RUU Haluan Ideologi Pancasila: Men-Distorsi Teks dan Konteks Pancasila



Sejak diwacanakan adanya sebuah haluan Ideologi Pancasila, publik sudah meragukan tentang jenis kelamin haluan itu. Haluan itu benar haluan atau sekedar "halu", sebuah istilah milenial. Halu, alias halusinasi yang ditebarkan untuk bernostalgia terhadap upaya kembalinya pemaknaan lama dan usang terhadap Pancasila baik sebagai pandangan hidup, ideologi bangsa, dasar negara maupun sebagai kerangka berkehidupan mondial (dunia internasional). 

Ada 4 kedudukan pokok Pancasila itu dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila hendak didistorsi menjadi satu kedudukan pokok yakni sebagai IDEOLOGI saja. Hal ini akan berakibat fatal terhadap bahasan yang bopeng, tidak menyeluruh terhadap Pancasila bagi bidang-bidang kehidupan manusia Indonesia. Belum lagi telah dilakukannya pemerasan sila-sila Pancasila menjadi trisila dan bahkan ekasila.

Cara-cara ini sebenarnya kalau kita amati merupakan langkah mengaburkan sendi pokok Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan, secara terang-terangan dalam RUU HIP ini disebutkan bahwa sendi pokok Pancasila adalah Keadilan Sosial. Hal ini akan sangat beda sekali mengingat Indonesia ini adalah negara bangsa yang religius (national religious state) yang berarti esensi kehidupan bangsa negara ini adalag religiuositas bukan keadilan sosial yang dapat bermakna sekuler bahkan ateis. 

Oleh karena itu, sebagai dasar negara, maka sendi dasarnya juga harus Ketuhanan Yang Maha Esa bukan Keadilan Sosial. Banyak hal yang bersifat distortif bahkan cenderung merusak keluhuran Pancasila baik sebagai Pandangan Hidup, Ideologi, Dasar Negara, dan The Margin of Appreciation Kehidupan Mondial dapat kita temukan dalam RUU HIP ini. Apakah kita akan mendukung ataukan menolak RUU HIP ini ketika kita telah mengetahui potensi besar terjadinya distrorsi terhadap Pancasila dan UUD NRI 1945?

Terhadap RUU Haluan Ideologi Pancasila ini, ada beberapa kritik yang perlu disampaikan agar rakyat Indonesia memahami beberapa kontroversi yang ada sehingga mampu bersikap terhadap RUU Halu ini. Setidaknya ada 13 hal yang perlu dicermati konten RUU Halu ini.

A. Politik Hukum Yang Cacat

Hal ini dapat disimak dalam bagian konsiderans RUU HIP.

1. Bagian Konsiderans Menimbang:
Bahwa saat ini belum ada undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara;

Jika bentuknya UU memang belum ada, tetapi perlu diingat bahwa UUD NRI 1945 adalah terjemahan langsung Pancasila sebagai Dasar Negara. Jadi, cukup dengan UUD (Pembukaan, Batang Tubuh dan seharusnya Penjelasannya) menjadi pedoman bagaimana penyelenggaraan negara ini diterapkan. Selanjutnya, kita juga sudah mempunyai Tap MPR No. VI Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang mengatur pedoman bidang kehidupan berbudaya, bermasyarakat, politik pemerintahan, penegakan hukum, perekonomian dan lain-lain. Sudah komplit pengaturannya. 

Jadi, sebenarnya tinggal memerinci saja dalam peraturan-perundang-undangan terkait, tidak perlu ada RUU Haluan Ideologi tersendiri karena justru mendistorsi UUD NRI 1945 dan Tap MPR tersebut.

2. Bagian Konsiderans Mengingat :

1). Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
2). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; 
3). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi; 
4). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional; 
5). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa; 
6). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; 
7). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; 
8). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam; 

Pada bagian ini ada beberapa peraturan perundang-undangan pokok yang hrs menjadi rujukan sekaligus menjadi hirarki yang lebih tinggi dari RUU HIP ini yaitu:

1. UUD NKRI secara utuh, bukan Pasal 20 dan 22 saja. Hal ini untuk menunjukkan bahwa UU ini harus tunduk pada UUD, bukan sebaliknya.

2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebagai tonggak sejarah keberlakuan UUD 1945 dan Pancasila yang murni dan konsekuen sehingga kita tahu, bahwa Pancasila yang dimaksud HIP ini tetap harus Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak dapat diperas menjadi TRISILA apalagi EKASILA.

3. Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 Tentang Larangan Ideologi Komunisme dan Marxisme-Leninisme. HIP adalah menyangkut ideologi maka, harus ada sikap tegas terhadap ideologi lain khususnya ideologi Komunisme yang dianut oleh PKI yang secara terang-terangan telah melakukan pemberontakan terhadap NKRI.

B. Fungsi HIP dan Distorsi Demokrasi Pancasila

Haluan Ideologi Pancasila adalah pedoman bagi cipta, rasa, karsa dan karya seluruh bangsa Indonesia dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong untuk mewujudkan suatu tata masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi yang berkeadilan sosial. 

Fungsi ini menjadi tidak jelas dan mengalami distorsi karena yang diatur dalam HIP ini hanya sekedar demokrasi Pancasila di bidang politik dan perekonomian, bidang ideologi budaya, sosial, hankam tidak secara spesifik dibicarakan. Pengaturan kedua bidang itu terkesan seperti pengaturan di Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di masa Orde Baru digunakan. Kalau demikian, mengapa kita tidak menerapkan kembali GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Dan mengapa HIP harus pula menjadi UU? Bukankah lebih baik menjadi Ketetapan MPR sehingga pembahasannya lebih komprehensif karena melibatkan seluruh komponen bangsa, khususnya juga melibatkan DPD.

Dalam ketentuan umum HIP disebutkan bahwa
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang berprinsip pada kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara berdasarkan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. 

C. Pokok Pikiran HIP: Distorsi Sila-sila Pancasila

Pasal 3 (1) Pokok-pokok pikiran Haluan Ideologi Pancasila memiliki prinsip dasar yang meliputi: a. ketuhanan; b. kemanusiaan; c. kesatuan; d. kerakyatan/demokrasi; dan 
e. keadilan sosial. 

Pokok pikiran HIP ini mendistorsi sila-sila Pancasila karena hanya menyebutkan kata dasarnya. Seharusnya prinsip dasar HIP tetap sila-sila Pancasila yang utuh. Jadi harus: Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengapa harus demikian? Karena ada konsep lain ketuhanan, yakni ketuhanan yang berkebudayaan seperti konsep Ir. Soekarno. Juga harus Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Mengapa karena ada kemanusiaan ala komunisme (memasung HAM) dan liberalisme (pengutamaan HAM). Juga bukan kesatuan, tetapi Persatuan Indonesia, dan seterusnya. Kita tidak ingin sila yang sudah dasar itu diperas hingga dapat dimaknai secara berbeda. 

D. HIP Mendistrorsi fungsi RPJP dan RPJM

Haluan Ideologi Pancasila memiliki fungsi sebagai: 
a. pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap tingkat kebijakan Pembangunan Nasional, baik di tingkat pusat maupun di daerah, untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan mewujudkan mekanisme kontrol di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; 

b. pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pendidikan, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berketuhanan; 

Kedua fungsi itu sebenarnya sudah diwadahi dalam RPJP dan RPJM. Ini pekerjaan yang saya kira mubadzir khususnya terkait dengan rincian tentang tata laksana pembangunan di berbagai bidang dalam HIP. Semua hal itu sudah diatur di dalam RPJP dan juga RPJM 2005 - 2025. Di awal tadi sudah saya jelaskan, kalau demikian mengapa kita tidak kembali saja menggunakan GBHN? Untuk hal ini harus kembali kepada Amandemen terhadap UUD NRI 1945 atau kita perlu kembali kepada UUD 1945 yang asli.

E. Sendi Pokok Pancasila Terdistorsi

Dalam Pasal 6 (1) HIP disebutkan bahwa Sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial. (2) Keadilan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. keadilan sosial dalam hubungan antara manusia sebagai orang-perorangan terhadap sesama; b. keadilan sosial dalam hubungan antara manusia dengan masyarakat; dan c. keadilan sosial dalam hubungan antara penyelenggara negara dengan warga negara. 

Apakah kita lupa bahwa negara Indonesia ini adalah negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 Ayat 1 UUD NRI 1945). Apa artinya itu? Artinya sendi pokok negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula sendi pokok Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa bukan Keadilan Sosial. Hal ini harus dipertegas mengingat bila digambarkan secara piramidal maka puncak Pancasila itu bukan keadilan sosial melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya nilai Ketuhanan Yang Maha Esa ini menjadi esensi, sendi pokok, ruh dari keempat sila lainnya. Menjadikan keadilan sosial sebagai sendi pokok Pancasila dapat menyeret kita ke arah keadilan sosial ala komunis (ateis) dan kapitalis (sekular). Apakah kita mau mengarahkan kehidupan kita pada konsep keadilan sosial kedua ideologi tersebut?

F. Ciri Pokok Pancasila HIP mendistorsi Keutuhan Sila-sila Pancasila

Dalam Pasal 7 RUU HIP disebutkan:

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. 
(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. 
(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong. 

Siapa yang memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila? Ir. Soekarno lah yang memeras Pancasila itu. Apakah disetujui oleh BPUPKI dan Panitia 9 yang merumuskan Piagam Jakarta? Jawabnya: Tidak! Terbukti hingga Piagam Jakarta dan UUD NRI 1945 kelima sila tidak diperas menjadi trisila hingga eka sila, gotong royong. Lalu mengapa kita masih ber-halu kepada memory pada awal tahun 1945 ketika pembahasan dasar negara dilakukan. Katanya Pancasila sudah final, tetapi mengapa masih juga ditafsirkan bahkan sengaja mau diperas-peras hingga menjadi ekasila, gotong royong? Gotong rotong macam apa? Ala komunis, ala liberis, ala Pancasila yang seperti apa? Yang mendekati komunis, yang sekuler? Atau akan dihidupkan kembali Pancasila dengan aroma NASAKOM (Nasionalisme Agama dan Komunisme)? Untuk pemahaman Pancasila yang utuh, Pancasila tidak boleh diperas-peras.

G. Mengapa Tetiba ada Konsep Masyarakat Pancasila?

Terkesan aneh ketika HIP ini sebenarnya hanya bicara tentang keduduka Pancasila sebagai ideologi tetapi lalu bicara tentang konsep Masyarakat Pancasila. Sejak awal saya tidak setuju dengan cara BPIP mendistorsi kedudukan Pancasila hanya sebagai Ideologi mengingat ada 3 kedudukan yang lain yaitu sebagai pandangan hidup, dasar negara dan the margin of appreciation kehidupan mondial.

Dalam Pasal 8 RUU HIP disebutkan bahwa Masyarakat Pancasila menggambarkan suatu tata masyarakat Pancasila yang: a. merdeka, bersatu, dan berdaulat; b. adil dan makmur; c. rakyatnya berkehidupan kebangsaan yang bebas; d. taat dan sadar hukum; e. memiliki suatu Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi segala suku bangsa dan seluruh wilayah tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; 

Sementara dalam Pasal 4 (c) Haluan Ideologi Pancasila memiliki fungsi sebagai: 

pedoman bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti tidak konsisten antara pembentukan masyarakat Pancasila dengan fungsi HIP yang hanya sebagai pedoman WN dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan kehidupan bermasyarakat. Harus dibedakan antara bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan mondial (Internasional). 

Selanjutnya dalam Pasal 12 disebutkan bahwa:

(1) Tata Masyarakat Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 bertujuan membentuk manusia Pancasila. 

(2) Manusia Pancasila sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi gambaran manusia yang memiliki cipta, rasa, karsa, dan karya, yang sadar dan aktif memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan, dan aktif bergotong royong untuk mewujudkan suatu tata masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 

(3) Gambaran manusia Pancasila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki ciri-ciri: 

a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 

b. mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan lain sebagainya; 

c. menempatkan dan mengutamakan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan; 

d. mengutamakan musyawarah mufakat, dengan semangat kekeluargaan dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama, yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral terhadap sesama manusia dan kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan 

e. aktif melakukan kegiatan untuk mewujudkan kemajuan bersama yang berkeadilan sosial. 

Gambaran Manusia Pancasila ini jauh lebih sederhana dengan kandungan Tap MPR No. II Tahun 1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, bahkan jauh dari amanah Tap MPR No.VI Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Lalu, apa kelebihan RUU HIP ini?

H. HIP terkesan menggantikan GBHN dan RPJP bahkan UUD NRI 1945.

HALUAN IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN PEMBANGUNAN NASIONAL 

Dalam Pasal 19 disebutkan bahwa:
(1) disebutkan bahwa Haluan Ideologi Pancasila merupakan pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan Pembangunan Nasional yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. 

(2) Penyusunan dan penetapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 

(3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib memastikan seluruh kebijakan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada nilai-nilai Pancasila. 

Selanjutnya Pasal 20 menyebutkan bahwa Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 bersifat: a. nasional; b. menyeluruh; dan c. terencana. 

Kalimat-kalimat yang diformulasikan dalam Pasal 19 dan 20 ini sangat kental dengan bahasa GBHN, RPJP dan UUD NRI 1945. Apakah betul UU ini merupakan UU Omnibus Law Ketatanegaraan sehingga UU berpotensi "mengungguli" UUD NRI 1945. Artinya UUD harus tunduk pada UU HIP ini. Kalau demikian maka hal ini merupakan kecelakaan hukum. Apakah ketika MPR akan melakukan Amandemen UUD harus tunduk pada UU HIP ini yang seolah telah menjelma menjadi Pancasila itu sendiri? Tidak pas bukan. Layakkan UUD tunduk pada UU?

I. Ketiadaan Ketentuan Pidana Dalam RUU HIP

Layaknya sebuah UU yang berfungsi sebagai perintah dan larangan dari negara kepada semua entitas negara, seharusnya RUU HIP juga memuat pasal tentang Ketentuan Pidana sebagai sarana untuk memberikan THREAT (ancaman) berupa SANKSI bagi siapa pun yang melanggar UU ini. Akhirnya jika UU HIP tidak disertai sanksi saya yakin UU ini hanya menjadi anjuran moral yang tidak memiliki daya paksa apa pun bagi warga masyarakat, warga negara, pejabat negara, dan atau lembaga pemerintahan ketika terjadi pelanggaran terhadapat ketentuan UU HIP ini. Oleh karena konten yang demikian, dan tampaknya memang terlalu sulit untuk memerinci perbuatan apa saja yang dianggap melanggar penerapan ideologi Pancasila maka RUU HIP tidak layak menjadi UU melainkan lebih tepat menjadi TAP MPR yang sebenarnya lebih memiliki kekuatan moral bagi penyelenggaraan negara. 

Ataukah memang disengaja Ketentuan Pidana dalam RUU HIP ini ditiadakan agar terdapat kesan UU HIP memiliki kesetaraan dengan UUD NRI 1945? Kalau demikian, maka ini juga merupakan kecelakaan hukum yang harus dihindari.

Dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut,

1. Politik Hukum RUU HIP tidak selaras dengan hakikat pemahaman Pancasila yang utuh bahkan cenderung terjadi distorsi teks sekaligus konteks sehingga berpotensi menyimpang dari sendi pokok Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang akan berakibat Indonesia semakin memasuki kehidupan yang ateis dan sekular.

2. Duplikasi formulasi konten RUU HIP dengan RPJP, GBHN dan bahkan UUD NRI 1945 menyebabkan dorongan agar kita kembali kepada UUD NRI 1945 yang asli sehingga GBHN dapat dihidupkan kembali. Jika tidak, maka Indonesia akan terjerumus ke dalam pengelolaan negara secara liberal, atau sosialis dan sekular. 

3. Secara kasat mata dapat kita simak bahwa RUU HIP tidak menjadikan Ketetapan MPRS No. XXV / MPRS/ 1966 dalam konsideran, dan Pancasila di peras jadi Trisila, selajutnya menjadi Ekasila. Hal ini dikawatirkan Pancasila sebenarnya secara hakikat tidak ada lagi dan akan berakhir pada kembalinya ideologi sosialis dan komunis. Hal ini patut diduga anggota DPR akan menghidupkan kembali faham komunis di NKRI.

4. Berdasar analisis singkat ini dapat kita simpulkan bahwa RUU HIP tidak layak ditetapkan sebagai UU dan lebih tepat sebagai Ketetapan MPR, apalagi RUU HIP ini juga kesulitan untuk menentukan rumusan-rumusan delik berupa larangan yang diikuti dengan pemberian sanksi pidana. Jangan sampai setelah menjadi UU, HIP ini mandul karena tidak memiliki daya paksa keberlakuannya. Jadilah macan kertas saja.

Ketika diusung sebagai Rancangan Ketetapan MPR, maka diharapkan proses soundingnya lebih baik sehingga aspirasi rakyat secara optimal dapat tersalurkan. Kekuatan moral memang sangat diperlukan seperti kata para founding fathers dahulu yang menyatakan bahwa tidak mungkin UUD 1945 itu sempurna, maka yang terpenting adalah semangat para penyelenggara negara. Tabik!

Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar