Makar di Kampus Melalui Seminar: Bukankah Tugas Universitas Meruhanikan Ilmu?



Saya menyaksikan video di youtube yang membicarakan tindakan makar di kampus lantaran ada rencana seminar yang bertema "MELURUSKAN PERSOALAN PEMECATAN PRESIDEN DI TENGAH PANDEMI" yang sedianya digelar tanggal 29 Mei 2020 secara online.  Kampus UGM yang ketiban "awu anget" atas rencana Seminar tersebut karena dituduh mempublikasikannya. Saya kira terlalu prematur untuk menyatakan bahwa acara SEMINAR di KAMPUS itu dikatakan sebagai TINDAK PIDANA MAKAR.

Kampus itu sebagai tempat untuk merohanikan ilmu sehingga mestinya ada kebebasan akademik yang dijamin oleh UU maupun Konstitusi. Kalau baru dibicarakan saja sudah distempeli MAKAR lalu kapan ilmu pengetahuan bisa maju dan beringsut garis depannya?

Sekali lagi saya tegaskan bahwa tugas kampus adalah meruhanikan ilmu pengetahuan. Ruhani itu berarti bicara tentang cipta rasa dan karsa. Ini yang kita sebut dengan AKAL. Akal inilah yang mendasari mengapa seorang ilmuwan harus berkarakter RADIKAL. Narasi saya tentang RADIKAL adalah: RAmah terDIdik beraKAL.

Seorang ilmuwan mesti mengutamakan akal dalam bersikap, berpendapat dan bertindak. Seseorang dikatakan berakal bila masih ada ikatan antara cipta rasa dan karsanya.

Cipta: bertugas pada pencarian kebenaran
Rasa: bertugas mewujudkan keindahan, keseimbangan.
Karsa: bertugas mengarahkan pada kebaikan

Ketika seorang ilmuwan telah:

1. Terinjak kaki-nya lantaran masalah besarnya;
2. Terbujuk dengan janji manis;
3. Tidak mampu lagi berargumentasi;

maka tunggulah kelumpuhan intelektualitasnya hingga tak lagi dapat diharapkan ada perubahan ilmu yg idealogis apalagi berharap keberkahannya. 

Ilmu tanpa praktik hanya menjadi macan kertas. Garang di atas kertas tapi lumpuh di alam nyata. Seonggok kata-kata tanpa makna, sebatas syair jampi-jampi yang meninabobokkan; sedang praktik tanpa ilmu hanya akan menggiring manusia ke arah kehancuran karena kehidupan yang dijalani nir ideologi, nir akal sehat. 

Maka tugas utama kampus, universitas adalah meruhanikan ilmu sehingga mampu menuntun kehidupan manusia menjadi lebih baik. Itulah kampus yang diharapkan mampu memanusiakan manusia yg hakikatnya adalah mahluk ruhani.

Jadi,
1. Menyuarakan kebenaran adalah kewajiban pokok ilmuwan.
2. Menampilkan keindahan adalah tugas mulia ilmuwan.
3. Mendukung kebaikan adalah sikap santun seorang ilmuwan.

Kampus seharusnya  tetap berkarakter RADIKAL, yakni
Ramah, Terdidik dan Berakal. Pemberangusan karakter radikal hanya akan berakhir pada kemandegan ilmu pengetahuan dan kejumudan berpikir yang akan berakhir pada situasi kebanalan bahkan kedunguan berpikir.

Terkait dengan seminar di UGM ini, justru saya mempertanyakan yang membuat surat itu, paham dengan kehidupan kampus dan demokrasi apa nggak? Kalau ia dosen, mestinya bukan begitu cara menyelesaikan masalah keilmuan.

Lebih baik kita berhati-hati memberikan stempel terhadap kegiatan kampus. Jika gentleman, biarkan acara berlangsung dan hadirilah, bercakaplah, gugatlah jika ada hal yang tidak baik atau mengancam keberlangsungan kehidupan negara bangsa. Jangan asal main lapor, main tuding, main ancam sesama civitas akademika di kampus.

Korban sudah banyak, justru surat seperti ini yang kemudian membuat heboh dan keonaran masyarakat. Tuduhan yang terlalu prematur, bahkan kalau yang bersangkutan tidak dapat membuktikan adanya makar itu, maka yang bersangkutan bisa dituntut balik karena telah menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran serta melakukan tindak pidana fitnah. 

Saya kira pihak UGM harus segera memberikan keterangan kepada publik agar masalah ini tidak berkepanjangan dan menimbulkan syak wasangka sehingga mempekeruh suasana pandemi sekarang ini. Kita semua sedang prihatin, namun sebagai civitas akademika harus terus berkarya, melakukan kajian kritis secara keilmuan sesuai dengan kompetensinya. 

Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar