Iffah Pada Anak Kita


“Dik, nanti kalau buka puasa di rumah nenek jangan minta apa-apa ya? Makan saja apa yang ada di rumah nenek,” pesan istri saya pada si bungsu yang baru kelas tiga SD. Si bungsu mengangguk.

Sore itu si bungsu ingin berbuka puasa di rumah nenek bersama saudara-saudaranya. Kami mengizinkannya namun dengan syarat ia jangan banyak permintaan. Mau makan apa yang dihidangkan nenek.

Anak-anak memang selalu ada request setiap akan berbuka. Selama masih wajar biasanya kami penuhi. Namun bila agendanya bukan di rumah sendiri, kami mengajarkan anak-anak untuk siap berbuka dengan apa saja yang dihidangkan tuan rumah.

Ada satu karakter yang ingin kami tanamkan pada anak, yaitu sifat iffah. Baginda Nabi SAW. sering berdoa kepada Allah SWT. dengan satu jenis doa, dimana salah satu isinya adalah permohonan sifat ‘iffah. Sabda Nabi:

« اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى »

“Ya Allah aku meminta padamu petunjuk, ketaqwaan, iffah, dan kekayaan.”(HR. Muslim)

Secara bahasa iffah bermakna menahan diri. Adapun secara istilah, iffah bermakna menahan diri dari perkara yang haram dengan segala jenisnya, dan mengendalikan diri dari syahwat dan penyimpangan.

Salah satu bagian dari iffah adalah menahan diri dari meminta-minta pada orang lain dan merasa cukup sehingga tidak membutuhkan bantuan dari manusia. Coba perhatikan, tidak sedikit orangtua pusing dengan sikap anak karena banyak permintaan dan banyak jajan. Sebagian orangtua menganggap hal itu wajar, maka mereka loloskan apa saja permintaan mereka.

Sayangnya ini berkelanjutan hingga seperti tak bisa dihentikan. Hingga akhirnya orangtua pusing meladeni permintaan anak. Bahkan saat menjadi dewasa mereka pun tak memiliki sifat iffah, tak pernah merasa cukup dan menginginkan apa yang ada pada orang lain.

Orang-orang soleh seperti para sahabat dan ulama salaf adalah generasi yang teguh dengan sifat iffah. Mereka tak pernah mau terlihat susah meski sebenarnya membutuhkan, dan mereka pun menjaga diri dari harta yang haram.

Atha bin Rabi’ah rahimahullah, salah seorang tabi’in, suatu ketika mengunjungi Khalifah Hisyam bin Malik di Damaskus. Orang-orang mengerumuni majlis tersebut termasuk para pejabat Hisyam. Dalam pertemuan itu Atha bin Rabi’ah memberikan nasihat panjang lebar yang membuat Hisyam menyungkurkan kepalanya ke lantai sambil bercucuran air mata karena takut pada Allah Ta’ala.

Usai memberikan nasihat Atha bin Rabi’ah berlalu meninggalkan Hisyam bin Malik. Seorang bawahan Hisyam tergopoh-gopoh menghampiri Atha sambil membawa satu buah kantong berisi hadiah dari Hisyam. “Amirul mukminin memberikan ini untuk Anda,” katanya. Atha menolak pemberian itu sambil membacakan ayat al-Qur’an:

وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ ۖ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.”(TQS. Asy-Syua’ara: 109)

Orang-orang menyaksikan bahwa Atha bin Rabi’ah meninggalkan majlis tanpa mau menerima hadiah apapun bahkan tidak minum seteguk air pun!

Ayahbunda yang dirahmati Allah, banyak kebaikan dari sifat iffah ini. Orang-orang yang memiliki sifat iffah akan mandiri hidupnya, tidak mau bergantung pada orang lain. Ia akan berusaha mencukupi kebutuhan dirinya sendiri dan merasa puas dengan apa yang dimilikinya.

Mereka yang menjaga sifat iffah juga tidak akan mau mengemis atau meminta-minta pada orang lain, sekalipun ia sebenarnya membutuhkan. Tidak sedikit orang mengemis harta dan jabatan pada orang lain, bahkan sampai mau melakukan perbuatan haram agar tercapai keinginannya.

Bagaimana cara menanamkan sifat iffah pada anak? Berikut sejumlah langkah:

1.  Ajarkan anak-anak untuk selalu bersyukur nikmat atas apa yang dimiliki.

2.  Pahamkan bahwa Allah akan menambah lagi rizki dan karunia pada setiap orang yang bersyukur

3.  Tanamkan pada mereka untuk merasa cukup dengan apa yang ada

4.  Yakinkan pada mereka bahwa apa yang Allah beri hari ini berarti itulah pilihan terbaik dariNya

5.  Ajak mereka untuk melihat orang-orang yang keadaannya tidak seberuntung ananda, agar mereka bisa bersyukur.

6.  Pahamkan bahwa rizki yang haram tidak datangkan barakah dan kebaikan dunia-akhirat

7.  Bacakan kisah-kisah kezuhudan Rasulullah, para sahabat dan orang-orang saleh yang sabar dalam urusan harta kekayaan.


Oleh Ustadz Iwan Januar
Pakar Parenting Ideologis

Sumber artikel: iwanjanuar.com

Posting Komentar

0 Komentar