Di Balik Pemahaman Fiqih yang Keliru


Sebagaimana dilansir melalui halaman cnnindonesia Imam Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengusulkan pemerintah untuk mengkaji ulang pelajaran fikih di pondok pesantren jika hendak menangkal paham radikalisme. Bahkan pelajaran fikih yang ada saat ini merupakan produk era dari hasil Perang Salib. (cnnindonesia.com 10/6/2020)

Dikatakan pula fikih hasil dari era Perang Salib mengusung tiga konsep negara, yaitu darul Islam, darul Harb (negara musuh), dan darul sulh (negara yang tidak menganut Islam, tetapi bersahabat). Dan konsep ini dianggap sudah tidak relevan lagi untuk saat ini. Sebab saat ini sudah tidak ada lagi negara di dunia yang mencerminkan ciri-ciri dari konsep fikih itu. Bahkan tuduhan terjadi dengan menyatakan saat ini negara-negara islam babak belur (berperang) dimana-mana, misalnya Afganistan tiada hari tanpa peperangan termasuk Suriah, Irak dan Libya.

Pernyataan ini merupakan pernyatan yang menjadi kontroversial. Setelah sebelumnya Kemenag juga melakukan perombakan pada materi ujian di Madrasah yang berkaitan dengan konten Khilafah dan Jihad. Bahkan dianggap konten khilafah dan jihad akan dipindahkan ke dalam pelajaran sejarah. 

Menurut Syamsudin Ramadhan (2010), ada tiga alasan mengapa bisa terjadinya pemahaman keliru tentang fikih dan syariat Islam.

Pertama, Fikih dianggap sebagai hukum syariat yang bisa berubah-ubah sesuai dengan kondisi, waktu, dan tempat. Di antaranya ada perubahan pendapat dan argumentasi yang dijadikan dalih untuk mendukung anggapan ini. Misalnya perbedaan fatwa hukum yang dikeluarkan oleh para ulama dalam kasus yang sama pada tempat, kondisi, dan waktu yang berbeda. Kenyataan ini dianggap sebagai bukti bahwa fikih bisa berubah karena perubahan tempat, kondisi dan waktu.

Kedua, fikih dianggap berbeda dengan syariat. Fikih digali dari nash yang dzanni, bisa disesuaikan dengan kondisi dan fakta, sedangkan syariat digali dari dalil yang qath’i. Pemahaman fikih semacam ini menempatkan fikih pada kondisi interpretasi (on interpretation), sedangkan syariat pada kondisi nir-interpretasi. 

Ketiga, dari sisi metodologi, sebagian orang menanggap bahwa fikih sah-sah saja digali berdasarkan fakta, kondisi, dan momentum yang sedang berkembang. Dan dianggap pula fikih bersifat fleksibel dan dinamis bahkan perkara yang sudah jelas hukumnya bisa diiinterpretasi ulang berdasarkan realitas dan kenyataan.

Oleh karena itu perlu ada kembali pemahamn yang lurus dna benar terhadap fikih dan syariat. Tidak benar dikatakan fikih bersifat fleksibel sesuai dengan kondisi, tempat dan waktu, sedangkan syariat tidak. Sebab baik fikih maupun syariat sejatinya adalah hukum yang digali (di-istinbath) dari dalil-dalil syar’i untuk menghukumi sebuah fakta. Dengan kata lain, fikih dan syariat harus ditetapkan berdasarkan dalil bukan didasarkan pada kondisi, waktu dan tempat. Jadi Fikih dan syariat memiliki kesamaan pada substansi pembahasannya yakni sama-sama membahas hukum.

Sedangkan kenyataan yang ada itu hanya sebagai objek hukum untuk dihukumi bukan sebagai dalil akan kebolehan fakta tersebut. Apakah kita mau mengatakan bahwa apabila fakta berubah maka hukum juga berubah jika terjadi pada orang yang tidak melaksanakan sholat? Atau tidak melaksanakan jihad? Lantas dikatakan jihad tidak lagi cocok saat ini? 

Pemahaman yang keliru akhirnya keluarlah berbagai pernyataan yang kontroversial misalnya keharaman pemimpin wanita bisa menjadi halal dengan dalil fikih sesuai dengan konteks realitas dan kepentingan politik. Atau Khilafah dan Jihad dianggap fikih yang tidak sesuai dengan kondisi, waktu, tempat dan zaman. Anggapan semacam ini telah mereduksi fikih pada tataran yang snagat rendah, bahkan cenderung melecehkean fikih itu sendiri.

Dengan pandangan seperti ini lah yang sebenarnya melahirkan paham radikalisme. Sebab pemahaman ini telah mensejajarkan fikih dengan pendapat yang lahir dari hawa nafsu dan kepentingan duniawi termasuk kepentingan harta dan kepentingan politik. Akhirnya, fikih islam hanya digunakan untuk justifikasi fakta rusak yang bertentangan dengan syariah islam, atau justifikasi tindakan yang haram agar menjadi halal.

Dari sisi metodologis (istinbath), syariat harus digali dari al-Quran, Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Syariat tidak boleh lahir dari fakta atau bisa dipengaruhi dan disesuaikan dengan kondisi yang ada. Karena perbincangan fikih adalah hukum syariat, maka kaidah istinbath syar’iyyah juga berlaku di dalam masalah fikih. 

Tidak benar jika sebagian kaum muslim menyatakan bahwa persoalan fikih bisa diubah berdasarkan kondisi, waktu, dan tempat. Sebab, ketetapan hukum apapun harus lahir dari dalil syariat, bukan dari fakta maupun kepentingan politik sesaat. Namun dengan adanya perubahan fakta maka akan ada hukum baru lagi terhadap fakta tersebut, bukan perubahan hukum dari fakta yang berbeda. Jadi ada hukum yang berbeda dalam dua fakta yang berbeda.

Pada dasarnya, hasil ijtihad seorang mujtahid mengenai suatu masalah, yang digali melalui kaedah-kaedah istinbath yang benar dan didasarkan pada dalil-dalil syariat adalah hukum syariat. Hasil ijtihad semacam ini tidak boleh dianggap sebagai pendapat pribadi mujtahid. Akan tetapi, ia adalah hukum syariat yang digali oleh mujtahid tersebut. 

Adapun pendapat seorang mujtahid yang digali tidak melalui kaedah istinbath yang benar dan juga tidak didasarkan pada dalil-dalil syariat, maka pendapat tersebut tidak boleh dianggap sebagai hukum syariat, akan tetapi pendapat pribadi yang tidak boleh diikuti dalam konteks hukum syariat.

Atas dasar itu, hasil ijtihad Imam mujtahid digali melalui proses ijtihad yang benar adalah hukum syariat bagi kaum muslim, dan bukan sekedar pendapat pribadi. Bahkan bila ijtihad para imam mujtahid tidak ditopang oleh dalil syariat, maka tidak boleh dianggap sebagai hukum syariat. Sebab hukum syariat adalah As-Syaaari’ al-muta’alliq bi af’aal al-‘ibaad (seruan syaari’ yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan hamba). 

Sedangkan hukum syariat hanya bisa digali dari dalil-dalil syariat melalui proses ijtihad yang benar. Dan yang bisa melakukan proses ijtihad hanyalah seorang mujtahid. Semua ini menunjukkan, bahwa hasil ijtihad seorang mujtahid yang didasarkan pada kaedah ijtihad yang benar dan disangga oleh dalil syara’ adalah hukum syariat, bukan sekedar pendapat pribadi.

Sesungguhnya, di balik pendistorsian makna fikih dan syariat ada maksud-maksud politis tertentu, yakni menjadikan realitas sekularistik-kapitalistik ini sebagai sumber untuk menetapkan hukum. Padahal, hukum harus digali berdasarkan al-Quran, Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas; bukan berdasarkan fakta yang ada. Kedudukan realitas hanyalah sebagai obyek dihukumi (manath al-hukmi), bukan sebagai sumber hukum. Fakta harus tunduk dan disesuaikan dengan syariat, bukan sebaliknya.

Motif lain dari upaya pendistorsian makna fikih ini adalah untuk melanggengkan rezim sekularistik-kapitalistik yang kufur ini. Dengan mengatasnamakan fikih, mereka berusaha merusak dan menghancurkan kesucian syariat islam. Syariat islam hanya merka gunakan sebagai alat untuk menjustifikasi fakta rusak dan membenarkan apa yang mereka lakukan. Wallahu’alam.[]

Oleh Wandra Irvandi, S. Pd. M. Sc

Posting Komentar

0 Komentar