Menakar Krisis Ekonomi Global Akibat Pandemi


Pandemi global COVID-19 telah membawa suasana ekonomi global jatuh dalam sebuah krisis. Para ekonom global maupun nasional, satu sama lain telah mengungkapkan kekhawatirannya ini dalam berbagai ungkapan-ungkapan prediksional mereka. Meskipun bisa jadi dengan motif yang tidak sama, semuanya menuju pada sebuah benang merah yang sama, yaitu adanya kemungkinan terjadinya krisis ekonomi global parah yang tidak bisa disembuhkan dalam waktu yang cukup singkat. 

Kristalina Georgiva, Managing director IMF, dalam konferensi persnya seperti yang dituliskan dalam laman CNBC (06/04) menyatakan bahwa tidak pernah dalam sejarah IMF, kita menyaksikan perekonomian dunia melambat kemudian terhenti. Lebih lanjut Kristalina menyatakan semua pihak perlu bekerja sama, bersatu, dan melindungi masyarakat yang paling rentan. IMF kini bekerja sama dengan bank dunia dan institusi finansial lainnya untuk mengatasi kejatuhan ekonomi akibat pandemi COVID-19. (tirto.id, 06/04).

Gita Gopinath, ekonom IMF senada juga menyatakan bahwa untuk pertama kalinya sejak depresi besar, baik negara maju dan berkembang, seluruh negara akan sama-sama memasuki krisis ekonomi. Gopinath lebih jauh menyatakan bahwa krisis ini bisa menghabiskan USD9 trilyun GDP Global selama dua tahun. Bahkan Gopinath meprediksi bahwa pertumbuhan negara-negara maju tidak akan kembali ke tingkat sebelum serangan virus, setidaknya sampai tahun 2022. (okezone.com, 19/04).

Hal senada juga diungkapkan oleh ekonom nasional Faisal Basri. Ekonom senior dari institute for development of economic and finance (INDEF) dan Universitas Indonesia ini memprediksi bahwa kondisi perekonomian indonesia akan sulit pulih akibat pandemi virus corona (covid-19). 

Lebih lanjut Faisal Basri menyatakan bahwa pemerintah tidak punya kemampuan yang besar untuk menahan laju anjloknya ekonomi meskipun ada stimulus fiskal untuk penanganan pandemi. Beliau memperkirakan ekonomi indonesia dan negara lain akan pulih secara bertahap mulai 2021. Namun diperkirakan pemulihannya tidak secepat yang diprediksi IMF. (kompas.com 24/04).

Ekonomi menjadi hal yang sangat fundamental dalam kehidupan. Paul A. Samuelson dalam buku pengantar ekonomi islam menyatakan bahwa pada hakikatnya ekonomi adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan distribusi diantara orang-orang. Dengan definisi ini penekanannya adalah pada aspek produksi dan distribusi. 

Adanya ancaman krisis ekonomi akibat pandemi tentu secara korelatif akan mengancam aspek produksi dan distribusi barang dan jasa di tengah-tengah kehidupan mereka. Terlebih saat ini dengan kebijakan isolasi penduduk dengan skala yang sangat besar telah menutup sebagian dari pintu-pintu produksi dan dan distribusi.

Mengindra Potensi Krisis  Ekonomi Akibat Pandemi

Komentar-komentar ekonom kapitalis telah mengkonfirmasi bahwa saat ini adalah awal dari krisis ekonomi global yang mereka khawatirkan. Tentu indikator yang dipakai adalah indikator ekonomi kapitalis, yaitu dengan istilah pertumbuhan ekonomi dan sejenisnya. 

Pertumbuhan ekonomi adalah keadaan ekonomi suatu negara selama periode tertentu yang mana lebih baik atau meningkat dari periode sebelumnya berdasarkan beberapa indikator. Indikator tesebut adalah kenaikan pendapatan nasional dan pendapatan perkapita, jumlah tenaga kerja yang lebih besar dari pengangguran dan berkurangnya tingkat kemiskinan. 

 Jauh sebelum terjadinya pandemi, Bank Dunia sudah memperkirakan  pertumbuhan ekonomi global hanya dikisaran 2,6% pada tahun 2019 dan 2,7% pada tahun 2020. Hal tersebut lebih rendah dari proyeksi IMF yang menargetkan pertumbuhan ekonomi global ada dikisaran 3% pada tahun 2019 dan 3,4% pada tahun 2020. Dengan kondisi yang demikian IMF menyatakan bahwa angka pertumbuhan tersebut adalah proyeksi yang terendah sejak terjadinya krisis keuangan global. 

Organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan (OECD) memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2020 bisa turun menjadi yang terburuk sejak 2009. OECD memprediksi pertumbuhan ekonomi di tahun ini hanya dikisaran 2,4%. Bahkan jika wabah pandemi ini semakin memburuk pertumbuhan hanya tinggal 1,5% yang merupakan separuh dari nilai pertumbuhan tahun sebelumnya (2019). 

Sebuah jajak pendapat yang diadakan oleh reuters terhadap 40 ekonom dunia pada 3-5 maret 2020, China yang merupakan negara adidaya perekonomiannya, akibat pandemi ini hanya bisa mencapai 3,5% pertumbuhan ekonominya di kuartal pertama tahun 2020. 

Jauh dari pertumbuhan ekonomi sebelumnya di kuartal ke 4 tahun 2019 yang mencapai 6%. Jika China saja dengan kekuatan ekonomi yang luar biasa bisa jatuh ke angka 3,5%, bagaimanakah dengan negara-negara berkembang seperti indonesia? 

Singapura yang merupakan salah satu negara yang memiliki ekonomi yang cukup stabil di asia tenggara memprediksi kondisi pertumbuhan ekonominya juga tidak jauh berbeda dengan negara ekonom raksasa. Irvin Seah, ekonom DBS Group Research, mempublikasikan hasil risetnya pada 27/04/2020 bahwa pertumbuhan PDB tahunan Singapura bisa turun di bawah -7% dalam dua kuartal awal tahun 2020 ini. 

Bahkan kemungkinan akan terus berlanjut berada pada wilayah negatif hingga kuartal ke 2 tahun 2021. Irvin mengungkapkan bahwa tahun-tahun ini akan menjadi tahun yang paling gelap bagi perekonomian Singapura sejak negeri ini merdeka pada 9 Agustus 1965. (cnbcindonesia.com,27/04). Jika Singapura saja dengan kekuatan ekonomi yang luar biasa bisa negatif nilai PDBnya, bagaimanakah dengan indonesia?

Masih dengan menggunakan indikator-indikator kapitalistik, kondisi ekonomi di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Ekonom Faisal Basri memproyeksikan pertumbuhan ekonomi indonesia paling tinggi cuma diangka 0,5% pada tahun 2020 ini. Bahkan skenario terburuknya adalah minus 2,5%. 

Standard & Poor’s Global Ratings (S&P) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi indonesia akan melambat menjadi 1,8% pada tahun 2020 akibat pandemi ini. Tentu jauh merosot dari pertumbuhan ekonomi di kuartal 4 tahun 2019 yang mencapai 5,02%.  

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan komentar-komentar para ekonom dan indikator yang mereka tetapkan, krisis ekonomi akibat pandemi adalah sebuah hal yang nyata terjadi dan sudah didepan mata. Butuh waktu yang tidak singkat untuk mengembalikannya ke track yang mereka inginkan. 

Terlebih di Indonesia yang menurut ekonom, Ichsanudin Noorsy, indonesia sudah porak-poranda dan terus memburuk sejak era reformasi. Menurutnya Indonesia sudah terlanjur terjerat  ke dalam sistem global yang sesungguhnya tidak pernah memberikan jalan keluar perekonomian bagi siapapun. 

Pada kesempatan yang lain, Ichsanudin Noorsy menyatakan bahwa kondisi perekonimian di Indonesia sangat rentan terjadi krisis akibat lima “i”, yaitu intervensi (campur tangan asing atas berbagai kebijakan), infiltrasi (penyusupan melalui kebijakan dan orang), intimidasi (mengancam dengan indikator-indikator akademik bahkan anjuran-anjuran yang memaksa), invasi (terbuka maupun terselubung) dan inflasi. 

Faktor-Faktor Penyebab Ekonomi Kapitalisme Rentan Krisis.

Krisis ekonomi adalah hal yang sering terjadi dalam perjalanan sistem ekonomi kapitalis. Mengutip Britannica dalam cnbcindonesia.com (10/12/2019) disebutkan bahwa telah terjadi 5 krisis keuangan global yang cukup parah sejak Barat bangkit dengan sistem kapitalismenya.

Krisis pertama kali terjadi pada tahun 1772 yang disebut dengan krisis kredit. Krisis inu terjadi saat Alexander Fordyce yang merupakan mitra perbankan perumahan Inggris “Neal, James, Fordyce and Down” kabur ke Prancis untuk mengindari pembayaran hutangnya. Kabar ini berhembus dengan cepat dan memicu kekacauan sektor perbankan di Inggris. 

Akhirnya para kreditor beramai-ramai melakukan penarikan tunai di bank-bank inggris. Krisis ini berdampak ke Skotlandia, Belanda, negara-negara bagian Eropa dan negara koloni Inggris-Amerika. 

Krisis keuangan parah juga terjadi pada periode tahun 1929-1939 yang disebut dengan great depression. Great Depression ini menurut para sejarah disebut dengan bencana keuangan dan ekonomi terburuk pada abad 20. Menurut para sejarawan, krisis ini dipicu oleh kehancuran pasar saham Wall Steet pada tahun 1929 dan buruknya kebijakan pemerintah AS pada masa itu. 

Krisis yang berlangsung selama 10 tahun ini telah mengakibatkan hilangnya pendapatan secara besar-besaran, tingkat pengangguran yang tinggi, produksi terhenti di berbagai kawasan, terutama di negera-negara industri. Bahkan di Amerika Serikat, pada puncak krisis telah mengakibatkan angka pengangguran mencapai 25%. 

Krisis ketiga terjadi pada tahun 1973. Krisis ini terjadi ketika anggota negara-negara OPEC mengembargo ekspor minyak ke Amerika Serikat akibat pengiriman senjata ke Israel selama perang Arab-Israel. Akibatnya Amerika Serikat dan sekutunya kekurangan minyak dan mengakibatkan harga minyak melonjak naik. Terjadilah krisis ekonomi di Amerika dan banyak negara maju lainnya. 

Krisis keempat terjadi pada tahun 1997 di Asia. Krisis ini muncul pertama kali di Thailand pada tahun 1997 dan sangat cepat menyebar ke seluruh wilayah Asia Tenggara dan mitra dagangnya. Aliran modal yang sangat spekulatif dari negara maju ke negara  Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia telah mengakibatkan kredit yang berlebihan dan tingkat hutang yang cukup tinggi. 

Dengan kondisi tersebut, pada juli 1997, pemerintah Thailand meninggalkan kebijakan nilai tukar tetapnya(fixed exchanged rated) terhadap dolar AS dan memicu gelombang kepanikan pasar keuangan negera-negara asia tenggara yang lain. 

Akibatnya para investor asing menarik investasinya yang bernilai milyaran dollar dari negera-negara tersebut. Nilai tukar mata uang jatuh termasuk di Indonesia dari Rp 2.000 pada juni 1997 menjadi Rp 16.000 pada juni 1998. 

Krisis kelima terjadi pada tahun 2008 yang dikenal dengan krisis suprame mortage. Krisis ini terjadi karena kredit macet yang dialami oleh pasar perumahan di AS dan investor terbesar di dunia, Lehman Brothers. Kehancuran Lehman Brothers menyebar ke berbagai lembaga keuangan dan bisnis utama lainnya. Kekacacauan ini juga menarik sejumlah besar dana talangan atau bailout seperti bailout bank century di Indonesia.

Krisis keuangan yang jamak terjadi  pada sistem kapitalisme sebenarnya disebabkan tidak hanya sekedar oleh terjadinya kekacauan tertentu semisal terjadinya pandemi seperti saat ini. Pakar Ekonomi Syariah, Dwi Condro Triyono, menyebut bahwa krisis ekonomi akan terus terjadi karena pilar-pilar sistem ekonomi kapitalis ini sangat rapuh. Ada 3 pilar yang menyumbang kerapuhan sistem ekonomi ini. 

Pertama; sistem mata uangnya, yaitu sistem mata uang kertas yang hanya berbasis pada kepercayaan (trust), bukan pada nilai intrinsiknya. Uang kertas Rp 100.000,- nilai intrinsiknya tidak mencapai nilai sebesar itu. Cengkeraman sistem kapitalis juga telah menciptakan standar ganda dengan menjadikan mata uang dollar sebagai standart nilai dan alat pembayaran dalam perdagangan internasional. 

Standar inilah yang menjadi sumber penjajahan dan ketidakadilan. Dengan 1 dollar AS kita bisa mendapatkan Air mineral gelas satu karton, sementara dengan 1 Rupiah Inonesia, satu gelas air minel saja belum dapat. Butuh minimal 500 rupiah baru dapat satu gelas air mineral. Adilkah? 

Uang kertas juga selalu mengalami inflasi yang permanen karena nilai intrinsiknya dan ekstrinsik berbeda. Uang dengan nominal Rp 100.000,- tahun ini nilainya akan berbeda dengan jumlah yang sama pada 10 tahun yang akan datang. 


Kedua; sistem utang piutang, yaitu hutang piutang yang berbasis pada bunga yang bersifat tetap (fixed rate). Sistem hutang piutang ini dijalankan oleh mekanisme perbankan. Hutang piutang ini saat ini telah menjadi kebiasaan berbagai negara terutama negara berkembang dan negara dunia ketiga. Banyak dari negara-negara tersebut akhirnya terbebani dengan teknik hutang ini. Tidak terkecuali Indonesia yang hampir 25% APBN tahunannya adalah untuk membayar cicilan pokok dan bunga hutangnya. 

Ketiga; investasi asing yang berbasis pada perjudian (speculation). Sistem investasi ini diwujudkan dalam sistem pasar modal. Dengan sistem investasi lewat pasar modal atau pasar saham ini investor asing dengan sangat mudah dapat menguasai perusahaan-perusahaan vital sebuah negara. 

Dengan memainkan uang mereka, dalam waktu tertentu mereka dapat membeli saham perusahaan bagus dan menjualnya kembali saat nilainya menguntungkan. Ada sebuah permisalan mudah dari ekonom Sritua Arief. 

Untuk 1 dollar AS investasi asing yang masuk ke indonesia, bisa balik keluar dari indonesia sepuluh kali lipatnya. Maka tidak aneh jika inilah metode perusahaan multinasional untuk menghisap dan mengeksploitasi secara kejam sumber daya alam sebuah negara. 

Fundamentalisme yang rapuh dari sistem ekonomi kapitalisme tersebut, telah menciptakan krisis keuangan yang berulang kali terjadi baik ada pandemi ataupun tidak ada pandemi. Terlebih ada pandemi ini, maka kejatuhan ekonomi akan semakin memperparah keadaan dan tinggal menunggu waktu. 

Inflasi uang akibat harga barang yang terus meroket naik akibat kelangkaan (penimbunan), nilai tukar dollar yang harus dijaga, hutang piutang baik pokok dan bunga yang harus terus dibayar dan hisapan kekayaan negara lewat kedok investasi akan semakin melemahkan perekonomian dan menjatuhkannya dalam lubang kehancuran. Time Will Tell.

Berbicara tentang krisis ekonomi tentunya akan berpengaruh pada ambruknya sektor finasial. Krisis finansial ini  sangat berpengaruh pada ambruknya perekonomian banyak negara, termasuk negara-negara maju. 

Berikut ini adalah konsepsi tentang dampak krisis ekonomi yang disarikan dari naskah Land Grabbing: Ancaman Bagi Kedaulatan Pangan di Indonesia (Kasryono et al. 2010). Salah satu dampak krisis ekonomi global adalah terjadinya kelangkaan pangan di pasar dunia. Kelangkaan pangan adalah situasi yang disebabkan oleh penurunan ekspor pangan ke pasar duia. Negara-negara pengekspor menurunkan produksi pangan karena krisis finansial dalam negeri, naiknya harga input pertanian terutama pupuk, dan kareba efek psikologis ancaman kekurangan pangan dalam negeri.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Oragnization/FAO) mengingatkan bahwa pandemi covid-19 ini bisa menyebabkan krisis pangan dunia. Jika berbagai negara tidak mengantisipasi sejak dini, krisis bisa berlanjut hingga dua tahun ke depan. 

Merespon peringatan FAO, Presiden Joko Widodo memerintahkan jajarannya untuk memprioritaskan ketersediaan bahan pokok hingga ke daerah-daerah. “Jangan sampai stok bahan makanan di pasar tidak mencukupi yang dapat menambah keresahan masyarakat,” kata Jokowi 13 April 2020 melalui katadata.co.id.

Imam Mujahidin Dosen Ekologi Politik mengatakan melalui mediaindonesia.com 22/4/2020. Krisis pangan yang diakibatkan oleh pandemi global hanya bisa diatasi dengan penguatan dan keberpihakan terhadap sektor pertanian di tengah wabah covid-19. Hanya sektor pertanian yang mampu menyiapkan pangan untuk melawan covid-19. Karena jika hanya mengandalkan impor, negara-negara luar pengekspor pangan akan mengurangi ekspor demi memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri. 

Apabila hal tersebut belum diindahkan selain krisis ekonomi akan mengakibatkan krisis pangan, dan krisis yang lebih komplek lagi. Hingga ancaman resesi itu nyata, yaitu efek domino pada kegiatan ekonomi. Akan terjadi banyak pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. Dari sana menyebabkan daya beli menurun yanga berimbas turunnya keuntungan hingga bangkrutnya suatu perusahaan. Produksi atas barang dan jasa juga merosot sehingga menurunkan PDB nasional. 

Jika dibiarkan efek domino resesi akan menyebar sampai macetnya kredit perbankan hingga inflasi yang sulit dikendalikan, atau bahkan sebaliknya terjadi deflasi.

Strategi Islam Meminimalisir Krisis Ekonomi akibat Pandemi

Pada awal pembahasan pada poin ini kita awali dengan sebuah pengandaian. Andaikata suatu saat nanti terjadi pandemi lagi, pertanyaannya adalah bagaimanakah sistem ekonomi islam mampu bertahan untuk tidak mengalami krisis ekonomi?

Rapuhnya fundamentalisme dari sistem kapitalisme telah menunjukkan betapa bobroknya bangunan sistem ini. Apa yang menjadi kasalahan mendasar kapitalisme tidak akan dimiliki oleh sistem islam.  Jika pada pembahasan sebelumnya telah ditunjukkan 3 variabel yang merusak dari kapitalisme, maka hal itu tidak akan dimiliki oleh sistem islam.  

Pertama, sistem islam akan mengakhiri sistem mata uang kertas yang rentan terjadi fluktuasi dan tentu akan menghapuskan dominasi dolar sebagai standart nilai dan alat pembayaran perdagangan internasional. Sistem ekonomi Islam akan menjadikan dinar dan dirham sebagai nahkoda untuk alat pembayaran. Dinar dan dirham tersebut mempunyai nilai intrinsik dan ekstrinsik yang sama. Jelas ini mampu membuat ekonomi Islam kuat dan tak terbelenggu oleh dolar. Selain itu teruji memiliki fluktuasi yang sangat kecil.

Kedua, dalam sistem ekonomi Islam tidak dibenarkan adanya riba dalam segala aktivitas ekonominya. Sehingga sektor non riil yang menjadikan uang sebagai komoditas tidak dibenarkan dan jelas ditutup segala bentuk akad yang terdapat perjudian atau riba. Segala hutang piutang termasuk kegemaran hutang oleh negara untuk pembiayaan APBN tidak akan terjadi. Dari sini maka pintu terjadinya pelemahan ekonomi akibat beban pembayaran hutang dapat dikurangi. Secara politis, pintu untuk dikuasainya kedaulatan negara oleh asing juga dapat dicegah.  

Ketiga, syariat Islam akan menghapus sektor non riil seperti pasar saham yang penuh dengan spekulasi dan perjudian. Sistem ekonomi islam akan memaksimalkan usaha peningkatan laju pertumbuhan sektor riil saja.

Selain dari 3 hal tersebut, sistem ekonomi islam sebenarnya memiliki paradigma mendasar yang bertentangan dengan sistem kapitalisme. Jika kapitalisme fokus pada peningkatan laju produksi untuk melihat terpenuhinya kebutuhan manusia atau tidak, atau dengan kata lain terpenuhinya kebutuhan secara kolektif  yang terlihat dari produksi dan pendapatan nasional maka dalam sistem islam yang menjadi fokus adalah sampai atau tidaknya distribusi kebutuhan pokok manusia kepada setiap individu warga negara. 

An Nabhani (2010) menyatakan bahwa yang perlu dibahas dalam sistem ekonomi adalah bagaimana memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok setiap individu, bukan bagaimana memproduksi barang-barang ekonomi.  

 Berdasarkan hal tersebut, jika seandainya terjadi pandemi akibat sebuah penyakit, maka fokus negara adalah tetap memastikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok setiap individu, tidak perlu melihat indikator-indikator ekonomi kapitalis seperti pertumbuhan ekonomi, produksi kasar nasional dan sejenisnya yang selama ini menjadi tolak ukur keberhasilan ekonomi sebuah negara. 

Maka dengan demikian tidak perlu negara berbusa-busa dalam menyuntikkan stimulus fiskal untuk menyelamatkan neraca keuangan negara, terlebih sudah dihapuskannya ketergantungan pada dolar, hutang piutang ribawi dan investasi pasar saham pada pembahasan sebelumnya. 

Sistem islam juga mempersiapkan bangunan ketahanan yang kuat tatkala islam membagi kepemilikan dengan 3 jenis. Ada kepemilikan umum, negara, dan individu. Apa yang menjadi kepemilikan umum seperti tambang, hutan dan laut atau sejenisnyam tidak boleh dikuasai bahkan dimiliki oleh individu atau korporasi tertentu. Wilayah tersebut harus dikuasai oleh negara dan keuntungannya dikembalikan ke umat. 

Inilah yang terjadi pada sistem kapitalisme  yang zalim ini saat ini. Adanya   kebebasan kepemilikan, telah menjadikan hak untuk umum atau negara telah dikuasai oleh segelintir orang saja. Akhirnya sumber-sumber pendapatan potensial yang harusnya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan umat hilang. 

Sebagai penutup, sistem ekonomi Islam selain bebas dari riba, juga mampu mewujudkan perdagangan yang sehat. Tentunya dengan meniadakan monopoli, kartel, mafia, penipuan, dan segala akad yang bertentangan dengan Islam. Hal tersebut akan mempercepat memulihkan kondisi ekonomi jika terancam krisis.


Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan penginderaan terhadap komentar-komentar para ekonom baik global maupun lokal beserta indikator-indikator yang mereka tetapkan, krisis ekonomi akibat pandemi Covid 19 ini adalah sebuah hal yang nyata terjadi dan sudah didepan mata. Pertumbuhan ekonomi akan menurun dan melambat sampai beberapa tahun.

2. Selain akibat pandemi sehingga terhentinya aktivitas ekonomi, sistem ekonomi kapitalis memiliki faktor fundamental yang sangat rapuh sehingga sangat rentan terjadinya krisis ekonomi. Variabel tersebut meliputi penggunaan uang kertas (fiat money), hutang ribawi dalam sistem perbankan, dan investasi spekulatif dalam sistem pasar saham. Sejarah krisis ekonomi dunia juga tidak lepas dari ketiga aspek tersebut. Krisis ekonomi akan berdampak pada krisis pangan, hingga merembet pada ancaman resesi ekonomi yang lebih komplek lagi.

3. Islam memiliki sistem ekonomi yang khas, berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis. Jika terjadi ancaman pandemi, maka sistem ekonomi islam dengan izin Alloh semata akan mampu menanggulanginya. Sistem ini ditopang oleh dinar dirham sebagai mata uang, pengharaman berbagai transaksi ribawi, pelarangan investasi spekulatif di pasar saham. Selain itu paradigma yang dipakai adalah terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pokok setiap individu warga negara, bukan indikator pertumbuhan atau pendapatan nasional negara.[]

Oleh Ika Mawarningtyas, S. Pd

MATERI KULIAH ONLINE 
UNIOL 4.0 DIPONOROGO
Rabu, 29 April 2020
(Di bawah asuhan: Prof. Suteki)

#Lamrad
#LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar