RUU Omnibus Law Cipta Kerja Melegalkan Pemalsuan Gelar dan Ijazah?


Sebagaimana diwartakan oleh Gelora News tanggal 27 April 2020, Anggota Badan Legislasi DPR RI Prof Zainuddin Maliki mengatakan penghapusan Pasal 67, 68 dan 69 Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di omnibus law RUU Cipta Kerja, bisa menimbulkan masalah baru.

Pasal-Pasal tersebut mengatur soal sanksi pidana maupun dan denda terkait pamalsuan ijazah, sertifikat dan gelar baik oleh badan hukum maupun perorangan. Ketiga Pasal itu menurut Prof Zainuddin, dihapus tanpa ada penjelasan mengenai penghapusannya. Agar lebih jelas kandungannya, berikut saya sertakan ketentuan pidana yang ada di dalam ketiga pasal yang dihapus tersebut:

                                  BAB XX
                       KETENTUAN PIDANA

                                    Pasal 67
(1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

                                   Pasal 68
(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

                                   Pasal 69
(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Kalau pasal-pasal yang memuat ketentuan pidana tersebut dihapuskan, saya setuju agar lebih baik pembahasannya ditunda. Bila perlu tidak usah ada Omnibus Law jika itikad baik berhukum tidak ada. Bisa semakin rusak hukum di negeri ini jika omnibus law tidak berpihak pada kebenaran, kejujuran dan keadilan.

Meski kita tahu lapangan kerja itu penting, duit itu penting, tetapi keduanya bukan segala-galanya dalam hidup. Hal ini harus kita perhatikan ketika kita masih punya prinsip tentang hidup dan hakikat hidup itu. 

Hukum yang baik adalah hukum yang menjunjung tinggi keadilan. Keadilan tersebut merupakan integrasi dari kejujuran (honeste vivere), tidak merugikan orang lain (alterum non laedere) dan memberikan hak kepada orang lain (suum cuique tribuere). Bahkan, Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum yang tidak adil bukanlah hukum (lex injusta non est lex).

Terkait dengan kalangan yang bersikap bahwa pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dapat terus dilanjut hingga menjadi UU dan mempersilahkan bagi yang tidak puas untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, saya kira bukan sikap yang baik dan bijaksana dalam berhukum khususnya pada tahap law making (pembentukan hukum). Bukankah dalam UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ditegaskan tentang bagaimana membentuk UU yang baik, benar dan efektif. Harus ada upaya extra ordinary dalam hal persiapan mulai dari pengusulan gagasan, penyusunan Naskah Akademis (NA) hingga pelaksanaannya yang harus memperhatikan segala aspek terkait baik dari sisi filosofis, yuridis maupun sosiologis. 

Saya kira kita tidak kekurangan orang pintar di negeri ini. Sarjana hukum, sarjana politik, dan ahli-ahli di dalam perancangan hukum berjibun jumlahnya. Yang kurang bagi kita adalah komitmen dan semangat kenegaraan dan khususnya dalam pembentukan dan penegakan hukum karena kita sudah mendeklasarikan diri sebagai negara berdasar hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945). Ketidaksesuaian antara jumlah ahli hukum dengan kualitas penegakan hukum di suatu negara mengilhami seorang ahli hukum bernama Brian Z Tamanaha mengajukan tesis dalam bukunya bahwa telah terjadi Failing Law Schools. Keadaan ini diperparah dengan vested interest pihak tertentu dalam pembentukan dan penegakan hukum. Seperti RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini pun patut diduga tidak terlepas dari vested interest yang oleh beberapa orang dinyatakan pada prinsip "manjakan investor dan tindas pekerja". Apakah dugaan ini benar? Tentu dibutuhkan analisis yang mendalam. Namun, melihat kenyataan di lapangan adanya aksi protes, kritik pedas yang dialamatkan kepada omnibus law ini, saya kira bukti itu makin hari makin menampakkan diri.

Di masa pandemi corona ini, alangkah baiknya seluruh komponen bangsa dan negara bersatu padu untuk menanggulangi pandemi tersebut. Pembahasan RUU yang tidak mendesak lebih baik dihentikan karena justru jika dilanjutkan akan besar kemungkinan terjadi banyak penyelundupan bahkan "pengemplangan" hingga amputasi pasal-pasal UU yang telah ada yang seharusnya tetap dipertahankan dalam situasi apapun. Demi cipta lapangan kerja bukan berarti kita boleh menghalalkan segala cara.

Ijazah, di masa Revolusi Industri 4.0 ini mungkin dikatakan tidak penting. Orang cenderung mengutamakan persoalan "craft", skill bukan persoalan expert yang dibingkai oleh dedikasi tinggi karena proses edukasi yang telah dijalani dari elementary school hingga post graduate school. Proses itulah yang diharapkan agar pendidikan itu mampu menjamin kualitas hidup manusia secara utuh, baik dari aspek jasmani maupun rohani manusia. Jadi, intinya pendidikan itu adalah pendidikan manusia. Atau jika diperluas maka pendidikan hukum pun adalah sebagai pendidikan manusia. Oleh karenanya , hukum dan ahli hukum yang dihasilkan dari pendidikan hukum itu harus mampu mewujudkan sisi kemanusiaannya, bukan seperti mesin otomat. 

Ini berarti, persoalan kejujuran hidup harus diutamakan karena kejujuran itu dari sisi moral merupakan perintah hidup yang tidak dapat ditawar-tawar (imperative categories). Pemalsuan ijazah sangat bertolak belakang dari perintah yang tidak dapat ditawar ini. Maka, penghapusan pidana atas pelanggaraanya merupakan sikap yang patut diduga hendak mereduksi hakikat hidup manusia untuk bersikap hingga berbuat jujur. Apakah Anda mau aspek-aspek kehidupan kita dicemari dengan watak ketidakjujuran ini?

Oleh Prof. Dr. Suteki S. H. M. Hum
Pakar Hukum, Masyarakat, dan Filsafat Pancasila

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpaAgainst

Posting Komentar

0 Komentar