham moderatisme, pluralisme dan demokrasi.

5. Menggunakan penguasa sebagai alat.

Penguasa memiliki posisi strategis dalam pengopinian Islam wasathiyah. Dukungan penguasa memudahkan ide ini diadopsi dalam berbagai bidang. Karena penguasa memiliki kekuatan untuk membuat aturan, mengangkat pejabat se-ide dan berpotensi mempengaruhi massa. Pemerintah Indonesia telah memfasilitasi Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Islam wasathiyah yang berlangsung di Bogor, 1-3 Mei 2018. Pertemuan ini menghasilkan Bogor Message yang tak hanya menawarkan Islam moderat sebagai solusi atas persoalan dunia, namun juga menjadi pengingat umat Islam agar tak melenceng dari Islam moderat.

6. Memunculkan berbagai varian sejenis dengan Islam wasathiyah seperti Islam Nusantara.

Salah satu rekomendasi Rand Corporation untuk memasarkan Islam moderat adalah mengentalkan kesadaran budaya dan sejarah mereka yang non Islam dan pra Isam ketimbang Islam sendiri. Perpaduan antara Islam dengan budaya lokal Indonesia dan nilai-nilai kearifan lokal, saat ini dimunculkan dengan nama Islam Nusantara. Padahal Islam Nusantara justru memutilasi Islam karena hendak dijauhkan dari segala yang dianggap berbau Arab. Misalnya jilbab yang dianggap sebagai budaya Arab sehingga tidak wajib dikenakan.

7. Memanfaatkan pusat penelitian dan studi tentang Islam sebagai sumber informasi utama bagi para pengambil keputusan dan kebijakan.

Pusat-pusat kajian Islam juga tak lepas dari upaya ini. Hasil penelitian dan monitoring di tengah kaum muslim diambil sebagai bahan baku “dapur strategi” dalam rangka mengubah output untuk tujuan peringatan dini tentang Islam, kelompok Islam dan kebangkitan Islam. Juga untuk membangun strategi dan kebijakan praktis menghadapi perkembangan yang terjadi dalam gerakan Islam di tingkat negara dan masyarakat.

8. Promosi kesetaraan gender.

Isu hak-hak perempuan adalah sebuah medan pertarungan utama dalam perang ide di dunia Islam. Promosi kesetaraan gender adalah komponen kritis dari beberapa proyek untuk memberdayakan muslim moderat. Promosi ini berjalan seiring dengan propaganda Islam wasathiyah, sama-sama membongkar ajaran Islam dan mereinterpretasikannya sesuai sudut pandang liberal.

Inilah beberapa strategi dalam memasarkan paham Islam washatiyah. Umat Islam seharusnya menyadari upaya propaganda ini agar tak terkecoh menerima bahkan ikut memperjuangkannya. Terlebih, ide ini memiliki bahaya besar bagi kelangsungan hidup umat Islam. Bahaya tersebut adalah: 

1. Mengebiri Islam.

Jalan tengah seperti dicirikan di atas nampak jelas merupakan gagasan yang mengabaikan sebagian dari ajaran Islam yang bersifat qath’iy, baik dari sisi redaksi (dalalah) maupun sumbernya (tsubut), seperti superioritas Islam atas agama dan ideologi lain (QS. Ali Imron: 85), kewajiban berhukum dengan hukum syara’ (QS. Al Maidah: 48), dst. Namun demikian, meski Islam adalah agama yang unggul atas agama lain namun bukan berarti mereka yang beragama non Islam dipaksa untuk memeluk agama Islam. Pemikiran Islam wasathiyah yang mengambil sebagian ajaran Islam dan menolak sebagiannya, dapat mengantarkan umat kepada kekafiran yang sebenarnya.

