ZAAWIAH: MODEL PENDIDIKAN DI BUTON-NEGERI KHALIFATUL KHAMIS


Pada umumnya masyarakat zaman “now” mengenal model pendidikan dengan lembaga formal, sekolah. Murid masuk sekolah, belajar, lalu pulang, mengerjakan tugas, lalu masuk lagi sekolah. Begitulah seterusnya. Pembelajaran tentang agama dan budi pekerti sangat minim. 

Beda halnya dengan model pendidikan masyarakat Buton di era Khalifatul Khamis. Mereka menjadikan masjid bukan saja sebagai tempat ibadah namun juga sebagai pusat pendidikan. Jika di tanah tanah Jawa masyarakat menimba ilmu Islam dari pesantren, masyarakat Buton menggunakan Zaawiah sebagai sarana pembelajaran.

Zaawiah merupakan tempat pendidikan bagi anak-anak di Buton.  Diutamakan bagi mereka yang sudah akil baligh. Biasanya ditandai dengan telah melalui proses sunat atau Tandaki. Ada tiga materi penting yang diberikan yaitu pendidikan agama, pendidikan ahlak (budi pekerti), dan manajemen/kepemimpinan. 

Menurut Budayawan Buton, Dr La Ode Abdul Munafi, Zaawiah merupakan wadah kaderisasi calon-calon pemimpin masa depan. Di situlah disiapkan kader pemimpin yang memiliki kapasitas mumpuni. Terjadi perpaduan karekter antara ulama dan umara. Pemimpin dunia yang hebat sekaligus Pemimpin agama yang taqwa, sangat patuh pada Allah.

Diantara Zaawiah yang masih berdiri sampai kini adalah Masjid Kuba Baadia. Masjid ini didirikan Sultan XXIX Muhammad Idrus Kaimuddin pada tahun 1826. Namun demikian kondisinya sekarang beda dengan pendekatan fungsi Zaawiah masa silam. 

Zaawiah menunjuk pada bangunan fisik dan aktivitasnya terdapat amal praktis pengkaderan, dan pengajaran Islam. Sara Kidina atau perangkat Masjid Agung Keraton Buton seperti moji, khatib, dan imam penyiapannya, dikader disitu.

Beberapa contoh zaawiah kala itu, Misalnya Zaawiana Oputa Galampa Batu, Zaawiana Kenepulu Bula. Hanya kalangan kerabat itu dididik paten disitu, kalangan Kaomu dan Walaka. 

Hasil kader jebolan Zaawiah Kenepulu Bula antara lain Sultan Muhammad Umar, dan Sultan Muhammad Husein, cucu Kenepulu Bula. Ada juga pentolan Zaawiah Masjid Kuba, Sultan Muhammad Isa dan Sultan Muhammad Husein. 

Tokoh atau pendidik utama misalnya Kenepulu Bula beliau menjadi syekh disitu. Berikut Sultan Muhammad Salihi sering jadi imam di Masjid Kuba. Untuk Sultan Muhammad Idrus adalah Syekh Tarekat al Wadiah Tsamaniyah. Terakhir Sultan Muhammad Salihi.

Sementara Antropolog Unhas, Dr Tasrifin Tahara berharap ingin mengembalikan Zaawiah di masa depan. Hampir semua kelurahan di buton memiliki masjid. Semestinya, menjadikan masjid selain sebagai tempat Shalat lima waktu juga harus dijadikan pusat pendidikan. 

Bukan hal tidak mungkin seluruh masjid di Kota Baubau difungsikan sebagai Zaawiah. Alumninya siap menjadi perangkat masjid. Kapasitasnya ulama dan umara, karena dibekali ilmu agama dan kepemimpinan. 

Saat ini kita tak bisa terpaku pada lembaga pendidikan formal. Kita mesti melihat lingkungan secara utuh, mulai dari keluarga dan masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang baik. Bila tidak diantisipasi dari sekarang maka pembentukan karakter remaja kita di era millenial ini justru akan diambil dunia maya melalui gawai. 

Lalu, apakah dari segi kualitas, zaawiah bisa diandalkan? Menurut Tasrifin, saat kecil ia mengaji di masjid. Sering mengikuti lomba cerdas cermat, atau ceramah. Ketika bersekolah jauh lebih unggul dibanding dengan temannya yang tidak bersosialisasi di masjid.

Saat ini kita terlalu mempercayakan lembaga-lembaga formal sebagai satu-satunya sarana pendidikan. Namun tidak tahu bagaimana lembaga-lembaga formal itu mendesain kita berkehidupan yang Islami dan berfikir sampai akhirat. Lembaga formal versi barat hanya mendesain bagaimana bisa hidup sukses di dunia. Namun tak mampu memberikan solusi sukses sampai akhirat.

Zaawiah & pesantren hampir mirip. Agak sedikit Beda dengan pasantren yang harus mondok. Di Zaawiah, pesertanya datang pada waktu tertentu. Namun kepatuhannya sama dengan pesantren karena sosok yang mengajari adalah figur kharismatik. Tetap patuh kendati dihukum, sekarang susah mencari sosok seperti itu. 

Dari segi sanad Ilmunya lebih terjamin karena gurunya jelas bersanad ilmu. Justru pendidikan formal tidak dijamin sanad ilmunya kecuali secara legal dengan selembar kertas ijazah.

Lembaga formal saat ini sulit meyakini bisa membentuk karakter secara ketaqwaan karena keterbatasan waktu. Sebut contoh di kampus terkenal, pendidikan agama hanya diajarkan dua SKS. Mustahil dua SKS bisa membentuk karakter taqwa.

 Demikian pula di sekolah umum rata-rata hanya dua jam seminggu. Bagaimana membentuk manusia berkarakter dan taqwa? Wajar saja jika para pelaku korusi itu justru dari lulusan kampus terkenal. 

Alhasil sekolah lebih berfungsi sebagai institusi transfer knowledge, tidak untuk budi pekerti. Sementara dalam peradaban Buton punya Zaawiah yang kuat untuk menanamkan ilmu Islam, kepemimpinan dan ahlak. 

Tantangan kita kini adalah kemajuan saranan dan ilmu pengetahuan yang minus iman dan taqwa. Kita tak boleh larut dalam perubahan zaman. Karena kitalah yang mengendalikannya. Zaman adalah produk kebudayaan, lahir dari manusia buah bikir dan amal manusia.[]

Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. PAMONG Institute)

(disarikan dari Buku NEGERI KHALIFATUL KHAMIS, Terbitan WADIpres tahun 2019, yang ditulis oleh Irwansyah Amunu & almaroky) 

NB; Penulis pernah belajar pemerintahan di STPDN angkatan ke-04 dan IIP Jakarta angkatan ke-29 serta MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Sumber artikel: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=923813744706033&id=100012322479681

Posting Komentar

0 Komentar