Gelar Pilkada saat Wabah, Indonesia Siap Bertaruh Nyawa?


Keputusan pemerintah bulat bahwa Pilkada serentak akan tetap berlangsung ditengah bencana wabah. Pesta demokrasi ini siap digelar akhir tahun pada tanggal 9 Desember 2020. KPU RI telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 20 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan Tahun 2020 dalam Kondisi Bencana Nonalam Covid-19. (CNN Indonesia 20/6/2020)

Isi surat edaran adalah tentang arahan dan intruksi kepada semua pihak yang akan terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada. Seluruh pihak tersebut harus mengedepankan kesehatan dan keselematan dengan memperhatikan beberapa protokol kesehatan yang sudah ditetapkan.

Pilkada: Bukan Prioritas dan Terlalu Beresiko

Penyelenggaran Pilkada 2020 ditengah pandemi memang menuai pro kontra. Meski pemerintah mantap dengan keputusannya, namun ada beberapa kalangan yang memberikan protes kepada pemerintah atas kebijakan yang dinilai terkesan dipaksakan ini. Tentu rasa keberatan yang disampaikan sangat berasalan dan harusnya dipertimbangkan.

Misalnya saja kritik yang disampaikan oleh Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaedi, ia mengatakan tidak realistis jika pemerintah memaksakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada Desember 2020. Menurut Veri, tidak ada anggaran yang cukup memadai untuk menjamin kesehatan penyelenggara, peserta, dan pemilih di tengah pandemi Covid-19 saat ini. "Kalau terkait dengan anggaran saja tidak tersedia cukup memadai, maka menurut kami pilkada ini tidak bisa dijalankan. Tidak realistis untuk memaksakan pilkada berjalan di 9 Desember," kata Veri.(Kompas.com 29/5/2020)

Kekhawatiran juga disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas (Unand) Khairul Fahmi, beliau mengatakan bahwa sejumlah konsekuensi harus dihadapi pemerintah dan penyelenggara pemilu jika pilkada serentak digelar Desember 2020. Pertama, penyelenggara pemilu harus menyiapkan protokol kesehatan yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Lalu yang kedua, tambahan biaya pelaksanaan pilkada dirasa akan cukup berat.(Republika.Co.Id 26/5/2020)
 
Tidak ketinggalan, anggota Komnas HAM Amirudin Al Rahab mengatakan penundaan Pilkada serentak 2020 bukan lagi persoalan teknis penyelenggaraan samata tetapi menyangkut keselamatan kesehatan dan kemanusiaan. “Ini bukan program teknis lagi yang kita bicarakan tetapi kesehatan keselamatan publik, keselamatan seluruh rakyat Indonesia kedepan, “kata Amirudin dalam diskusi daring, di Jakatra.(Antara 6/4/2020)

Jika kita amati setiap protes yang disampaikan beberapa tokoh diatas adalah benar adanya. Semua beranggapan bahwa Pilkada bukan menjadi agenda yang urgen saat ini. Pemerintah memang selalu terlihat salah fokus dalam mengurusi setiap persoalan negara. Dari awal pemerintah memang tidak pernah serius dalam merespon wabah Covid19. Kita tidak akan pernah lupa lelucon dan betapa sepele  nya beberapa pejabat negara saat merespon Covid 19 pertama kali. Sehingga terasa wajar mereka seolah acuh tak acuh bahkan menunjukkan sikap miskin empati. Lihat saja, mereka sangat sibuk dan “bernafsu” mengurusi masalah pilkada sedang disaat yang sama negerinya mengerang meratapi ganasnya wabah.

Pemerintah memang mengatakan penyelenggaraan Pilkada akan dijalankan dengan memperhatikan keselamatan sesuai protokol kesehatan yang siap diberlakukan. Kebijakan ini sudah disosialisasikan melalui surat edaran resmi. Sekilas memang baik dan terlihat sangat memperhatikan nasib dan keselamatan rakyat, namun rakyat terlanjur sering dikibuli dengan janji yang selalu berujung teori tanpa aksi. Biaya Pilkada ketika tidak terjadi wabah saja sangat fantastis, konon sekarang disaat wabah sedang “menggila”. Menyediakan perlengkapan kesehatan untuk pilkada dilebih dari 200 daerah bukan perkara mudah dan pasti membutuhkan biaya yang sangat besar.

Bukankah negara selama ini selalu mengeluh mengalami defisit dan kelabakan menangani wabah. Ditengah krisis keuangan negara, harusnya negara tidak menghamburkan uang selain kepada kepetingan kesehatan. Sudah mnejadi konsumsi publik bahwa banyak Rumah sakit yang mengeluh kekurangan peralatan medis memadai dalam menangani pasien Covid 19. 

Belum lagi  nakes yang kerap kekurangan APD (Alat Pelindung Diri) saat bertugas. Padahal nakes adalah orang yang berjibaku dan berjuang dalam menaklukkan virus yang bersarang ditubuh para pasien. Kenapa tidak menggunakan dana Pilkada itu untuk optimalisasi penanganan kesehatan saja. Ah, tampaknya pemerintah sudah bodo amat dengan kritikan rakyatnya. 

Sampai sekarang tidak ada standar yang jelas daerah mana di Indonesia yang terkategori zona hijau, kuning, dan merah. Kita juga tidak tahu pasti jumlah kasus keseluruhan. Sebab data yang selalu di update oleh ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19cadalah yang terdata dan terkonfirmasi saja. Itu artinya ada kasus yang tidak terdeteksi dengan berbagai macam alasan, diantaranya ada orang yang positif tanpa gejala dan bebas berkeliaran, ada juga yang takut berobat (sudah merasakan gejala) hanya gara-gara khawatir terdeteksi positif. Sebab selama ini ada stigma negatif yang selalu ditunjukkan masyarakat terhadap pasien Covid19.

Kondisi ini menggambarkan bahwa belum ada jaminan setiap daerah itu bebas Covid19. Maka sangat riskan dan terlalu ceroboh megadakan pilkada dalam keadaan tidak jelas seperti ini. Jika tetap ngotot,maka kita sedang menyatakan siap bertarung nyawa. Sebab pilkada akan memicu orang-orang berkerumun dan bisa saja kontak fisik tak terelakkan. Belum lagi kalau kita membahas detail perkembangan virus dari hari kehari. 

Kurva Corona belum melandai dan belum mencapai titik pucaknya. Tidakkah kita belajar dari beberapa negara yang membuka kembali kegiatan sosial yang memicu kerumunan namun menambah lonjakan kasus padahal kurva sudah melandai. Ini terjadi di Korea Selatan yang pada hari pertama membuka sekolah. Pemerintah tampak tidak mau ambil pusing dengan keputusan beresiko ini. 

Pilkada: Eksistensi Demokrasi yang Sebenarnya Ilusi

Wabah tak menjadi halangan berarti bagi pemerintah untuk terus mempersiapkan berlangsungnya Pilkada serentak tahun 2020. Pilkada merupakan agenda lima tahunan pemerintah yang rutin diselenggarakan. Dalam kondisi wabah seperti sekarang mengharuskan ada hal-hal yang perlu dipersiapkan guna memastikan semua yang terlibat tidak terpapar virus.  Penyelenggara, peserta dan pemilih, diwajibkan mengutamakan prinsip kesehatan dan keselamatan. Para petugas itu wajib memakai APD yang lebih lengkap, seperti sarung tangan sekali pakai, masker, dan pelindung wajah (face shield) saat melaksanakan tahap verifikasi faktual dukungan calon kepala daerah perseorangan, pencocokan dan penelitian (coklit), serta pemungutan dan penghitungan suara.

Seperti kita ketahui bersama bahwa tahapan pilkada itu sangatlah panjang dan cukup kompleks. Tahapan-tahapan ini pasti melibatkan orang banyak apalagi saat jadwal kampanye nanti. Kampanye tentu menjadi rentetan agenda pra pilkada yang tidak mungkin ditinggalkan. Karena aktivitas kampanye adalah ruang bebas dan terbuka para calon kepala daerah untuk “menjual diri” yang nantinya dibeli rakyat dengan suara pada saat memilih. Biasanya visi misi dan janji manis siap diumbar untuk menarik perhatian rakyat. Ditahapan ini juga sangat rentan terjadinya praktik money politik. Dimana suara rakyat dijatah dengan uang rupiah. Inilah salah satu yang menyebabkan ongkos pilkada demokrasi itu sangatlah mahal.

Calon kepala daerah dipilih dengan harapan akan menjadi representatif suara rakyat. Dengan kekuasaan yang dipunya, mereka yang menjabat diharapkan bisa menyampaikan segala keinginan dan kebutuhan rakyat. Namun selama ini, faktanya selalu jauh panggang dari api. Biasanya pasca pilkada rakyat hanya bisa gigit jari dan takkan dihiraukan lagi oleh pemimpin yang mereka pilih. Sebab itulah realitas demokrasi yang sejatinya hanya ilusi. 

Jargon pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanya menjadi omong kosong yang takkan pernah terealisasi. Bukannya memikirkan nasib rakyat, yang terjadi malah pengkhianatan dengan mencuri uang negara dengan jalan korupsi. Sebab biaya pesta yang sudah dikeluarkan sangat banyak, dan mereka dipastikan tidak mau rugi begitu saja. Kejadian seperti ini akan menjadi kisah dan potret yang berulang setiap kali pilkada dilakukan.

Pandangan Islam tentang Pilkada (ditengah wabah)

Kita sepakat bahwa pemerintah masih harus berbenah dalam menangani wabah. Penetapan setiap zona aman dan tidak aman (hijau-merah) harus segera dilakukan dengan standar yang benar. Islam sudah memberikan contoh penanganan wabah dengan  jelas.Tidak boleh ada aktivitas keluar masuk untuk zona merah. Kemudian harus jelas pemisahan orang yang terpapar virus dengan yang tidak. Dengan begini rakyat tidak dihantui rasa was-was dan aktivitas didaerah zona hijau bisa berjalan normal.

Adapun pilkada tidak ada dalam islam, apalagi diselenggarakan saat wabah yang terkesan menyepelekan nyawa manusia. Kepemimpinan didalam Islam itu cuma satu dan terpusat, kepala negaranya disebut Khalifah dalam sistem Khilafah. Adapun keberadaan kepala daerah yaitu Wali dipilih langsung oleh Khalifah. Wali bertugas membantu menjalankan tugas Khalifah di level daerah yang dikontrol langsung oleh Khalifah. Wali harus melayani rakyat dengan baik sesuai dengan aturan yang ditetapkan salam Islam. Jika ada pengaduan atas ketidaknyamanan pelayanan Wali kepada rakyat, maka Khalifah berhak untuk mencabut jabatan alias dipecat.

Begitulah sistem islam yang sangat luar biasa. Tidak akan ada pilkada yang menghabiskan uang triliunan. Kemudian pemilihan kepala daerah dalam sistem islam juga cepat tanpa bertele-tele dengan tahapan yang menghabiskan waktu dan menguras energi. Islam juga tidak membenarkan ada pilkada ditengah wabah, sebab  beresiko terhadap keselamatan nyawa manusia. Dalam islam nyawa itu sangat mahal harganya sehingga harus dijaga dan dipelihara dengan baik. 

Betapa rindu dengan sistem kepemimpinan yang agung dan sempurna sebab bersumber dari yang Maha sempurn juga. Wallohu’alam.[]

Oleh Elsa Novia Wita Siregar

Posting Komentar

4 Komentar

  1. Memang demokrasi tidak memanusiakan manusia. sekarang kian terbukti bahwa Sistem ini melahirkan orang-orang yg hanya menginginkan manfaat dan kekuasaan tanpa menghiraukan keselamatan dan nyawa manusia

    BalasHapus
  2. Manusia-manusia yg tdk manusiawi.. krn sistem yg rusak dan merusak

    BalasHapus
  3. manusia kalau tidak diatur dengan aturan Allah iya begini kah

    BalasHapus
  4. Astagfirullah...
    Sistem kapitalis hanya memikirkan kepentingan pribadi dan golongan. Benar-benar dzolim

    BalasHapus