2. Menimbulkan keraguan umat terhadap Islam.

Pengusung Islam wasathiyah menyuarakan untuk meninjau ulang hukum-hukum qath’iy, baik yang terdapat di dalam Alquran maupun Alhadits. Yaitu didekonstruksi dan disesuaikan lagi dengan pemikiran moderat yang standarnya bukan dari Islam. Hal ini menjadikan umat ragu akan ajaran agamanya sendiri. Apalagi yang mendakwahkan adalah orang yang dipandang tokoh dan panutan. Akibatnya, umat menjauh dari Islam dan memusuhi ulama serta pendakwah yang hanif.

3. Menyusupkan paham pluralisme yang memandang semua agama benar.

Melalui konsep ini pula, kemudian disebarkan paham pluralisme agama yang menyatakan semua agama itu adalah sama dan benar. Konsekuensinya, orang yang keluar dari Islam tidak dianggap tercela, pernikahan antaragama tak bisa disalahkan.

4. Memecah-belah Islam dan umat.

Islam dan umat Islam dikotak-kotakkan dan dipertentangkan antara Islam moderat dengan Islam radikal, dst. Padahal Islam adalah satu, yaitu Islam yang diturunkan Allah Swt kepada Rasulullah Saw, kitab sucinya juga satu yakni Alquran.

5. Meminggirkan dakwah penerapan syariat Islam.

Karena mereka menolak formalisasi syariah dalam sebuah institusi negara, maka dakwah yang menyerukan penerapan syariat Islam dianggap ekstrim dan radikal. Selanjutnya, akan ditolak dan dimusuhi sehingga langkah untuk menghidupkan Islam kembali akan menjadi lebih berat. 

Demikianlah bahaya Islam wasathiyah bagi Islam dan umatnya. Islam wasathiyah bersama varian Islam moderat lainnya seperti Islam Nusantara, Islam inklusif, dll. sejatinya memiliki maksud yang sama yaitu liberalisasi Islam. Sebuah upaya untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya sendiri. 

Strategi Membendung Islam Wasathiyah dan Meyakinkan umat Islam Bahwa Khilafah Ajaran Islam

Umat Islam harus menyadari kelemahan argumentasi para pengusung Islam wasathiyah. Menganalogikan gagasan Islam wasathiyah dengan benda jelas batil. Karena objek keduanya berbeda, satu benda sementara lainnya adalah pemikiran yang ukuran penilaian keduanya berbeda. Apalagi tidak semua bagian tengah suatu benda lebih baik dari ujungnya. Ujung pulpen misalnya, tentu lebih berguna dibandingkan bagian tengahnya.

Selain itu, penggunaan ayat Al Baqoroh: 143 untuk menjustifikasi Islam wasathiyah merupakan argumentasi yang dipaksakan. Karena jika kita mengaitkan makna ummatan wasathon dengan tafsir ulama terdahulu, maka akan kita dapati artinya adalah umat pilihan atau umat terbaik. 

Imam Ath Thabary misalnya mengartikan kata awsath dengan khiyar yakni yang terbaik dan pilihan. Sehingga kata wasath pada ayat tersebut bermakna khiyar. Status sebagai umat terbaik ini tak bisa dilepaskan dengan risalah Islam yang diberikan kepada mereka. Sayyid Quthb memaknai ummatan wasathan sebagai umat yang adil dan pilihan, serta menjadi saksi atas manusia seluruhnya, maka umat Islam menjadi penegak keadilan di tengah manusia. 

Begitu masifnya mereka menjalankan agenda penyebaran Islam wasathiyah seharusnya tak membuat umat Islam berdiam diri. Berikut strategi dalam membendung penyebaran Islam wasathiyah sekaligus meyakinkan umat bahwa khilafah bukan virus berbahaya: 

1. Terus melakukan pembinaan umat berdasarkan akidah murni dan lurus. 

Akidah kuat akan membentengi umat Islam dari pemahaman sesat seperti pluralisme dan sejenisnya. Serta tak mudah goyah keyakinannya terhadap kebenaran syariat Allah Swt.

2. Meningkatkan tsaqofah Islam baik bagi pengemban dakwah maupun umat Islam secara umum.

Penguasaan terhadap tsaqofah Islam seperti Bahasa Arab, Ulumul Quran, Hadits, Ushul Fiqih, dll. akan menghindarkan umat dari pemahaman yang keliru, khususnya yang mengatasnamakan dalil syariat.  

3. Menggencarkan dakwah berbasis shiro’ul fikri (pergulatan pemikiran). 

Dengan cara menjelaskan kebathilan ide Islam wasathiyah dan menggambarkan pemahaman yang benar berdasarkan Alquran dan Assunnah. Diharapkan umat mampu memahami dan tidak terjebak pada pusaran ide bathil ini. Tak lupa menunjukkan keburukan penerapan ideologi sekularisme saat ini sebagai biang kerok dari problematika yang menimpa umat.

4. Penyampaian dakwah disertai upaya kasyful khuththath (menyingkap makar di balik sesuatu).

Umat Islam juga harus mengetahui bahwa di balik masifnya penyebaran Islam wasathiyah, terdapat makar jahat yang dilakukan oleh negara-negara Barat dengan perpanjangan tangan beberapa kalangan dari umat Islam sendiri. Sehingga umat Islam tidak terlibat dalam upaya pecah-belah diri mereka sendiri. 

5. Menumbuhkan kesadaran akan musuh bersama (common enemy). 

Kesalahan menetapkan musuh akan menyebabkan kesalahan dalam bersikap terhadap musuh. Perlu penegasan bahwa musuh utama umat Islam adalah ideologi lawan yaitu kapitalisme sekuler berikut ide turunannya maupun sosialisme komunis. 

6. Mengoptimalkan penggunaan seluruh media milik umat Islam untuk membendung opini Islam wasathiyah.

Individu maupun komunitas muslim sebagai pemilik maupun pengelola media (media massa, media sosial) hendaknya bervisi dakwah dan menjadikan medianya sebagai sarana membendung semua pemikiran bathil dan menyampaikan kebenaran termasuk eksistensi khilafah sebagai ajaran Islam. Apalagi di masa pandemi saat ini, berdakwah lewat media menjadi “keharusan.”

7. Melakukan sinergi dengan berbagai komponen umat Islam.

Bekerja sama dengan komponen umat yang terdiri dari para tokoh Islam, aktivis gerakan Islam, ulama, ustaz, penggerak majelis taklim, dll. menolak ide Islam wasathiyah berikut ide bathil lainnya. Mendorong mereka untuk menyampaikan juga pada jejaring, massa atau pengikutnya. 

8. Mendirikan pusat-pusat kajian keislaman yang memperkuat dakwah Islam kaffah.

Hasil studi dan penelitiannya dipergunakan oleh kelompok Islam untuk memetakan dan merumuskan strategi terkini dalam memajukan umat dan menyelesaikan berbagai problem yang menghadang di depan jalan kebangkitan.

9. Menggencarkan dakwah dengan menyeru umat Islam kembali pada penerapan hukum Allah Swt dalam naungan khilafah Islamiyah.

Selain memahamkan urgensinya, juga disertai penjelasan tentang metode penegakannya. Dengan keberadaan institusi khilafah, sekaligus akan menghilangkan eksistensi berbagai ide/pemikiran rusak dan sesat. 

Demikian strategi yang bisa dilakukan dalam rangka membendung penyebaran ide Islam wasathiyah berikut memperkuat pemahaman umat akan khilafah sebagai ajaran Islam. Strategi dijalankan dengan konsepsi dan arah perubahan yang jelas, terarah dan terukur. Dimana perubahan yang dituju mesti jelas dan mengarah pada upaya melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan syariah Islam melalui penegakan institusi khilafah islamiyah. Hanya dengan perubahan yang demikian, kejayaan dan kebangkitan Islam akan kembali tegak. Pun akan hadir lagi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. []

Oleh: Puspita Satyawati, S. Sos. 
Analis Politik Media
Dosol UNIOL 4.0 Diponorogo


Posting Komentar

0 Komentar