Mengapa Ada Pemimpin Yang Ditipu Bawahan?


Imam Ibnu Katsir dalam salah satu karya master piece-nya, al-Bidayah wa an-Nihayah, meriwayatkan berlimpahnya harta rampasan perang yang diperoleh Panglima Perang Sa’ad bin Abi Waqqash dari medan pertempuran Persia. Saad lalu mengutus Basyir bin Khashasiyyah untuk membawa  4/5 dari harta tersebut ke hadapan Khalifah Umar bin Kaththab radhiyallahu anhu di Madinah. Dengan tujuan untuk menggembirakan Khalifah dan kaum muslimin.

Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu yang mendapat kiriman tersebut mengagumi sekaligus memuji kejujuran pasukan muslim. Ia berkata: “Sesungguhnya kaum yang mengirimkan (barang-barang ini) amat amanah.”

Mendengar pujian Amirul Mukminin, seketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu menjawab, “Sesungguhnya Anda orang yang iffah (jujur dan menjaga diri), makan rakyat pun iffah pada Anda. Jika Anda rakus, rakyat pun akan rakus.”

Pujian Ali pada Umar adalah benar. Sepanjang hayatnya – terutama saat menjadi khalifah – Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu adalah sosok yang jujur, bahkan menjaga diri dari mengambil harta yang bukan haknya dari Baitul Mal dan amat menjaga harta-harta kaum muslimin.

Ibnu Jauziy dalam Manaqib Umar bin Khaththab meriwayatkan; suatu hari Umar pernah menggiring dua ekor unta di siang hari di musim panas, sampai angin pun berhembus panas. Utsman bin Affan radhiyallahu anhu yang menyaksikan perbuatan Umar menjadi terkejut. “Apa yang membuatmu keluar saat ini, Amirul Mukminin?” Umar menjawab, “Dua unta dari unta-unta sedekah tercecer, maka aku ingin menyusulkannya dengan yang lain. Aku takut jika keduanya hilang, maka Allah akan bertanya kepadaku tentangnya.”

Itu baru sekelumit dari kejujuran dan kehati-hatian Amirul Mukminin dalam mengelola harta umat. Masih banyak lagi riwayat yang membuat kita takkan percaya bahwa ada sosok begitu amanah seperti beliau. Prinsip Umar terhadap harta umat adalah seperti mengelola harta anak yatim. “Bila tak butuh aku akan menjauhinya, dan bila aku membutuhkannya maka aku akan memakan dengan cara yang makruf.”

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (TQS. An-Nisa: 10)

Berkaca dari kepemimpinan Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, pantas bila kemudian rakyat, prajurit dan para pegawainya berlaku jujur dan tidak rakus pada harta negara. Kejujuran dan amanah akan berbalas kejujuran dan amanah pula. Bukankah Allah sudah berfirman:

Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). (TQS. Ar-Rahman: 60)

Dalam kehidupan modern kita sering mendengar pemimpin dikhianati bawahan, ditipu, dimanfaatkan. Andai kita bercermin pada Kitabullah, sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, juga kehidupan para sahabat mudah diketahui penyebabnya; karena ia pun bukan pemimpin yang jujur dan amanah, tapi rakus harta dan kekuasaan. Hasilnya orang-orang di sekelilingnya pun akan berusaha melakukan hal serupa. Pemimpin yang suka menipu rakyat, besar peluang akan ditipu pula.

Kita prihatin, di tanah air, anggota dewan, pejabat mulai pusat sampai daerah, berbagai instansi termasuk instansi yang jalankan tugas agama dan pendidikan tak lepas dari budaya tipu menipu, suap dan korupsi. Saking kesalnya dengan budaya korupsi, Bung Hatta pernah bilang kalau korupsi di tanah air sudah membudaya. Bayangkan, itu konklusi yang disampaikan jauh sebelum orde reformasi, tapi Bung Hatta sudah mendeteksi kalau bangsa ini masuk zona merah korupsi.

Apalagi di alam reformasi, perilaku korup makin meningkat. Orang berebut jabatan dengan ikut transaksi jual beli jabatan, buat pencitraan untuk memanipulasi rakyat, dan habiskan banyak uang untuk memuluskan jalan berkuasa. Semua tak berubah malah semakin menggurita karena masih setia dengan sistem demokrasi dan kapitalisme.

Demokrasi adalah wadah terjadinya transaksi jabatan, dan berbagai tarik ulur kepentingan penguasa dengan pengusaha. Keluarnya UU Minerba salah satu bukti kalau eksekutif dan legislatif terus membela kepentingan pengusaha. Dalam demokrasi transaksi dan jabatan selalu terjadi meski sulit untuk dibuktikan.

Kontras dengan Islam dimana jabatan adalah amanah yang menjadi beban. Kekuasaan dilakukan untuk melayani umat dengan menjalankan syariat Islam. Para pejabat pun selalu diingatkan dengan kehinaan dan kepedihan siksa Tuhan bila mengkhianati umat. Belum lagi berbagai ancaman hukuman yang bakal ditimpakan bila terindikasi melacurkan kekuasaan.

Khalifah Umar bin Khaththab bukan saja keras pada dirinya, tapi juga pada para pejabatnya, sekalipun sebagian dari mereka adalah sahabat-sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Tanpa sungkan Umar menyita sebagian harta Abu Hurairah radhiyallahu anhu karena memiliki kelebihan harta setelah menjadi pejabat di Bahrain.

Kebijakan yang tegas melindungi harta kaum muslimin membuat sebagian besar pejabat di masa kekhilafahan Umar bin Khaththab ikut meneladani kezuhudan beliau. Suatu ketika Umar berkunjung ke Syams dan singgah di Hims, maka dia memerintahkan pejabat di sana untuk mencatat kaum duafa di wilayah tersebut. Ternyata di dalamnya ada nama Amir bin Hadzim, pejabat wilayah Himsh.

Maka Umar bertanya, “Siapakah Amir bin Hadzim ini?” mereka menjawab, “Amir kami.” Umar keheranan, “Amir kalian?” Mereka menjawab lagi, “Iya.” Dengan keheranan Umar bertanya lagi, “Bagaimana amir kalian bisa fakir? Dimana gajinya? Dimana rizkinya?” Mereka berkata, “Wahai Amirul Mukminin, dia tidak memegang sesuatupun (tidak punya cukup harta).” Maka Umar menangis.

Allahumma shalli ala Muhammad wa ala alihi wa shahbihi ajmai’n!

Oleh: Ustaz Iwan Januar 
Pakar Parenting Ideologis

Sumber: iwanjanuar.com

Posting Komentar

0 Komentar