Pandemi Corona: Ancaman Gelombang PHK dan Implikasinya Terhadap Kebutuhan Hidup Pekerja

Virus Corona atau COVID-19 telah memukul dunia usaha. Dampak virus ini membuat para pelaku usaha merumahkan bahkan sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam keterangannya pada hari Rabu, 8 April 2020 mengatakan bahwa total jumlah perusahaan yang merumahkan pekerja dan PHK sebanyak 74.430 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 1.200.031 orang.

Sementara itu, Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan, 81 persen dari tenaga kerja global yang berjumlah 3,3 miliar, atau 2,67 miliar saat ini terkena dampak penutupan tempat kerja. 

Berdasarkan studi terbaru ILO, sebanyak 1,25 miliar pekerja yang berada di sektor paling terdampak tersebut berisiko terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengurangan upah serta jam kerja.

Pemerintah sendiri telah mengeluarkan kebijakan work from home (WFH) sebagai bentuk pencegahan meluasnya virus corona. Sayangnya, stimulus yang dilakukan pemerintah berupa kartu pra kerja khususnya bagi pekerja yang di PHK belum mampu menjangkau seluruh pekerja dan memenuhi kebutuhan pekerja selama terjadinya pandemi ini.

Dalam memperlakukan masalah pekerja, Islam memiliki cara yang berbeda. Islam menawarkan sistem solusi yang berkeadilan dan bermartabat. Sistem yang ditawarkan Islam adalah mengatur kepemilikan, mengatur cara bekerja dan menentukan pekerjaan, menetapkan standart gaji yang memuaskan kedua belah pihak, serta mengatur hak berserikat dan lain-lain.

A. Potensi gelombang PHK Akibat Pandemi Corona

Sebuah video viral di dunia maya, memperlihatkan puluhan karyawan departemen store Ramayana di Depok, Jawa Barat menangis. Dengan air mata bercucuran, mereka berpelukan satu sama lain, saling menguatkan di tengah kondisi yang tak terduga.

Manajemen Ramayana mengumumkan langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawannya. Gerai yang berlokasi di City Plaza Depok, tidak lagi beroperasi sejak 6 April 2020. 

Gelombang PHK juga dialami pegawai PT Indosat Ooredoo Tbk (ISAT). Sebelumnya pada Februari 2020, Indosat telah melakukan PHK gelombang pertama terhadap 677 karyawan tetap.

Kini, PHK kembali dilanjutkan, namun tak disebutkan jumlahnya. Gelombang PHK fase lanjutan telah dilakukan pada akhir Maret, kemudian akan berlanjut pada 30 April dan 30 Juni 2020.

Kabar itu diungkapkan oleh Presiden Serikat Pekerja Indosat, Roro Dwi Handayani melalui keterangan tertulisnya. Menurut Roro, PHK terbaru pada tanggal 31 Maret 2020 dilakukan secara paksa karena karyawan dipaksa menandatangani surat PHK. Apabila tidak mau tanda tangan, kata Roro, perusahaan siap mengajak berselisih hingga ke pengadilan.

Ancaman PHK bukan hanya dialami oleh karyawan Mall Ramayana dan Indosat tetapi juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Di Bali, sekitar 400 pekerja di-PHK, sedangkan 17.000 orang karyawan dirumahkan. Sedangkan di DKI Jakarta, 162.416 pekerja melapor dirumahkan dan di-PHK. 

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 7 April, sektor formal yang merumahkan dan melakukan PHK sebanyak 39.977 perusahaan dengan jumlah pekerja sebanyak 1.010.579 orang.

Rinciannya yakni pekerja formal dirumahkan sebanyak 873.090 pekerja dari 17.224 perusahaan dan di-PHK sebanyak 137.489 pekerja dari 22.753 perusahaan.

Sementara jumlah perusahaan dan tenaga kerja terdampak di sektor informal sebanyak 34.453 perusahaan dan jumlah pekerjanya sebanyak 189.452 orang.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengungkapkan bahwa total jumlah perusahaan yang merumahkan pekerja dan PHK sebanyak 74.430 perusahaan dengan jumlah pekerja sebanyak 1.200.031 orang.

Ancaman  PHK tak hanya membayangi para pekerja di Indonesia. Sejatinya, kondisi serupa juga terjadi di negara lain. 

Meski pandemi COVID-19 tak diketahui kapan akan berlalu, Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan, 81 persen dari tenaga kerja global yang berjumlah 3,3 miliar atau 2,67 miliar saat ini terkena dampak penutupan tempat kerja.

Direktur Jenderal ILO, Guy Ryder, dalam keterangan resminya mengatakan bahwa
para pekerja dan dunia usaha kini sedang menghadapi bencana, baik di perekonomian maju dan berkembang.

ILO memperkirakan, krisis virus corona pada kuartal II 2020 dapat mengurangi 6,7 persen jam kerja di tingkat global, atau setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu.

ILO memperkirakan, krisis virus corona pada kuartal II 2020 dapat mengurangi 6,7 persen jam kerja di tingkat global, atau setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu.

Bahkan menurut ILO, wabah virus corona merupakan krisis global terburuk sejak Perang Dunia II. "Ini merupakan ujian terbesar dalam kerja sama internasional selama lebih dari 75 tahun," kata Ryder.

Apa yang menyebabkan pekerja terancam PHK?

Wabah corona telah berdampak signifikan terhadap ekonomi global dan nasional. Tak ayal, kecemasan terhadap lahirnya krisis yang berujung pemecatan masif pun muncul di kalangan pekerja berbagai sektor.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tentu bukan hal yang ingin didengar atau bahkan dialami oleh setiap karyawan. Akan mengerikan rasanya, jika harus dipecat apalagi saat wabah melanda.

Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan pekerja terancam PHK :

1. Menurunnya ketersediaan bahan baku

Ketersediaan bahan baku menjadi faktor penyebab menurunnya produksi. Apalagi perusahaan yang selama ini membutuhkan bahan baku impor, seperti dari negara Cina atau negara lain yang saat ini terpapar wabah virus Corona. Tentu hal ini akan menjadi masalah bagi keberlangsungan produksi bagi perusahaan tersebut. 

Dengan menipisnya bahan baku, maka produksi akan turun. Akibatnya akan muncul peluang untuk mengurangi pekerja. Pengurangan ini bisa dalam bentuk merumahkan pekerja atau PHK.

Industri padat karya seperti tekstil, sepatu, garmen, makanan, minuman, komponen elektronik, komponen otomotif, dan keramik berpotensi untuk mengurangi karyawannya. Pengurangan karyawan bisa dalam bentuk mem-PHK pekerja outsourching atau merumahkan karyawan tetap sambil menunggu wabah reda.
 
2. Terhambatnya distribusi barang jadi ke customer

Banyaknya daerah yang menerapkan physical distancing menyebabkan pengiriman barang yang diproduksi perusahaan ke customer menjadi terhambat. Hal ini tentu menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk mengurangi produksi yang berakibat pada pengurangan jumlah karyawan. 

Di samping juga dari pihak customer ada yang membatalkan pesanan atau me-reschedule ulang pesanan sambil menunggu wabah selesai. Tentu hal ini akan berakibat pada penurunan produksi dan pengurangan tenaga kerja.

3. Melemahnya Nilai Tukar Rupiah 

Faktor ketiga adalah melemahnya rupiah terhadap dolar. Nilai tukar rupiah sempat melemah hingga 17 ribu per dolar. Jika situasi ini berlanjut, perusahaan padat karya dan padat modal akan terbebani biaya produksi tinggi. Terutama, perusahaan yang harus membeli bahan baku dari impor.

4. Menurunnya kunjungan Wisatawan

Faktor keempat adalah menurunnya kunjungan wisatawan ke Indonesia. Jumlah pengunjung hotel, restoran, tempat-tempat wisata, bandara, pelabuhan disebut sudah menurun drastis akibat wabah Covid-19. Tentu hal ini akan menjadi pukulan yang berat bagi Industri pariwisata. Dan ada kekhawatiran dalam waktu dekat akan terjadi PHK besar-besaran di industri pariwisata.

B. Antisipasi Pemerintah dalam menghadapi Ancaman PHK

Untuk menghindari PHK tersebut, Pemerintah melalui Kemnaker telah melakukan dialog dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dari berbagai sektor usaha dan dialog dengan Serikat Pekerja (SP) mengenai dampak COVID-19 serta antisipasi dan penanganannya.

Kemnaker juga memberikan pedoman mengenai perlindungan pekerja dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan COVID-19 melalui Surat Edaran (SE) Menaker No.M/3/HK.04/III/2020 tentang 
perlindungan pekerja dan kelangsungan usaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan COVID-19.

Langkah lainnya yakni melakukan koordinasi dengan Kadisnaker di provinsi seluruh Indonesia guna mengantisipasi dan mengatasi permasalahan ketenagakerjaan di daerah. Di antaranya dengan memberikan arahan dan pedoman baik secara lisan melalui dialog jarak jauh (teleconference) maupun lewat Surat Edaran. Serta, berkoordinasi terkait pendataan dan pemantauan perusahaan yang merumahkan pekerja atau melakukan PHK.

Ida Fauziyah mengatakan bahwa pihaknya juga melakukan percepatan pelaksanaan Kartu Pra Kerja dengan sasaran pekerja yang ter-PHK dan pekerja yang dirumahkan baik formal maupun informal.

Jadi, langkah-langkah antisipasi yang telah dilakukan pemerintah dalam mengatasi ancaman PHK antara lain:

1. Mendata Pekerja di-PHK atau dirumahkan sebagai imbas wabah Covid-19.

2. Menggelar dialog dengan kalangan pengusaha.

3. Mempercepat pelaksanaan kartu pra kerja.

Pemerintah akan membuka pendaftaran Kartu Prakerja 2020 secara online mulai minggu ini. Program ini ditujukan untuk mengurangi dampak ekonomi dari wabah virus corona (Covid-19).

Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja, Denni Purbasari, mengatakan program ini menyasar sekitar 5,6 juta peserta di tahun 2020. Pekerja formal maupun informal yang terdampak Covid-19 dapat mendaftarkan diri di laman resmi www. prakerja.go.id, mulai minggu kedua April 2020. 

Kartu Prakerja 2020 adalah program pengembangan kompetensi kerja yang ditujukan untuk pencari kerja, pekerja ter-PHK, atau pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi. 

Kuota 5,6 juta peserta bagi pencari kerja, pekerja yang di PHK atau pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi tentu sangat kecil dan tidak bisa mencakup seluruh peserta.

Menurut data BPS,  jumlah angkatan kerja pada Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang sedangkan penduduk yang bekerja sebanyak 129,36 juta orang. Artinya sekitar 6,82 juta orang belum mendapat pekerjaan. Belum lagi karyawan korban PHK per 7 April 2020 sekitar 1,2 juta. 

Jadi, kuota 5,6 juta orang diperebutkan 8 juta pencari kerja dan korban PHK tentu tidak mencukupi. Apalagi ini belum termasuk jumlah pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi. Artinya stimulus yang dilakukan pemerintah berupa kartu pra kerja belum mampu menjangkau seluruh pekerja yang menjadi sasaran program kartu pra-kerja tersebut.

C. Strategi Islam dalam mengatasi gelombang PHK di masa pandemi corona

Dalam kondisi dan situasi apapun, Islam menawarkan sistem solusi yang berkeadilan dan bermartabat. Sistem yang ditawarkan Islam adalah sistem per pekerjaan, yang di dalamnya mencakup hubungan majikan dengan buruh, dan konsep pemberian upah. 

Islam memberikan penghargaan tinggi terhadap pekerjaan, dan buruh yang bekerja serta mendapatkan penghasilan dengan tenaganya sendiri wajib dihormati. Karena dalam perspektif Islam, bekerja merupakan kewajiban mulia bagi setiap manusia agar dapat hidup layak dan terhormat. Bahkan kedudukan buruh dalam Islam menempati posisi terhormat.

Rasulullah saw pernah menjabat tangan seorang buruh yang bengkak karena kerja keras, lalu menciumnya dan berkata: “Inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari). 

Tolak ukur pekerjaan dalam Islam adalah kualitas dari hasil kerja tersebut, maka buruh yang baik adalah buruh yang meningkatkan kualitas kerjanya, sebagaimana firman Allah Swt: “Dan masing-masing orang memperoleh derajatnya dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. al-An’am: 132). 

Mengingat pentingnya kualitas kerja ini, Rasulullah saw menyatakan dalam satu hadis: “Sesungguhnya Allah senang bila salah seorang dari kamu meninggikan kualitas kerjanya.” (HR. Baihaqi)

Menurut Abdurrahman, problem perburuhan ini sebenarnya terjadi dipicu oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka.

Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.

Kaum kapitalis pun terpaksa melakukan sejumlah revisi terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja, dan tidak lagi menjadikan living cost terendah sebagai standar dalam penentuan gaji buruh. Maka, kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan yang bertujuan untuk melindungi buruh, memberikan hak kepada mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berserikat, hak membentuk serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jaminan berobat, dan sebagainya.

Jadi, masalah perburuhan yang terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem Kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan living cost terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh. 

Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara pekerja dan majikan dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum pekerja dan menghadapi provokasi kaum sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya sekadar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. 

1. Islam Mengharamkan Kebebasan Kepemilikan

Konsep kebebasan kepemilikan (hurriyah milkiyyah) tidak ada dalam Islam. Konsep ini juga ditentang oleh Islam. Solusinya, Islam mengajarkan konsep Ibahatu al-Milkiyyah, bukan Hurriyah Milkiyyah.

Dua konsep ini jelas berbeda. Jika konsep Hurriyah Milkiyyah ini membebaskan manusia untuk bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal dan haram, maka konsep Ibahatu al-Milkiyyah jelas tidak. Karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan status kepemilikan seseorang, apakah boleh atau tidak. Sebab, kepemilikan adalah bagian dari aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Setiap Muslim bisa saja memiliki, tetapi caranya harus terikat dengan cara yang ditentukan oleh syariah. Seperti berburu, menjadi broker, bekerja dan sebab kepemilikan lain yang dibolehkan oleh syariah.

Setelah harta berhasil dimiliki, Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa digunakan untuk mengembangkan harta tersebut, seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Karena itu, dalam pandangan Islam, tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk memiliki apa saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang harus terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. Jika apa yang hendak dia miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan cara yang juga dibenarkan oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya. Inilah konsep Ibahatu al-Milkiyyah.

Dengan demikian, konsep Ibahatu al-Milkiyyah ini jelas berbeda secara diametral dengan konsep Hurriyah Milkiyyah.

2. Islam Mengharamkan Kebebasan Bekerja

Begitu juga bekerja, Islam juga tidak mengenal konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal). Konsep ini juga ditentang oleh Islam. Islam hanya mengenal konsep Ibahatu al-‘Amal.

Sebagaimana konsep kebebasan kepemilikan, konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal) ini juga membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Orang boleh bekerja sebagai pelacur, mucikari, membuat khamer, termasuk menghalalkan segala cara. Semuanya bebas. Itulah konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal).

Ini berbeda dengan konsep Ibahatu al-‘Amal. Karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan boleh dan tidaknya pekerjaan tersebut dilakukan oleh seseorang. Bekerja adalah salah satu aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Tiap Muslim boleh bekerja, tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum syariah. Dia boleh bekerja sebagai buruh, berdagang, bertani, berkebun, tetapi ketika dia melakukan pekerjan tersebut harus terikat dengan hukum syariah. Karena itu, dia tidak boleh memproduksi khamer, melakukan jual beli babi, membudidayakan ganja, atau bekerja di perseroan saham, bank riba, kasino, dan sebagainya. Karena jelas hukum pekerjaan tersebut diharamkan oleh Islam.

Terkadang ada pekerjaan yang asalnya mubah, tetapi dilakukan dengan cara yang tidak benar. Contoh, samsarah (makelar). Dalam melakukan makelar, seorang broker harus terikat dengan ketentuan dan hukum tentang samsarah, termasuk tidak boleh melakukan samsarah ‘ala samsarah, sebagaimana salam kasus bisnis MLM.

Dengan demikian, dua faktor yang memicu terjadi masalah perburuhan tersebut telah berhasil dipecahkan oleh Islam, dengan mengharamkan konsep kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja. Sebaliknya, Islam memberikan solusi yang tepat dan tuntas, melalui konsep Ibahatu al-Milkiyyah dan Ibahatu al-‘Amal.

3. Standar Gaji Buruh

Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.

4. Hak Berserikat dan Serikat Pekerja

Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Mereka boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, diperbolehkannya hak berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para buruh tersebut membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda.

Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun, membentuk serikat pekerja yang mengurusi kesejahteraan buruh, dan sebagainya merupakan aktivitas ri’ayatu as-syu’un yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan ri’ayatu as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain kepada negara. Karena negaralah yang bertanggungjawab terhadap kewajiban ri’ayatu as-syu’un ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh.

Mengenai hak mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang mengikat, bukan akad suka rela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.

Tentang dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal sulam sistem Kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban majikan atau perusahaan.

Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem Kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi, sekadar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu, masalah perburuhan ini selalu muncul dan muncul, karena tidak pernah diselesaikan.

Konsep dan solusi Islam di atas benar-benar telah teruji, ketika diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal yang sama akan terulang kembali, jika kelak khilafah berdiri, dan Islam diterapkan.

Berdasarkan problem serta pembahasan di atas, berikut ada beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Faktor-faktor yang menyebabkan pekerja terancam PHK antara lain:

a. Menurunnya ketersediaan bahan baku.

b. Terhambatnya distribusi barang jadi ke customer.

c. Melemahnya nilai tukar rupiah.

d. Menurunnya kunjungan wisatawan.

2. Langkah-langkah antisipasi yang telah dilakukan pemerintah dalam mengatasi ancaman PHK antara lain:

a. Mendata pekerja di-PHK atau dirumahkan sebagai imbas dari wabah Covid-19.

b. Menggelar dialog dengan kalangan pengusaha.

c. Mempercepat pelaksanaan kartu pra kerja.

Namun sayangnya, langkah pemerintah  berupa program kartu pra kerja belum mampu menjangkau seluruh pekerja yang menjadi sasaran program kartu pra kerja tersebut.

3. Strategi Islam dalam mengatasi gelombang PHK di masa pandemi corona antara lain:

a. Islam Mengharamkan Kebebasan Kepemilikan

Tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk memiliki apa saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang harus terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. 

b. Islam Mengharamkan Kebebasan Bekerja

Bekerja adalah salah satu aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Tiap Muslim boleh bekerja, tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum syariah. 

c. Standar Gaji Buruh

Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. 

d. Hak Berserikat dan Serikat Pekerja

Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun, membentuk serikat pekerja yang mengurusi kesejahteraan buruh, dan sebagainya merupakan aktivitas ri’ayatu as-syu’un yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan ri’ayatu as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain kepada negara.

Wallahu a'lam.

Oleh: Achmad Mu'it
DOSOL UNIOL 4.0 DIPONOROGO

#LamRad
#LiveOpressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar