Sukmawati Si Penista Agama Dilepas, Kado Pahit Umat Islam dalam Situasi Krisis dan Pandemi

[Catatan Hukum Maraknya Pelepasan Penista Agama, dan Penangkapan Para Pengkritik Penguasa]


Pada Selasa (7/4) dalam sebuah Group WhatsApp (GWA) Penulis mendapat kiriman Foto SP2HP dan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan dari Ditreskrimum Polda Metro Jaya, atas Laporan Polisi yang diajukan oleh Rekan Advokat Ratih Puspa Nusanti, SH. Laporan berkenaan dengan ujaran penistaan agama yang dilakukan oleh Sukmawati yang membandingkan Rasulullah SAW dengan Ir. Soekarno.

Surat tersebut memberikan laporan Perkembangan Hasil Penyelidikan dan Pemberitahuan Tentang Dihentikannya Kasus Penghinaan Rasulullah SAW yang dilakukan oleh Sukmawati.

Surat bernomor B/3425/III/RES.1.24/2020/Ditreskrimum dan Nomor  S.Tap/47/III/2020/Ditreskrimum yang dikeluarkan oleh Ditreskrimum Polda Metro Jaya tanggal 20 Maret 2020, memupus harapan umat Islam atas tuntutan keadilan agar Sukmawati sang ibu Penista Agama diseret ke meja Pengadilan.

Untuk kedua kalinya, Putri Bung Karno ini lepas dari jerat hukum atas kasus penistaan Agama. Pada kasus pertama, umat Islam dibuat geram dengan video puisi Ibu Indonesia yang dibacakan Sukmawati, yang isinya memuat hinaan terhadap ajaran Islam tentang seruan azan dan Cadar, yang dibandingkan dengan Kidung dan Konde.

Pelepasan (baca : Penghentian) kasus Sukmawati ini sekaligus menguatkan keyakinan publik bahwa hukum di negeri ini tidak adil. Tidak ada asas persamaan dimuka hukum.

Sukmawati yang jelas menghina azan, menghina cadar, menghina Rasulullah SAW, perkaranya justru dihentikan. Sementara, klien LBH Pelita Umat yang konsisten mendakwahkan khilafah, dituduh makar, dituduh menghina Jokowi, langsung ditangkap dan dipenjara.

Perlakuan terhadap Ali Baharsyah berbeda jauh dengan yang diterapkan kepada Sukmawati, Ade Armando, Fictor Laiskodat, Abu Janda hingga Muafiq. Sampai saat ini, nama-nama Penista Agama ini masih terus berkeliaran bebas, kasusnya tidak jelas kelanjutannya.

Dalam konteks diskursus keadilan, umat Islam selalu diminta bersabar ketika dizalimi. Diminta taat hukum, diminta mengikuti prosedur, diminta melapor ke polisi jika berkeberatan.

Namun ketika umat Islam ikuti prosedur, melapor ke polisi, laporannya tidak diterima jika tidak didesak dengan demontrasi. Sudah menjadi laporan, ujungnya juga tidak diproses, diambangkan, atau bahkan dihentikan seperti Kasus penistaan Rasulullah SAW oleh Sukmawati ini.

Beda perlakuan, sangat beda sekali jika yang lapor si Muanas Alaidid anak PSI. Muanas Alaidid melaporkan Alimudin Baharsyah, sehari berikutnya Mabes Polri langsung menangkap Ali Baharsyah.

Bukan hanya kasus Ali Baharsyah, Jonru kasusnya juga dilaporkan Muanas Alaidid. Dan, banyak sudah korban pelaporan Muanas Alaidid ke Polisi.

Publik selain gerah, juga heran, siapa sebenarnya Muanas Alaidid ? Kenapa dia begitu "Sakti" ? Apakah kepolisian dibawah kendali Muanas Alaidid ? Sampai-sampai Wartawan Senior, Edy Mulyadi berseloroh ingin belajar pada Muanas Alaidid, bagaimana membuat laporan agar cepat diproses polisi.

Kita semua sadar bahwa Indonesia Negara hukum. Konstitusi dalam pasal 1 ayat (3) menegaskan "Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Namun, praktik penegakan hukum di negeri ini tidak mencerminkan perilaku Negara hukum. Proses penegakan hukum terkesan menggunakan asas "suka-suka". Suka suka rezim, suka suka penguasa, suka suka polisi.

Kabar dihentikannya kasus Sukmawati ini ini adalah kado pahit bagi umat Islam. Bahkan, kado yang sangat pahit, disaat situasi pandemik dan krisis ekonomi, antivis Islam ditangkapi, Sukmawati sang Penista Agama justru dilepaskan dari jerat pidana.[]

Oleh : Ahmad Khozinudin SH
Ketua LBH Pelita Umat

Posting Komentar

0 Komentar