Loe Jual Gue Borong: Kepongahan Diri ataukah Sebuah Jati Diri Manusia Pancasila?


Sepenggal bait puisi yang menggambarkan situasi gelisah, keberanian dan tekad dengan slogan "Loe Jual Gue Borong" saya temukan sebagai berikut:

"Satu orang kalian paksakan,
maka kami pastikan kami akan melakukan tindakan yang secara dampak semua akan merasakan, siapa pun dan di mana pun kalian berdiri. Kami menikmati keindahan hubungan selama ini, tapi kami juga tidak pernah takut untuk kehilangan semua ini.
Terima kasih untuk semua kepura-puraan kalian selama ini.

Maaf Kami akan Melawan
#LoeJualGueBorong (Kuzsairi Affka, Perjoeangan.com, 2018).

Sepenggal bait puisi tersebut sebenarnya mewakili kegelisahan dan kegeraman penulis atas ketimpangan sosial politik yang tengah terjadi dan ia rasakan sekaligus hendak menyadarkan siapa pun pembaca untuk berani secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk berani menghadapi apa pun ancaman dan tantangan yang digaungkan oleh lawan. Kobaran gelora dahana menyulut jiwa untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan sesuai dengan keyakinan para pihak yang berhadapan. 

Lor Jual Gue Beli: Respons Aksi Tuntutan Pembatalan RUU HIP dan Aksiden Pembakaran Bendera PDIP

Sebagaimana telah diketahui, demonstrasi menuntut RUU HIP agar ditarik dari Prolegnas telah berlangsung di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Rabu (24/6/2020) sore. 

Masa bersemangat menyampaikan orasinya dan mereka bahkan berteriak untuk meminta Jokowi turun hingga membakar bendera berlambang Palu Arit sekitar pukul 16.30 WIB, massa aksi membakar bendera tersebut. Dalam video terekam juga selain membakar bendera simbol PKI, ada peserta aksi yang membakar berdera PDIP. 

Syahdan, aksiden pembakaran bendera itu menimbulkan reaksi dari para petinggi PDIP, termasuk Thahjo Kumolo, Megawati untuk memberikan perintah harian kepada kader dalam menyikapi peristiwa tersebut antara lain perintah untuk bersiap siaga, pengibaran bendera partai di rumah pendukung dan lain-lainnya sebagai aksi protes pembakaran bendera PDIP. 

Sebagaimana tersiar di pemberitaan online, PDIP di daerah ada yang melakukan aksi protes pembakaran bendera partai dengan melakukan longmarch dan mengusung spanduk berbunyi "Elo Jual Gue Borong". Salah satu protes dilakukan oleh DPC PDI Perjuangan Jakarta Timur (Jaktim) yang menggelar aksi longmarch menuju Polres Jakarta Timur pada hari Kamis, 25 Juni 2020.

Polisi juga bereaksi yakni Polda Metrojaya memanggil Panitia Aksi yang dipimpin korlap Edy Mulyadi untuk dimintai klarifikasi atas peristiwa tersebut. Edy Mulyadi dalam keterangan kepada para wartawan melalui video pribadinya menyatakan bahwa Panitia Aksi tidak memiliki agenda untuk membakar bendera apa pun termasuk bendera partai PDIP.

Peristiwanya spontan dan Korlap juga tidak ingin ada pembakaran bendera partai. Edy Mulyadi menyatakan bahwa persolan pokok Aksi menuntut agar RUU HIP jangan dibahas bahkan harus dihentikan tanpa reserve. 

Di pihak lain tersiar kabar bahwa Sekjen PDIP Hasto Kristianto menyatakan hendak menempuh jalur hukum untuk menuntut pengusutan tuntas atas aksi pembakaran bendera PDIP karena dinilai sudah sangat menghina partai PDIP. Menanggapi hal tersebut, Edy Mulyadi berseru bahwa pihaknya siap melayani proses hukum yang ditempuh oleh PDIP bahkan mengatakan bersyukur bila PDIP menempuh jalur hukum karena ia menengarai bahwa pelaku pembakar bendera PDIP adalah diduga penyusup dari pihak lainnya lagi. 

Di samping itu Edy Mulyadi juga mengatakan bahwa ketika PDIP menuntut penyelesaian aksi pembakaran bendera partai, maka pihaknya juga akan melaporkan soal dugaan makar ideologi yang diduga telah dilakukan oleh beberapa pihak pengusung RUU HIP termasuk unsur dari Fraksi PDIP. Edy juga mengatakan slogan: "Elo Jual Gue Borong". Klop sudah! Kedua belah pihak saling meneriakkan slogan "Elo Jual Gue Borong". 

Sikap saling berhadapan dengan teriakan "Elo Jual Gue Borong" jangan dianggap sepele. Sebenarnya slogan itu slogan yang prinsipnya para pihak telah berusaha menabuh genderang perang. Tinggal satu langkah untuk perang terbuka, yakni adanya trigger yang menyulut daun-daun kering yang sulit diikat itu terbakar. Wuuuuukkkk..! Itukah yang kita inginkan? Tentu tidak bukan? Kedua belah pihak tidak boleh terprovokasi dengan memberikan ruang untuk saling menyerang. Kita membutuhkan solusi kenegaraan, bukan hanya sebatas kepartaian atau keormasan. 

Restorative Justice: Mencari Solusi Untuk Mendinginkan Atmosfer Politik

Solusi hukum dan politik urgen untuk ditawarakan dalam menyelesaikan perseteruan para pihak terkait dengan RUU HIP dan aksi pembakaran bendera RUU HIP. Jalurnya tetap jalur hukum, bukan jalur politik saja apa lagi jalur barbarian yang mengutamakan sarana power (kekuasaan) belaka. Ada dua system hukum dunia:

1. Sistem hukum civil law (continental): hukum berpusat pada UU. Hakim hanya corong UU.
2. Sistem hukum common law (anglo saxon): hakim dapat menciptakan hukum ( judge made law).

Indonesia lebih condong ke civil law tetapi juga membuka diri ke common law dengan dasar Pasal 5 ayat 1 UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: Hakim dan hakim konstitusi WAJIB menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di dalam masyarakat. 

Jadi penyelesaian perkara tidak boleh 100 % hanya didasarkan pada bunyi teks UU melainkan nilai-nilai serta kearifan lokal (local wisdom) pun dapat dijadikan basis penyelesaian suatu perkara sehingga tidak semua perkara hukum khususnya pidana berakhir di penjara. Tingkat hunian penjara dan rutan kita sudah over capacity, hampir 2 kali lipat hunian normal. Kondisi ini akan bersifat multiflier effect. Maka, cara yang ditawarkan adalah:

(1) Membuka ruang utk penyelesaian perkara pidana lewat jalur di luar criminal justice system sejak perkara diselidikI di tingkat kepolisian.
(2) Membuat lembaga tersendiri yang kalau di Australia disebut: NJC (Neighbourhood Justice Center) sebagai tempat untuk warga masyarakat menyelesaikan perkaranya di luar peradilan negara, termasuk dalam peristiwa pembakaran bendera PDIP ini. 

Kedua cara tersebut bisa diwadahi dalam konsep restorative justice system. 

Agar hasil yang dicapai dari kedua cara tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki kepastian hukum, keduanya harus terhubung dengan lembaga negara resmi yaitu pengadilan untuk menerbitkan penetapan pengadilan.

Negeri Belanda yang dikenal minus narapidana di penjaranya saya yakin bukan karena tidak ada lagi tindak pidana, melainkan cara penanganan perkara pidananya tidak lagi konvensional yg mengandalkan pada offender oriented melainkan telah bergeser ke victim oriented dengan cara mengutamakan pemulihan keadaan (restorasi) sesuai dengan kesepakatan para pihak yang didasarkan pada voluntary principle.

Secara ideologis kita punya Pancasila yang kaya akan nilai Ketuhanan, kekeluargaan, Kemanusiaan dan Musyawarah mufakat, tetapi mengapa hingga kini kita lebih gandrung dengan cara-cara liberal individualis? Haruskah setiap perkara pidana berakhir pada jeruji penjara? Berapa biaya yang harus ditanggung oleh negara untuk membiayai penjara yang sudah over capacity ini? Mau terus melakukan pemborosan keuangan yang besar itu? Tidak bukan? Maka Restorative Justice System adalah solusinya.

Akhirnya, sebagai warga bangsa yang memiliki tekad untuk melaksanakan nilai-nilai Pancasila sebaiknya kita bersikap bahwa apa yang sudah disepakati untuk tidak diutak-atik dan diperas-peras hingga menimbulkan tafsir yang jauh berbeda. Semua pihak seharusnya menyadari dan menahan diri untuk tidak punya niat dan rencana jahat untuk mengubah Pancasila menjadi Trisila atau pun Ekasila atau dengan ideologi kapitalisme dan komunisme. 

Para pihak perlu bertemu mendinginkan suasana politik namun juga tetap harus mengingat dan mengakui kesalahannya bagi pihak yang terbukti telah melakukan kesalahan baik disengaja (dolus) maupun tidak disengaja (culpa). Jika tidak ada upaya untuk bertemu, berdialog, memikirkan kepentingan negeri maka bangsa ini akan terus berada dalam situasi konflik vertikal dan horizontal yang tidak berkesudahan.

Penutup

Kejujujuran dan kelapangan dada itu penting untuk merawat kebersamaan. Ketika masyarakat menuntut RUU HIP agar dibatalkan dari Prolegnas, maka DPR dan Pemerintah harus cepat tanggap dan tetap merespons baik dengan membatalkannya. Jangan sebaliknya, para pihak inisiatornya terkesan menantang pihak penolak RUU HIP dengan memamerkan arogansi kekuasaan yang dimilikinya. Kedewasaan politik adalah kunci meredam kepongahan diri yang ditunjukkan dengan teriakan: "Elo Jual Gue Borong". 

Benar memang, "perang" bukanlah satu-satunya cara menyelesaikan masalah. Bahkan, pepatah bilang: "kalah jadi abu menang jadi arang". Namun, jika "perang" hanyalah jalan terakhir untuk mempertahankan kemuliaan hidup dan peradaban, maka menjadi "mujahid" adalah jawaban tegas seorang ksatria sejati dalam melawan penindasan dan keangkaramurkaan yang digaungkan oleh siapa pun. Kita "perang" melawan penindasan, kesewenang-wenangan, kapitalisme dan komunisme yang mendompleng oligarki demokrasi liberal nan sekularistik. Live oppressed Or Rise Up Against! []

Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Hukum, Filsafat Pancasila, dan Masyarakat


Posting Komentar

0 Komentar