OMNIBUS LAW, TIRANI MINORITAS DAN SOLUSI ISLAM


SALAH satu peristiwa penting di Tanah Air yang cukup banyak menyita perhatian adalah pembahasan Omnibus Law. Omnibus Law adalah semacam UU ‘sapujagat’. Pasalnya, Omnibus Law menggabungkan beberapa peraturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum (UU).  Pemerintahan Presiden Jokowi mengidentifikasi sedikitnya ada 79 UU yang terdampak dari Omnibus Law.

Salah satunya, yang paling banyak memicu protes kaum buruh, adalah sektor ketenagakerjaan, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Di sektor ketenagakerjaan, Pemerintah berencana menghapus, mengubah dan menambah pasal terkait dengan UU Ketenagakerjaan (money.kompas.com, 18/02/2020). 
RUU Cilkaka ini tebalnya seperti kamus. Jumlah halamannya mencapai 1.028 lembar. Berisi 11 kluster pembahasan dan 1.200 pasal. Produk hukum ini merangkum sekitar 79 undang-undang yang sudah ada. 

Yang menjadi soal, banyak pengamat mensinyalir Omnibus Law tak lebih merupakan UU ‘pesanan’ dari para pengusaha atau para pemilik modal. Faktanya, Omnibus Law ini, oleh banyak pengamat, disinyalir banyak memberikan kemudahan kepada para pengusaha dan pemilik modal untuk lebih leluasa menguasai sumber-sumber kekayaan alam negeri ini. Sebaliknya, Omnibus Law ini tidak banyak berpihak pada kesejahteraan rakyat, termasuk para buruh. 

Misal, dengan dalih demi kemudahan investasi, ditengarai ada pasal-pasal dalam Omnibus Law yang menghapus sertifikasi halal dan perda syariah, penghapusan upah minimum, penghapusan aneka cuti (seperti cuti nikah, haid, melahirkan, ibadah dan cuti keluarga wafat), penghapusan izin lingkungan dan amdal, dll.

Lebih dari itu, Omnibus Law ini dituding memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada Presiden. Di antaranya, Presiden berwenang mengubah UU hanya melalui PP (Peraturan Pemerintah). Setelah ketahuan oleh publik, pasal tentang kewenangan Presiden tersebut diklaim hanya ‘salah ketik’. 

Namun demikian, hal itu tidak menutupi kecurigaan bahwa melalui Omnibus Law ini ke depan Presiden akan makin otoriter. Apalagi pembahasan Omnibus Law yang menentukan nasib ratusan juta rakyat negeri ini terkesan diam-diam dan dirahasiakan oleh Pemerintah. Tidak melibatkan publik sama sekali (Buletin Kaffah, No. 130, 05 Rajab, 1441 H-28 Februari 2020 M).

Apa Itu Omnibus Law?

Setidaknya sudah ada dua judul RUU yang disebut-sebut sebagai Omnibus Law: RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dan RUU Perpajakan. Pertanyaannya: Apa itu Omnibus Law?

Kata omnibus diambil dari bahasa Latin yang artinya “for everything”. Black Law Dictionary yang menjadi rujukan definisi istilah hukum di Barat juga sudah menjelaskan apa itu Omnibus Law. Intinya, konsep ini ibarat pepatah: sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Satu regulasi baru dibentuk sekaligus menggantikan lebih dari satu regulasi lain yang sudah berlaku. 

Konsep ini bisa saja hanya menggantikan beberapa pasal di satu regulasi dan saat bersamaan mencabut seluruh isi regulasi lain. Implementasi konsep Omnibus Law dalam peraturan perundang-undangan ini lebih mengarah pada tradisi Anglo-Saxon Common Law. Beberapa negara seperti Amerika, Kanada, Irlandia, dan Suriname disebut telah menggunakan pendekatan omnibus law atau omnibus bill. Misalnya di Irlandia, tahun 2008, telah disahkan sebuah undang-undang yang mencabut kurang lebih 3.225 undang-undang.
Menurut Ahmad Redi, dosen Fakultas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, salah satu keunggulan metode Omnibus Law adalah kepraktisan untuk mengoreksi banyak regulasi bermasalah. Pendekatan Omnibus Law juga bisa menjadi solusi atas tumpang-tindih regulasi di Indonesia (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e2c1e4de971a/menelusuri-asal-usul-konsep-omnibus-law/).
 
Latar Belakang

Birokrasi Indonesia terus mendapat sorotan dunia. Indonesia dari waktu ke waktu terkenal dengan tingkat korupsi yang tinggi. Pada tahun 1998, Transparansi Internasional, sebuah organisasi internasional anti korupsi yang bermarkas di Berlin Jerman, telah melaporkan temuannya bahwa Indonesia merupakan negara terkorup keenam di dunia.

 Pada tahun 2001, Transparansi Internasional kembali melaporkan temuannya: Indonesia merupakan negara yang terkorup keempat di muka bumi. 
 Lalu pada tahun 2002, hasil survei Political and Economic Risk Consultancy menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. 

Birokrasi yang korup mempunyai dampak negatif yang sangat luas, bukan saja merusak birokrasi itu sendiri, tetapi juga menjadi sebab dari tidak efisiennya sektor bisnis, high cost economy dan merendahkan minat untuk berinvestasi. 
Barangkali dengan latar belakang seperti itulah Pemerintah berusaha untuk menyederhanakan birokrasi. Salah satunya dengan menerbitkan Omnibus Law yang akan memangkas banyak peraturan, termasuk UU, yang dituding tidak efisien dan berdampak negatif terhadap sektor ekonomi (baca: investasi, baik swasta maupun asing).  
 
Motif di Balik Omnibus Law

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) adalah usulan prioritas dari Pemerintahan Joko Widodo di periode kedua. Dia hendak memangkas dan menyederhanakan peraturan guna menarik investasi asing. Karena itu di hadapan para pengusaha asing di Australia baru-baru ini, dalam sambutannya di forum "Indonesia-Australia Business Roundtable" (Canberra, Senin, 10 Februari 2020), 

Jokowi menyatakan, “Omnibus Law akan menyederhanakan banyak regulasi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif." 

Pemerintahan Jokowi pun memutuskan untuk menyatukan semua aturan terkait investasi ke dalam RUU Omnibus Law. Terindikasi ada kurang lebih 79 UU dan 1.229 pasal yang terdampak Omnibus Law Cilaka. Angka ini masih mungkin berubah sesuai dengan hasil pembahasan bersama Kementerian dan Instansi terkait.

Menurut Pemerintah ada tiga manfaat penerapan Omnibus Law. Pertama, menghilangkan tumpang-tindih antar peraturan perundang-undangan. Kedua, efisiensi proses perubahan atau pencabutan peraturan perundang-undangan. Ketiga, menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Substansi Omnibus Law Cilaka telah dibahas secara intensif dengan 31 Kementerian/Lembaga terkait, dan mencakup 11 cluster, yaitu: Penyederhanaan Perizinan; Persyaratan Investasi; Ketenagakerjaan; Kemudahan, Pemberdayaan dan Perlindungan UMK-M; Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan Inovasi; Administrasi Pemerintahan; Pengenaan Sanksi; Pengadaan Lahan, Investasi dan Proyek Pemerintah serta Kawasan Ekonomi (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200220133443-32-476465/dpr-banyak-kepentingan-bertabrakan-di-ruu-omnibus-law).
 
Kritik Atas Omnibus Law Tidak “Nyambung”.

Ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri terang-terangan menolak Rancangan Undang-Undang atau RUU Cilaka yang diusulkan Pemerintah. Faisal menganggap landasan awal pembentukan RUU Omnibus Law, yaitu percepatan investasi, sebagai hal yang keliru. Pasalnya, kata Faisal, kinerja investasi di Indonesia sebenarnya tidak begitu buruk. Ia membenarkan, investasi di Indonesia kerap jeblok, namun hanya pada tahun-tahun Pemilu. Rinciannya: minus 18,2 persen pada Pemilu 1999, minus 45,49 persen pada 2004, 3,29 pada 2009, 4,45 persen pada 2014 dan bertahan 4,45 pada 2019. “Karena barangkali (para investor) nunggu-nunggu.”

Namun, jika pertumbuhan investasi tahun Pemilu dikeluarkan, kata dia, pertumbuhan investasi Indonesia justru termasuk yang tertinggi. Dari 26 negara emerging market, Indonesia menempati urutan kedelapan. Hanya India dan Filipina saja, dua negara kompetitor, yang lebih tinggi dari Indonesia. “Jadi kita tidak buruk,” ujarnya.
Selain itu, kata Faisal, Pemerintah melihat kinerja investasi berdasarkan indeks daya saing dan kemudahan bisnis yang diluncurkan World Economic Forum (WEF). Padahal, WEF menyebut masalah terbesar investasi di Indonesia adalah korupsi. “Tapi justru KPK yang dilemahkan,” sindir Faisal. 

Masalah kedua adalah inefisiensi birokrasi. Faisal pun menyinggung struktur kementerian di Indonesia yang semakin gemuk. Saat ini, Indonesia memiliki 34 kementerian. Bagi Faisal, jumlah penduduk dan luas wilayah tidak bisa dijadikan alasan. Sebab, Cina yang lebih besar dari Indonesia hanya memiliki 17 kementerian (https://bisnis.tempo.co/read/1313094/kritik-keras-omnibus-law-faisal-basri-jauh-panggang-dari-api).

Ancam kebebasan pers.

Sejak 12 Februari 2020, Pemerintah telah menyerahkan draf RUU Cilaka ini ke DPR. Empat hari kemudian, empat organisasi pers yaitu AJI, IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Pers langsung menolak campur tangan Pemerintah pada pers lewat RUU ini.

Bagi AJI, RUU Omnibus Law itu berusaha mengembalikan kontrol Pemerintah terhadap pers seperti pada masa Orde Baru. Salah satunya dengan tambahan satu pasal mengenai pengenaan sanksi ke perusahaan pers lewat Peraturan Pemerintah (PP). Pasal ini tidak ada dalam UU Pers saat ini. Selain intervensi lewat PP, RUU Cilaka itu menambah denda bagi perusahaan pers yang melanggar, dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar.
 
AJI juga melihat ada cacat prosedur dalam pembentukan UU ini. Para jurnalis, yang juga merupakan buruh, ikut terancam dengan berbagai perubahan aturan pesangon dan lain-lain (https://nasional.tempo.co/read/1313111/tolak-omnibus-law-aji-pemerintah-bisa-kontrol-pers-seperti-orba).

Bentuk penyelundupan hukum.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, dalam konferensi pers di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, (Kamis, 27 Februari 2020), menegaskan bahwa RUU Cilaka ini merupakan bentuk penyelundupan hukum. 

Sebab, draft RUU Cilaka telah ada sejak November 2019. Padahal sampai Januari 2020, naskah akademik untuk RUU ini masih direvisi dan belum rampung. “Jadi naskah akademik ini dibuat-buat untuk memenuhi kebutuhan draft,” kata dia.
Ia kemudian mencontohkan kasus UU KPK yang saat ini tengah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam persidangan, kata dia, terungkap fakta bahwa UU kontroversi yang disahkan DPR tahun 2019 itu menggunakan naskah akademik tahun 2011. Selain itu keberadaan Dewan Pengawas (Dewas) juga tidak ada naskah akademiknya  (https://bisnis.tempo.co/read/1313056/omnibus-law-dinilai-ancam-demokrasi-dan-kebebasan-masyarakat).

Mengancam buruh.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut isi Omnibus Law RUU Cilaka, khususnya dalam bab ketenagakerjaan, jelas-jelas merugikan pekerja. "Memperdalam eksploitasinya (pekerja). Isinya jelas-jelas merugikan," kata Peneliti Politik LIPI Fathimah Fildzah Izzati di Jakarta, Kamis (27/2/2020). 
Kata Fildzah, RUU Cilaka merugikan karena secara eksplisit menunjukkan liberalisasi ekonomi sebab adanya deregulasi yang mengurangi hak-hak dasar buruh. Misalnya seperti penghilangan upah lembur di sektor tertentu dan penghilangan pembayaran upah saat cuti bagi pegawai wanita, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan beribadah. 

Lebih lanjut Fildzah mengungkap, Omnibus Law bisa saja membuat pengusaha melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sewenang-wenang mengingat prinsip RUU Cilaka adalah easy firing dan easy hiring dengan dalih memudahkan masuknya investasi. 

Bahkan PHK sewenang-wenang bisa dilakukan akibat kecelakaan kerja yang dialami buruh (Lihat: Pasal 154 A). "Seharusnya kalau buruh mengalami kecelakaan kerja jangan di PHK. Jadi ini konsekuensi dari liberalisasi ekonomi, juga di dalamnya bisa saja relokasi produksi ke wilayah dengan upah yang murah, kerusakan alam, dan sebagainya," pungkasnya (https://money.kompas.com/read/2020/02/27/132248226/peneliti-omnibus-law-cipta-kerja-rugikan-pekerja).

Kelompok Serikat Pekerja paling keras menyuarakan penolakannya. Mereka berpendapat pasal-pasal dalam aturan itu hanya menguntungkan pengusaha, tapi tidak melindungi buruh.  “Bicara investasi tapi malah mereduksi kesejahteraan buruh,” ucap Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal beberapa waktu lalu. 

Para petani pun menyuarakan kritiknya. RUU Cilaka, menurut mereka, berbahaya untuk sektor pertanian karena menyetarakan produk pangan lokal dan impor. “Itu sangat berbahaya. Ibarat tinju, pertandingannya tidak seimbang,” kata Ketua Umum Perhimpunan Tani Indonesia Hermanto Siregar (https://katadata.co.id/telaah/2020/02/27/catatan-merah-pasal-pasal-omnibus-law-cipta-kerja).

Mengancam dunia pendidikan.

RUU Cilaka salah satunya membuka keran sekolah asing di Indonesia. "Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," demikian bunyi Pasal 432 ayat 1 RUU Cilaka yang didapat detikcom, Minggu (19/1/2020).
Saat ini, kampus di Indonesia diatur oleh UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Dalam UU ini, kampus asing di Indonesia harus mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia. Namun dalam Omnibus Law, hal itu tidak diatur (https://news.detik.com/berita/d-4865267/omnibus-law-permudah-sekolahkampus-asing-tak-wajibkan-bahasa-indonesia).

RUU Cilaka di ranah pendidikan juga berpotensi melanggengkan praktik pemalsuan ijazah, sertifikat dan gelar. Hal itu dimungkinkan karena dalam draft Omnibus Law RUU Cilaka, terdapat tiga pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang akan dihapus. Ketiga pasal itu antara lain: 67, 68 dan 69. 

Pasal 67 yang dihapus, misalnya, terdiri dari empat ayat, yaitu: “(1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” “(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” “(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” “(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
 
Semua pasal/ayat itu dihapus. Itu artinya ancaman pidana kepada orang, organisasi dan penyelengara pendidikan yang memberikan ijazah dan sertifikat palsu hilang. Ancaman penggunaan gelar akademik tanpa izin juga hilang. Lembaga pendidikan yang melakukan tindak penipuan dan pidana juga hilang ancaman pidananya. Konsekuensi dari penghapusan pasal tersebut adalah orang yang memalsukan dan membantu pemalsuan ijazah, sertifikat, gelar akademik dan lainnya tidak diancam pidana lagi. 
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengkritik keras penghapusan pasal-pasal dalam UU Sisdiknas oleh RUU Cilaka. Ia menilai RUU sapu jagat itu seperti dibajak oleh pihak-pihak tertentu di ranah pendidikan. “Ini aturan ngawur. Omnibus Law RUU Cilaka telah dibajak oleh penjahat-penjahat pendidikan," kata Ubaid saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (19/2/2020). 

Kritik senada dilontarkan Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim. Ia mengatakan penghapusan pasal-pasal tersebut menjadi preseden buruk yang menandakan kemunduran di dunia pendidikan. Dengan adanya Omnibus Law RUU Cilaka, kata Satriwan, seolah-olah cara apa pun dihalalkan demi tujuan lapangan kerja. “Padahal dunia sekolah atau dunia pendidikan itu tujuannya untuk menyiapkan karakter anak bangsa yang baik, bukan menciptakan robot-robot pekerja,” kata dia (https://tirto.id/ruu-cilaka-di-ranah-pendidikan-pemalsu-ijazah-gelar-tak-dipidana-eApv).

Repon Pemerintah

Protes boleh berdatangan. Namun, pejabat Pemerintah berulang mengklaim RUU Cilaka ini disusun untuk kepentingan rakyat. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, meyakinkan bahwa tidak mungkin Pemerintah ingin membuat rakyat sengsara. "Tidak mungkin kita membuat peraturan undang-undang yang akan menyakiti rakyat kita apakah pengusaha kecil, menengah dan besar. Itu dijamin pasti tidak. Apalagi dengan tipe pak Jokowi, yang orang turun ke lapangan, yang asalnya juga dari rakyat kecil," ujar Luhut, akhir Januari 2020 lalu (https://bisnis.tempo.co/read/1313056/omnibus-law-dinilai-ancam-demokrasi-dan-kebebasan-masyarakat).

    Tentu saja ocehan Luhut bisa dipastikan hoax. Sama dengan janji-janji Jokowi selama ini. Tidak ada realisasi sama sekali. Faktanya, meski diklaim berasal dari rakyat kecil, banyak kebijakan Jokowi selama ini justru menyiksa dan membuat rakyat kecil menderita. 

Akar Persoalan: Tirani Minoritas dalam Sistem Demokrasi

Dari paparan di atas, boleh jadi benar apa yang disinyalir banyak pengamat, bahwa Omnibus Law lebih mencerminkan kehendak pengusaha dan para pemilik modal. Bahkan boleh jadi Omnibus Law merupakan ‘pesanan’ para pengusaha dan pemilik modal. Jika benar demikian, jelas hal ini hanya membenarkan pengakuan Ketua MPR-RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), baru-baru ini. 

Intinya dia menyebut bahwa Indonesia sudah lama dikuasai oleh para pemilik modal (cukong). Ia menyebut pemodal cukup merogoh ongkos Rp 1 Triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia. 

Menurut Bamsoet, nominal itu berdasarkan pengalamannya selama berkiprah di dunia politik di Indonesia. “Semahal-mahalnya Rp 1 Triliun sudah bisa menguasai partai politik. Ini pengalaman. Boleh dibantah atau tidak, tapi inilah kenyataan sistem yang masih dipertahankan,” ungkapnya, Senin (17/2) di Jakarta.

Ia pun menerangkan perselingkuhan penguasa dengan pemilik modal bisa saja mewakili kepentingan asing. Bahkan yang lebih parah, pemilik modal melalui orang-orangnya bisa mempengaruhi kebijakan partai politik. “Jika partai politik dikuasai maka dia akan menguasai Parlemen. Jika dia kuasai Parlemen maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumberdaya alam kita. Dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan walikota, karena sistem yang kita punya,” tambahnya.

Menurut Bamsoet pula, perselingkuhan penguasa dengan pemilik modal dan kepentingan asing membuat distribusi keadilan sosial maupun ekonomi menjadi jomplang. Akibatnya, hanya segelintir orang yang menikmati kue pembangunan, sedangkan yang lain terpinggirkan (Mediaindonesia.com, 17/02/2020).

Dalam bahasa yang lebih lugas, Bamsoet seolah ingin mengatakan parpol dan para pejabat kita sesungguhnya tidak lebih hanya sekadar proxy, boneka dari para pemilik modal. Mereka adalah orang-orang yang dimodali untuk menjalankan agenda kepentingan para pemilik modal. 

Urusannya tidak jauh-jauh dari penguasaan sumberdaya alam dan ekonomi melalui politik kekuasaan. Salah satunya melalui pembuatan Omnibus Law. Wajar jika Omnibus Law lebih banyak berpihak kepada para pemilik modal ketimbang pada kepentingan rakyat banyak.

Dengan demkian, jelas bahwa sistem demokrasi selama ini hanya melahirkan oligarkhi serta perselingkuhan penguasa dan pengusaha (para pemilik modal). Dampaknya, demokrasi sesungguhnya hanya melahirkan tirani minoritas. Mereka adalah sekelompok kecil penguasa dan para pemilik modal tersebut. Merekalah sejatinya yang memaksakan pemberlakuan UU dan kebijakan  semata-mata untuk memenuhi ambisi dan kepentingan mereka. Bukan demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Jauh sebelum Omnibus Law digagas, sudah banyak UU yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR yang merugikan rakyat banyak serta hanya menguntungkan segelintir penguasa dan pemilik modal. Sebut, misalnya, UU Migas, UU Minerba, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll. Melalui UU semacam inilah, para pemilik modal swasta dan asing bisa leluasa menguasai kekayaan alam negeri ini yang notabene milik rakyat, seperti minyak bumi, gas, emas, perak, hutan, lahan perkebunan, dll.

Kondisi semacam ini bukanlah anomali dalam sistem demokrasi, tetapi justru menunjukkan watak asli sistem demokrasi. Tidak lain karena demokrasi nyaris selalu didominasi oleh kekuatan para pemilik modal. Mereka inilah yang selalu sukses ‘mencuri’ kedaulatan rakyat atas nama demokrasi. Itulah yang terjadi di Amerika Serikat sendiri sebagai negara kampiun demokrasi. Ralph Nader, pada tahun 1972 menerbitkan buku Who Really Runs Congress? 

Buku ini menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi Kongres. Akibatnya, kedaulatan rakyat sesungguhnya hanya jargon kosong belaka. Sebab, yang berdaulat pada akhirnya selalu para pemilik modal.

Memang, secara teoretis, berdasarkan kesepakatan umum, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh mantan Presiden AS Abraham Lincoln. Karena itu gagasan dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Inilah sebetulnya inti sekaligus subtansi demokrasi secara teoretis.

Namun demikian, itu hanya dalam tataran teori. Dalam tataran praktiknya tidaklah demikian. Dalam negara demokrasi, yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki. Sekelompok penguasa saling bekerja-sama untuk menentukan kebijakan politik sosial dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya. Kedaulatan rakyat sebagai ‘ruh’ demokrasi dalam praktiknya selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal atau oleh elit penguasa yang didukung oleh para pemodal. Uniknya, hal ini merupakan gejala atau fenomena umum di negara-negara penganut demokrasi, tanpa kecuali. Kenyataan ini tentu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah anomali demokrasi, karena terjadi di Amerika dan Eropa sebagai kampiun demokrasi, ataupun di Indonesia yang pernah didaulat sebagai ‘jawara demokrasi’.

Karena itu Aristoteles menyebut pemberlakuan demokrasi sebagai suatu kemerosotan. Alasannya adalah ketidakmungkinan orang banyak untuk memerintah. Bahkan Plato, pemikir Yunani yang juga diagung-agungkan oleh Barat, melancarkan kritik terhadap demokrasi. Katanya, kebanyakan orang adalah bodoh, atau jahat, atau kedua-duanya, dan cenderung berpihak kepada diri sendiri. 

Jika orang banyak ini dituruti maka muncullah kekuasaan yang bertumpu pada ketiranian dan teror. Karena itu pula diyakini, hanya segelintir orang yang diuntungkan dari sistem pemerintahan yang demokratis ini.  Bukan rakyat kebanyakan. Kebanyakan rakyat justru hidup di bawah jurang kemiskinan (Arief B. Iskandar, Demokrasi atau Kleptokrasi? [Ebook], 2019). 

Solusi: Kembali ke Sistem Pemerintahan dan Administrasi Islam

Dengan melihat akar persoalan di atas, jelas, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus membuang sistem demokrasi. Kita wajib kembali pada solusi Islam. Solusi Islam tentu ada pada syariah Islam, yakni pada sistem pemerintahan dan administrasi Islam. Itulah sistem Khilafah. 

Tentu Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Saat Khilafah tegak, Khilafah akan menghapus berbagai realitas buruk peninggalan sistem sekular dalam segala bentuknya di segala bidang; politik ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. 
Untuk mengatasi berbagai kerusakan akibat sistem lama, Khilafah akan mempersiapkan berbagai peraturan (termasuk penataan lembaganya) baik melalui undang-undang syar’i (qânûn syar’i) maupun undang-undang administratif (qânûn idari) dalam bidang-bidang yang ditangani seperti undang-undang pendidikan, undang-undang media massa, undang-undang birokrasi, undang-undang kepemilikan umum, undang-undang kemiliteran dan kepolisian, undang-undang dinar dan dirham, dan sebagainya.

Di antara konsekuensi berdirinya Khilafah, sebagai contoh, Khilafah akan melakukan banyak hal antara lain:
Mengubah sistem pendidikan sekular menjadi sistem pendidikan islami.
Menata ulang media massa agar sesuai dengan Islam dari segi sumberdaya manusia, kelembagaan, substansi/materi dsb.

Transformasi sistem uang kertas (fiat money) menjadi sistem mata uang dinar dan dirham berbasis emas dan perak.
Memperbaiki sistem birokrasi yang korup menjadi sistem birokrasi yang bersih dan profesional.

Menata ulang kepemilikan umum (seperti listrik, air, dan berbagai tambang) dan distribusinya secara adil menurut Islam.
Mereorganisasi dan merestrukturisasi lembaga negara agar lebih efisien.

Khilafah melayani umat dan menjaga SDA.
Khilafah akan melindungi setiap jengkal tanah Muslim dan seluruh kekayaan alam mereka, menerapkan sistem syariah dan menerapkan sistem perlindungan bagi kehidupan Muslim dan non-Muslim yang hidup di dalamnya. 

Khilafah akan menjaga sumberdaya alam (SDA) milik umat. Barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas dilarang untuk dikuasai oleh individu/swasta/asing. Barang tambang tersebut, sebagai milik umat, akan dikelola oleh Khilafah dan hasilnya masuk dalam kas Baitul Mal. Rasulullah bersabda, “Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api.” (HR Abu Dawud).

Penguasaan SDA oleh Khilafah tidak hanya akan berkontribusi pada keamananan penyedian komoditas primer untuk keperluan pertahanan dan perekonomian Khilafah, tetapi juga menjadi sumber pemasukan negara yang melimpah pada pos harta milik umum. Karena itu Khilafah tidak akan membiarkan kekayaan umat dikuasai oleh negara-negara penjajah baik secara langsung maupun melalui korporasi-korporasi mereka. Ini untuk mengembalikan kedaulatan umat atas kekayaan SDA yang mereka miliki.

Transformasi pendidikan dan penyiapan SDM.

Visi politik pendidikan Islam akan membentuk sebuah sistem pendidikan teladan. Sistem ini akan membangkitkan generasi muda serta membangun sebuah umat dan negara yang mewujudkan kualitas untuk memimpin umat manusia dari kegelapan ke cahaya seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Khilafah akan membangun sistem pendidikan yang luar biasa yang memungkinkan negara memenuhi tujuan mulia ini. Khilafah akan memanfaatkan  keterampilan dan pemikiran yang luar biasa dari generasi terbaik umat ini untuk pengembangan negara. Dengan itu kemampuan berharga mereka tidak disia-siakan atau dibajak oleh pemerintah asing.

Penciptaan lapangan kerja secara luas.
Ada dua kebijakan yang dilakukan Negara Khilafah untuk pengembangan ekonomi serta peningkatan partisipasi kerja dan produksi. 

Pertama: Mendorong masyarakat memulai aktivitas ekonomi tanpa dibiayai oleh Baitul Mal (Kas Keuangan Negara). Peran Negara Khilafah adalah membangun iklim usaha yang kondusif dengan menerapkan sistem ekonomi Islam secara komprehensif. Beberapa mekanisme inti yang akan dilakukan Negara Khilafah adalah; menata ulang hukum-hukum kepemilikan, pengelolaan  dan pengembangan kepemilikan, serta distribusi harta di tengah masyarakat; menjamin pelaksanaan mekanisme pasar yang sesuai syariah; menghilangkan berbagai distorsi yang menghambat (seperti penimbunan, kanzul-mal, riba, monopoli, penipuan); menyediakan informasi ekonomi dan pasar; serta membuka akses informasi untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar; mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan dan profesional; menghilangkan berbagai pungutan, retribusi, cukai dan pajak yang bersifat tetap; menghilangkan sektor non-riil sehingga produksi barang dan jasa di sektor riil akan meningkat.

Kedua: Mengeluarkan dana Baitul Mal (Kas Negara), dalam bentuk pemberian subsidi tunai tanpa kompensasi bagi orang yang tidak mampu. Subsidi negara untuk kaum fuqara dan masakin (orang-orang yang tidak mampu) bukan sekadar dibagi rata dan diberikan dalam jumlah yang kecil-kecil, tetapi juga mereka dijamin oleh Pemerintah selama satu tahun agar tidak sampai kekurangan. Subsidi diberikan dalam jumlah yang cukup besar untuk memulai bisnis, tidak hanya untuk dikonsumsi saja. Dengan demikian fungsinya betul-betul untuk mengangkat seseorang dari garis kemiskinan. 
Keunggulan kompetitif dari beberapa kebijakan Negara Khilafah yang berdampak pada luasnya lapangan pekerjaan dan terciptanya iklim usaha yang produktif antara lain kebijakan pembangunan infrastruktur secara mandiri, mekanisme rate yang khas pada kharaj dan zakat, serta aktivitas penyebaran Islam yang juga menimbulkan dampak ekonomis.

Pembangunan infrastruktur.
Infrastruktur merupakan hal yang sangat penting dan mendapat perhatian besar. Negara Khilafah akan membelanjakan anggarannya untuk investasi infrastruktur publik dan menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat mau berinvestasi untuk hal-hal yang produktif. 

Pada zaman Rasulullah saw., beliau membangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya dan pasar. Pembangunan infrastruktur ini dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau mendirikan dua kota dagang besar, yaitu Basrah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Romawi) dan Kuffah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia). Khalifah Umar thab ra. juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah. Dengan begitu orang yang membawa gandum ke Kairo tidak perlu lagi naik unta karena mereka bisa menyeberang dari Sinai langsung menuju Laut Merah. Khalifah Umar ra. juga menginstruksikan kepada gubernurnya di Mesir untuk membelanjakan minimal 1/3 dari pengeluarannya untuk infrastruktur.

Bandingkan dengan kasus rumit antrian panjang truk pengangkut komoditas pertanian di jembatan penyeberangan Selat Sunda Merak-Bakauheni, yang terjadi berulang kali.  Kalaulah alasannya adalah karena kurangnya alokasi dana dalam APBN untuk membangun infrastruktur, berarti memang diperlukan perombakan total dalam format sistem keuangan Indonesia. Dengan demikian alokasi pendapatan negara tidak akan terserap habis hanya untuk membayar utang ke negara luar.

Dampak ekonomi dari penyebaran Islam.
Dampak ekonomi dari penyebaran Islam adalah meningkatkan Agregat Demand/AD (Permintaan Rata-Rata) sekaligus juga meningkatkan Agregat Supply/AS (Penawaran Rata-Rata). Sebagai gambaran, ketika hijrah dilakukan maka jumlah penduduk Madinah betambah sangat signifikan karena adanya orang Muhajirin dari Makkah. Pada saat yang sama, banyak tanah yang tidak produktif yang tidak dapat dikerjakan oleh orang Anshar menjadi dapat dimanfaatkan dan diolah oleh orang-orang Muhajirin.
Dengan berbagai mekanisme tersebut di atas, tersedia lapangan kerja yang sangat luas bagi setiap laki-laki penduduk Negara Khilafah untuk bisa menafkahi dirinya sendiri dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.

Sistem Administrasi dan Birokasi Negara Khilafah

Untuk menjalankan semua itu, Khilafah menjalankan sistem birokrasi dan administrasi yang khas, yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), sur’ah fi injaz (cepat selesai) dan kifayah fi man yatawalla al-a’mal (profesional pelaksananya) (Muhammad Husain ‘Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1990, hlm. 83).
Dengan ketiga ciri khas tersebut, semua urusan rakyat (termasuk para pengusaha) bisa tertangani dan terselesaikan dengan baik dan cepat, juga bisa mencegah korupsi dan suap di setiap lini. Sebab, ciri khas orang yang membutuhkan pelayanan biasanya ingin cepat diselesaikan. Jika sistem birokrasinya bertele-tele, ini akan membuka pintu terjadinya suap dan korupsi.

Selain ketiga ciri di atas, birokrasi dan administrasi negara juga tidak bersifat sentralistik, tetapi desentralistik. Di tiap kota kecil atau besar ada biro administrasi, yang memungkinkan penduduk setempat menyelesaikan urusan administrasi cukup di tempatnya, tidak perlu harus merujuk ke pusat.

Menejemennya pun berkembang mengikuti perkembangan sarana dan prasarana, atau teknologi mutakhir. Tidak hanya itu, biro-biro ini juga dikepalai oleh ahli di bidangnya, serta memiliki sifat amanah, ikhlas, bertakwa kepada Allah dan cakap. (Muhammad Husain ‘Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1990, hlm. 83).

Kesimpulan

    Dari paparan di atas, Omnibus Law paling tidak bersinggungan dengan dua aspek: (1) peraturan perundangan-undangan (qanun tasyri’i); (2) peraturan administrasi (qanun idari).
    
Pertama: Dari aspek tasyri’ (UU), jelas Omnibus Law amat bermasalah karena lebih mementingkan kepentingan segelintir orang (pengusaha/para pemilik modal).  Dengan Omnibus Law mereka, misalnya, lebih leluasa lagi untuk menguasai sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat yang jelas haram dikuasai oleh segelintir orang (swasta dan asing). Padahal dengan ragam UU yang ada saja—seperti UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, dll—mereka sudah sangat power full menguasai perekonomian Negara. Di sisi lain, rakyat kebanyakan, termasuk para buruh, banyak dirugikan.

Kedua: Dari aspek idari (peraturan administrasi), selama tujuannya untuk efisiensi (memangkas birokasi), tentu saja dibolehkan, bahkan diharuskan. Sebab itulah juga yang dikehendaki oleh Islam. Syaratnya satu: tidak melanggar syariah (peraturan/UU tasyri). Sayang, faktanya tidak demikian. Sebagaimana dijelaskan di atas, Omnibus Law justru bermasalah karena banyak melanggar hukum-hukum syariah. Wallahu a’lam bi ash-shawab. []


Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma'had An-Nahdhah al-Islamiyah)

Sumber: t.me/ariefbiskandar

Posting Komentar

0 Komentar