Kriminalisasi "Khilafahisme" dan "Radikalisme": Visi RUU HIP untuk Memerangi Ajaran Islam dan Kebebasan Berpendapat?


Terhenyak kaget ketika saya disodori artikel dari sebuah media online yang mewartakan bahwa PDIP hendak mengusulkan delik baru yang menyasar umat Islam yakni tentang sistem kekhalifahan dan orang kritis yang dianggap terpapar radikalisme. 

HAM kita bisa ambyar, sungguh bisa ambyar! Mengapa? Karena jika kedua hal itu hendak dikriminalisasikan maka Pasal 29 ayat 2 (terkait dengan kebebasan beragama dan menjalankan keyakinan agama) dan Pasal 28 UUD NRI 1945 (terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat) akan dideligitimasi oleh RUU HIP ini. Mengingat dalam praktik penegakan hukum seringkali keduanya dimaknai berbeda dan cenderung bias serta represif.

RUU HIP telah memicu aksi penolakan yang meluas di seluruh penjuru tanah air Indonesia. Sekjen PDIP Hasto Kristanto mengemukakan bahwa atas dasar hal tersebut, maka terkait dinamika, pro-kontra yang terjadi dengan pembahasan RUU HIP, sikap PDIP adalah mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat.

"Dengan demikian terhadap materi muatan yang terdapat di dalam Pasal 7 RUU HIP terkait ciri pokok sebagai Trisila yang kristalisasinya dalam Ekasila, PDIP setuju untuk dihapus," ucap Hasto (Jurnas.com: Jakarta, 14 Juni 2020).

Hasto selanjutnya menegaskan bahwa perlu  halnya penambahan ketentuan menimbang guna menegaskan larangan terjadap ideologi yang bertentangan dengan seperti marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme, serta bentuk khilafahisme, juga setuju untuk ditambahkan. 

Pertanyaan saya adalah tuntutan rakyat adalah pelarangan ideologi komunisme, mengapa melebar kepada larangan "khilafahisme" dan "radikalisme" yang seringki dua nomenklatur ini menyasar umat Islam? Kita ketahui bersama bahwa khilafah atau sistem kekhalifahan itu adalah ajaran Islam. Lalu, pantaskah ajaran Islam itu dikriminalisasikan? 

Demikian pula radikalisme yang hingga sekarang masih lebih bersifat nomenklatur politik dibandingkan dengan nomenklatur hukum. Ia hanya akan menjadi alat gebuk terhadap warga negara yang kritis dan berseberangan dengan rezim. 

RUU HIP berpotensi menjadi perangkat membangkitkan kembali UU Subversi melengkapi UU Ormas 2017 dan UU ITE 2018. Paket komplit dari sebuah rezim yang beraroma otoritarianisme di tengah sistem demokrasi yang dibangun bersama. Mari kita mencoba mencabar upaya kriminalisasi ajaran islam dan kebebasan berpendapat yang dianggap radikal tersebut.


A. Pantaskah Ajaran Islam tentang Khilafah dikriminalisasikan?

Endingnya ternyata sudah bisa ditebak, persoalan Khilafah. Jika khilafah dijadikan sasaran tembak RUU HIP maka makin jelas bahwa visi RUU HIP terkesan dan patut diyakini hendak mengkriminalkan ajaran Islam tentang kekhalifahan yang memang ada termaktub di dalam kitab-kitab madzab dan fikih Islam.

Jika demikian, umat Islam sedunia, khususnya umat Islam di Indonesia lebih khusus lagi MUI harus bermusyawarat untuk menetapkan bahwa khilafah itu bukan ajaran Islam dan haram untuk diajarkan atau didakwahkan. 

Saya hanya pegang prinsip bahwa khilafah itu ajaran Islam sehingga mendakwahkannya bukanlah perbuatan melawan hukum. Itu prinsip saya. Nah, ketika dakwah itu mencapai pada tingkat kesadaran umat atau rakyat kemudian mereka secara suka rela ingin mengganti sistem pemerintahan tertentu saya kira itu sebagai buah dari usaha membangun kesadaran. 

Tidak ada yang memaksakan mesti menerima sistem khilafah. Tidak ada. Orang, siapa pun boleh menolaknya. Tugas saya sebagai muslim hanya menyampaikan bahwa "Khilafah itu bagian dari ajaran Islam". Persoalan sistem itu dianggap tidak atau belum sesuai dengan "kemauan" suatu bangsa oleh sebagian orang, itu persoalan lain. Yang penting tidak ada pemaksaan kehendak, penggunaan kekerasan serta tindakan ekstrim, maka tidak perlu ada pelarangan, persekusi dalam pengkajiannya.

Apakah Anda masih meragukan bahwa Khilafah itu ajaran Islam yang merupakan bagian dari Hukum Syariah Islam? 

Bila masih ragu bahkan menentangnya, sangat mungkin itu terjadi karena kita belum memahaminya lantaran tidak punya ilmunya. Mungkin kita akan debatable terkait masalah ini, mengingat situasi politik kita sekarang yang sangat absurd dan begitu banyak distrosi penalaran sebagai insan berpikir. 

Bagi saya, sebagai sebuah ilmu pemerintahan, khilafah itu bukan sesuatu yang menjijikkan, atau berbahaya bagi eksistensi suatu rezim manapun selama kita tidak menggunakan cara kekerasan dan pemaksaan apalagi penggunaan perilaku ekstrim untuk memberlakukan suatu sistem pemerintahan tertentu tersebut. 

Dibutuhkan kedewasaan berpikir untuk memahami semua sistem apa pun di dunia ini sehingga kita tidak antipati bahkan prejudice terhadapnya sementara pengetahuan kita terhadapnya sangat minim dan terbatas. 

Mari kita tingkatkan literasi kita sehingga tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan suka melempar tanggung jawabnya. Kita buktikan bahwa Islam itu rahmatan lil 'alamiin, rahmat bagi seluruh alam. 

Saya ingin sedikit mengungkap masa lalu saya terkait dengan diskursus sistem kekhalifahan. Ada sebuah forum diskusi publik di Magister Ilmu Hukum Undip tentang khilafah pada tanggal 17 Desember 2017, saya menghadirkan dua narasumber baik yang pro khilafah (Sdr. Choirul Anam) maupun yang kontra khilafah (Sdr Andika). 

Yang menarik adalah, yang kontra menyatakan tidak ada dalil yang jelas tentang khilafah di Al Quran, jadi tidak ada bisa dikatakan khilafah sebagai bagian dari syariah Islam yang harus ditegakkan.

Sementara itu yang pro menyatakan bahwa untuk menjadi syariah Islam yang wajib ditegakkan sesuatu itu tidak harus ditulis secara letterlijk di dalam Al Quran, melainkan bisa melalui ijtihad alim ulama yang diakui kemampuan dan kesholihannya.

Seseorang yang paham Islam tidak akan selalu meragukan dan menanyakan dalil dan dalih untuk patuh pada hukum syariah karena ia telah mengerti ilmunya bagaimana memahami dan menjalankan hukum syariah. 

Hukum syariah adalah hukum Alloh yg dipahami oleh manusia bersumber pada Al Quran dan Hadist dgn ijtihad yang benar. Ijtihad bukan sekedar pendapat tapi adalah Hukum Syariah. Perbedaan akan sangat mungkin, namun bagi orang yg berilmu tidak akan mendatangkan perpecahan dan kebencian. Untuk perkara yang qath'i tidak boleh ada perbedaan.

Qath’i adalah ketetapan hukum yang sudah pasti yang langsung ditetapkan Allah maupun oleh Nabi Saw. Seperti wajibnya shalat 5 waktu, shalat dhuhur itu wajib 4 rakaat, mambaca Fatihah itu wajib dalam setiap rakaat shalat, puasa ramadhan itu wajib, puasa Senin Kamis itu sunnah, zakat itu wajib bagi yang mampu, naik haji itu wajib bagi yang sudah mampu dll. 

Hukum Qath'i seperti tidak boleh diperselisihkan lagi dan haram hukumnya memperselisihkannya. Dan dalam aplikasinyanya pun tidak ada yang berbeda pendapat baik dari kalangan sahabat hingga generasi berikutnya.

Perkara Zhanni, yaitu dalil-dalil yang belum pasti penunjukannya terhadap satu masalah. Artinya ketika ada satu masalah yang memerlukan ketetapan hukum syariat, sedangkan dalil yang ada baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah tidak menunjukan kepastiannya, atau pun tidak ada dalil-dalil sama sekali, maka munculah perbedaan pendapat mengenai status hukum itu. 

Dan perbedaan pandangan ini sudah dimulai semenjak generasi sahabat di mana setelah wafatnya Nabi Saw dan Al-Qur’an pun sudah sempurna diturunkan. Sedangkan permasalahan terus bermunculan. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan cara Ijtihad. 

Definisi mudah ijtihad itu adalah meneliti dengan seksama semua dalil yang ada dan mengambil paradigma berfikir yang dianggap tepat oleh seorang Mujtahid (orang yang berijtihad) untuk menetapkan satu kasus hukum. Jadi, ijtihad ulama dapat dikatakan sebagai bagian dari syariah Islam. Untuk itu, jika kita berpandangan bahwa sistem kekhilafahan itu pun merupakan ijtihad ulama, maka sistem kekhilafahan ini berarti juga merupakan bagian dari syariat Islam.

Kalau sistem pemerintahan khilafah itu merupakan bagian dari syariat Islam, lalu apa istimewanya sistem pemerintahan itu? Apa tugas pemerintah negara dalam sistem kekhilafahan Islam?

Penegakan Syariat Islam dalam Negara selain akan mencegah pelanggaran, mencegah kriminalitas, juga karena penegakannya diwajibkan oleh Pencipta. Dan seperti yang dituliskan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya ‘Mafahim Islamiyah’, bahwa Islam akan mendatangkan ‘maslahah Dhoruriyaat’, kemaslahatan-kemaslahatan yang menjadi keharusan, yang diperlukan oleh kehidupan individu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. 

Jika kemaslahatan-kemaslahatan ini tidak ada, maka sistem kehidupan manusia menjadi cacat, manusia hidup anarki dan rusak, dan akan mendapatkan banyak kemalangan dan kesengsaraan di dunia serta siksa di akhirat kelak.

B. Radikalisme: Nomenklatur yang masih obscure dan lentur.

Radikalisme, hingga sekarang ini nomenklatur ini masih obscure dan lentur. Saya pernah mengatakan bahwa: “Prediksi saya, dengan pengalaman tahun 2018-2019 itu, kayaknya kok 2020 itu masih suram,”. Di bidang politik, rezim akan tetap mengangkat isu radikalisme. “Serangannya akan semakin gencar!” tegas Saya di hadapan sekitar 200 peserta yang memenuhi ruangan, Diskusi Media Umat, 2019. Isu radikalisme ini akan terus ‘digoreng’ karena ketentuan tentang radikalisme itu hingga kini belum jelas. Sehingga isu ini bisa disebut obscure (kabur) dan lentur.

Secara tegas dikatakan; “Jadi saya katakan tadi obscure dan juga lentur akhirnya nanti akan dipakai secara legal dan konstitusional untuk menggiring bahkan sampai menggebuk orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah,” tegasnya. Suteki menyebutkan ASN dan juga ‘kampus’ menjadi sasaran tembak isu radikalisme yang lebih empuk. Suteki berkata begitu, bukan hanya karena dirinya korban persekusi rezim tetapi ia juga mengutip pernyataan Peneliti Institut Studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV), Ward Berenschot.

“Dia (Berenschot, red) mempertanyakan definisi radikalisme yang digunakan oleh pemerintah (Indonesia, red) karena definisi radikalisme yang digunakan pemerintah itu identik dengan orang-orang yang berseberangan atau berbeda pendapat dengan pemerintah atau kepentingan pemerintah. Kemudian dilabeli dengan apa? Anti Pancasila,” ungkap Suteki.

Karena itu, ketika orang itu dikatakan anti Pancasila, ini sudah sulit sekali untuk berkelit. “Karena prinsipnya ‘Aku Pancasila’ jadi siapa saja yang menentang ‘Aku’, maka dia itu melawan atau anti Pancasila,”.

Ada kasus yang perlu kita cermati bersama, yakni tentang terbitnya SKB 11 terkait dengan larangan ASN untuk mengantisipasi radikalisme. Apa sebenarnya misi SKB 11 ini? Menurut kami, situasi dari SKB ini berpotensi melakukan character assasination terhadap ASN kritis. 

Labelling radikal akan terus disematkan kepada ASN kritis dan ke depan berpotensi menghancurkan bangunan hukum dan konsep Hak Asasi Manusia yang diperjuangkan dalam konstitusi dan UU yang telah ada. Upaya merepresi ASN kritis dengan cara memunculkan hantu radikalisme adalah kebijakan yang keliru karena justru akan bersifat kontra produktif dengan penanganan radikalisme ini. 

Bukankah lebih baik setiap pemimpin kementerian/lembaga pemerintahan berusaha untuk meningkatkan kualitas SDM ASN serta berusaha untuk terus memastikan kesejahteraan dan keadilan para ASN. Seluruh pemimpin negeri ini seharusnya menjadikan para ASN sebagai mitra. ASN harus terus diarahkan agar memiliki "sense of belonging" (rasa handarbeni) terhadap institusinya tanpa harus "menebar teror" dengan cara menakut-nakuti ASN dengan segudang larangan yang terkesan hendak memberangus kekritisan ASN. 

Government Autocritic itu juga penting, dan harus diingat bahwa ASN itu singkatan dari aparatur sipil negara bukan  aparatur sipil pemerintah (ASP). Negaralah yang "menggaji" ASN dengan uang rakyat dan bahkan semua Pejabat Pemerintah pun juga "digaji" oleh negara, bukan oleh Pemerintah itu sendiri. Lalu, pantaskah bila ada ASN kritis lalu dihukum, dipersekusi bahkan selalu diancam dengan pemecatan? Ini +62 ataukah Korea Utara?

C. Kriminalisasi Radikalisme, urgenkah?

Hingga saat ini belum ditemukan secara khusus delik yang mengatur tentang dilarangnya radikalisme dengan segala seluk beluknya. Bahkan, penyematan radikal dan radikalisme lebih bertendensi politik dibandingkan dengan narasi dan formulasi hukumnya, sementara negara kita adalah negara rule of law (negara hukum) sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. 

Bila memang radikalisme sebagai paham yang harus dikriminalisasikan, saran kami Negara (Pemerintah dan DPR) segera merumuskan delik radikalisme. Saya mengajukan resep yang terdiri dari 9 ramuan sebagai rambu-rambu kriminalisasi radikalisme sebagai berikut:

1. Naskah akademisnya harus komprehensif (filosofis, yuridis dan sosiologis terpenuhi). Kajian ini menjadi sangat urgen mengingat masih terdapat pro dan kontra persepsi kita tentang apa itu radikal dan radikalisme. Kajian oleh insan kampus yg netral, lembaga survey yg kredibel serta legislasi yang berintegritas diperlukan. Mereka harus benar-benar memasang telinga, mata dan hati mereka di tengah masyarakatnya.

2. Formulasi Radikalisme harus jelas dan mudah dipahami. 
Merumuskan delik radikalisme harus hati-hati dan memenuhi kaidah tata bahasa Indonesia dan bahasa hukum agar terang dan mudah untuk pahami baik oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya.

3. Unsur-unsur rumusan pasal radikalisme harus tegas dan rinci. Rumusan yang kabur akan cenderung dimanfaatkan bahkan dimanipulasi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab sebagai alat penggebuk lawan politiknya. Unsur-unsur pasal harus rigid, apakah sifat unsur-unsurnya fakultatif ataukah kumulatif.

4.Jenis paham radikalisme harus jelas disebutkan, tidak boleh wayuh arti, ambigu. Untuk menghindari penyalahgunaan pasal delik harus disebutkan isme mana yang dilarang dan alasannya apa dilarang. Yang secara tegas dilarang di Indonesia adalah: ateisme, komunisme, marxisme--leninisme. Harus dihindari penyebutan: "...dan paham lain yang bermaksud...dst..." Rumusan ini akan menimbulkan penafsiran SSK (Suka Suka Kami).

5. Harus dihindari penggunaan analogi dalam menetapkan kejahatan radikalisme. Sebagaimana prinsip yg dipegang dalam hukum pidana, maka penalaran hukum dalam rangka penemuan hukum dengan cara analogi harus dihindarkan. Berbahaya karena berpotensi penyalahgunaan wewenang bahkan mendorong perbuatan pejabat yang sewenang-wenang dan represif.

6. Sanksinya harus jelas dan tegas, sehingga aparat hukum dan masyarakat mengenali betul ancaman yang akan diberikan ketika tindak pidana ini dilakukan. Unsur penjeraan serta pembinaan terhadap pelaku dapat dilakukan seiring.

7. SOP penanganan kasus harus jelas, dan tidak perlu menetapkannya sebagai extra ordinary crime karen akan mendorong aparat penegak hukum bertindak represif dan di luar kewajaran dari KUHAP.

8. Khusus untuk dunia kampus harus ada pengecualian karena bila insan kampus tidak boleh berpikir radikal amelioratif (benar), maka ilmu pengetahuan akan mandeg dan kampus hanya menjadi tempat pelatihan kerja seperti BLK (Balai Latihan Kerja), tetapi sebagai media meruhanikan ilmu pengetahuan.

9. Sebagai negara demokrasi, perbedaan pendapat dalam ideologi tetap harus dijamin, bila tidak negara ini akan terjatuh menjadi negara diktatur otoritarian, bahkan menjadi negara komunis baru.

Melalui pernyataan Presiden yang bertekad memerangi radikalisme dapat kita tarik kesimpulan bahwa radikalisme yang jenis kelamin nomenklaturnya belum jelas ini seolah telah ditetapkan sebagai common enemy layaknya tindak pidana terorisme. 

Benarkah demikian? Saya berharap banyaknya ahli hukum di negeri ini dapat memberikan andil dalam pembentukan dan penegakan hukum yang baik dan berintegritas sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, yakni Pancasila.

Tunjukkan kepada dunia bahwa banyaknya ahli hukum itu linier dengan peningkatan kualitas penegakan hukum kita yang baik bukan sebaliknya menjadi sekolah-sekolah hukum yang gagal (Failing Law Schools: Brian Z. Tamanaha). Tunjukkan bahwa kita juga konsisten dengan kelima nilai-nilai dasar itu dan bukan hanya lamis (lips service).

Meski kami mengajukan 9 formula untuk merumuskan delik radikalisme, namun kami tetap berpendapat bahwa sebaiknya radikalisme tidak dirumuskan sebagai delik dan apalagi menjadi UU Tersendiri mengingat UU ini akan cenderung bertendensi politik dibandingkan hukumnya, apalagi potensi menyasar umat Islam itu sangat tinggi dan rentan. Bukankah radikal itu hanya cara berpikir?

Radikal itu cara berpikir

Di tengah Issue radikal yang menyeruak kembali di tengah kontroversi kembalinya WNI yang ikut ISIS, kita perlu bertanya: "Islam radikal vs Pancasila, apakah mungkin?"

Tidak ada Islam radikal, Islam itu sangat toleran. Anda bisakah membayangkan seandainya umat Islam mayoritas di Indonesia (87% dari total jumlah penduduk) tidak toleran, kami yakin kaum minoritas akan musnah dari Indonesia. Namun lihatlah, bagaimana umat Islam itu hidup rukun dan melindungi kaum beragama lain. Itu sebagai bukti bahwa umat Islam itu sangat toleran dan tidak anti kebhinekaan, apalagi kok anti Pancasila. Mengapa? Ya karena umat Islam memahami bahwa Pancasila itu juga hasil karyanya dlm menata kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Kami pun tidak marah disebut dosen radikal, karena radikal ala Suteki adalah: ramah, terdidik, dan berakal. Bukan radikal pangkal terorisme. Apa radikal itu? Radikal itu sebenarnya bicara tentang cara berpikir. 

Penutup

Sebagai umat yang meyakini Tuhan Alloh sebagai Sang Khaliq dan menyadari diri manusi sebagai mahluk ciptaannya, tentu kita harus kembali kepada fitrah manusia yakni: (1) tunduk kepada penciptanya dengan cara mengakui keberadaannya (bertauhid); (2) mewujudkan ketundukan kepada sang Khaliq dengan cara menyembahnya (beribadah); dan yang ke (3) menjalankan hukum-hukum Alloh di muka bumi (bersyariat). 

Di samping itu manusia dilengkapi dengan kefitrahan yang lain yaitu: akal sehat. Maka, dengan kedua fitrah itu kita bersama dapat bertanya kepada diri kita: layakkah kita mengkriminalkan ajaran Islam yang nota bene datang dari petunjuk Alloh dan rasul-Nya serta kebebasan perpendapat yang mendasar dan hal itu merupakan HAM yang dijamin oleh Konstitusi UUD NRI 1945? Saya menyadari betul bahwa tidak ada kebebasan tanpa batas, tetapi ketika kebebasan itu terus ditakuti dan diintimidasi, masih adakah kebebasan itu?.[]


Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar