MEMBONGKAR KEGAGALAN SISTEM KESEHATAN ALA KAPITALISME DALAM MENGHADAPI PANDEMI CORONA


Sistem kesehatan setiap negara benar-benar diuji dengan datangnya wabah corona ini. Tidak ada satupun negara yang bisa menghindarinya. Ada 200-an negara yang terdampak. Tidak saja negara adidaya, negara-nagera yang barangkali tidak pernah tersebut namanya di telinga kita seperti Aruba, Barbados, French Guiana, Bahamas, Sint Marteen dan masih banyak lagi juga diuji dengan datangnya corona. Tak terkecuali juga dialami oleh Indonesia yang yakin awalnya bisa menangkal corona karena warganya rajin minum jamu.

Organisasi kesehatan dunia atau WHO (World Health Organization) mengeluarkan pernyataan yang sangat menohok perihal ini. WHO menyatakan bahwa virus corona yang melanda dunia saat ini menunjukkan buruknya sistem kesehatan yang ada di berbagai negara di dunia. Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam situs WHO (31/3/2020) menyatakan, “Virus corona atau covid 19 memperlihatkan betapa rapuhnya sistem dan layanan kesehatan dunia, hingga memaksa negara-negara untuk mengambil pilihan yang sulit untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya”.

Lebih lanjut WHO menilai bahwa wabah virus corona telah memperlihatkan betapa buruknya sistem kesehatan dunia. Indikator buruknya penilaian tampak dari kelangkaan alat tes, masker hingga APD (Alat pelindung Diri). Banyak tenaga medis yang bekerja dengan alat terbatas, pasien yang tidak kebagian ventilator, serta petugas medis yang kelelahan terus menerus bekerja dan terpapar oleh virus, hingga banyak yang meninggal. Padahan, Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan bahwa pertahanan terbaik menghadapi wabah apapun adalah sistem kesehatan yang kuat dan bagus. 

Beberapa laporan mengkonfirmasi fakta yang mencengangkan perihal kewalahannya sistem kesehatan beberapa negara. Detik.com (06/04) dalam laman beritanya menginformasikan bahwa negara sekelas USA saja kewalahan dalam menghadapi wabah ini. Dalam laman berita tersebut dinyatakan bahwa New York yang menjadi pusat pandemi di USA meminta bantuan peralatan medis dari negara lain. Otoritas China pun akhirnya mengirimkan 1.000 ventilator ke New York yang dinyatakan oleh Michael Greco (wakil Presiden Serikat Biro Layanan Medis Darurat pada Dinas Kebakaran New York) sebagai “situasi medan perang”.

Italia yang memiliki sistem pelayanan kesehatan yang berkulitas pun mengalami nasib yang serupa. RRI.co.id (24/03) menginformasikan bahwa dengan jumlah kasus yang sangat besar setiap harinya, Italy meminta bantuan ke Jerman untuk ikut menangani pasien positif corona dari negeri pizza tersebut. Michael Kretschmer (PM negara bagian Sachsen Jerman) menyatakan bahwa merawat pasien positif corona dari Italy akan menjadi kesempatan bagi para dokter setempat untuk belajar tentang virus corona, selain sebagai bentuk solidaritas. 



A. Menelisik Penyebab Sistem Kesehatan ala Kapitalisme Mengalami Kegagalan dalam Menghadapi Pandemi Corona, Termasuk di Indonesia

Terlepas dari skenario dari Alloh SWT, orang terkaya no 2 di dunia, William Henry Gates menyatakan bahwa dunia saat ini memang tidak siap menghadapi pandemi global. Hal ini diungkap Gates ketika ditanya apa yang mesti dilakukan dunia untuk menghentikan pandemi Covid-19 terulang lagi di masa depan.

Untuk menjawab pertanyaan itu ia lantas merujuk pada paparan yang ia sampaikan di acara TED Talk 2015 lalu. Ketidaksiapan dunia terhadap pandemi yang disampaikan lima tahun lalu seakan menjadi kenyataan. Saat itu, Gates memberi masukan kalau dunia perlu berinvestasi pada sistem kesehatan alih-alih investasi perang. Dia juga menyarankan agar seluruh negara melakukan kolaborasi internasional untuk melatih staf medis agar lebih awam menghadapi keadaan di tengah krisis virus seperti saat ini.

Namun, hal itu justru gagal dilakukan lantaran ketika virus corona datang, dunia justru tak memiliki kekuatan untuk menghadapinya. “Kita tidak siap untuk epidemi berikutnya” kata Gates dikutip dari Business Insider, Sabtu (21/3).

Beranjak dari faktor teknis ketidaksiapan sistem kesehatan sebuah negara, ada hal menarik yang diungkap oleh Mardigu WP seorang pengusaha muda indonesia dalam tulisannya yang berjudul “manufaktur data merusak dunia”. 

Dalam tulisan yang diupload dalam akun facebooknya , Mardigu WP menuliskan bahwa dalam interview di acara terkenal Larry King Show (berdasar data intelejen), China memanipulasi data tentang covid 19 sejak hari pertama. 

Karena ketidakjujuran data inilah seluruh dunia terkecoh yang menjadikan banyak negara tidak come up dengan kebijakan yang benar dalam menangani corona. 

Lebih lanjut Mardigu WP menuliskan, China di bulan januari dengan bos WHO (Tedros Adhanom Ghebreyesus) melakukan false information ke seluruh dunia dengan mengatakan corona virus menyebar hanya dari binatang ke manusia, tidak dari manusia ke manusia. Inilah yang menjadikan banyak negara jadi tidak “aware” terhadap mematikan dan kecepatan virus corona ini. 

Apa yang ditulis oleh Mardigu WP bukanlah pendapat yang mengada-ada.  Mengutip pendapat Syaikh Atha’ Abu Rusytah dalam soal jawab terkait covid 19 dan sholat jum’at, al ‘alim menyatakan bahwa, “kita paham apa yang diperbuat oleh orang-orang kapitalis dan semisal mereka berupa keburukan di dunia. Mereka tidak hanya memberi nilai kepada kepentingan dan ketamakan mereka”. Lebih lanjut al ‘alim menyatakan  bahwa Pemerintah Amerika, China, Rusia, Eropa dsb adalah sebab penderitaan dunia dan penderitaan rakyat mereka. Kajahatan-kejahatan mereka terhadap umat manusia sangat banyak. 

Syaikh Atha’ Abu Rusytah menyatakan bahwa para kapitalis salah dalam memberikan solusi. Hal inilah yang menurut gholabadz dzon (sangkaan kuat) penulis menjadi sebab utama kewalahannya sistem kesehatan dunia dalam mengatasi pandemi ini. Apakah solusi dari para penganut ideologi kapitalis tersebut? 

Pertama, Laporan china mengungkap bahwa otoritas China menyembunyikan dari orang china dan dunia, hakikat penyakit mematikan yang penyebarannya telah diketahui oleh otoritas China sebelum pertengahan desember 2019. Jurnalis China-Amerika Sang Wei Wang menyatakan, “otoritas china tidak menutup pasar makanan laut di kota wuhan yang dari situ tersebar penyakit kecuali pada bulan januari. Laporan lain juga mengungkap bahwa 8 orang warga ditangkap karena menyebarkan berita seputar penyakit ini di awal krisis dan dinilai sebagai pribadi yang melawan hukum karena menyebarkan informasi yang tidak dapat dikonfirmasi. Termasuk apa yang dialami oleh Dr Li Wenliang yang “dikunjungi polisi” karena memperingatkan adanya penyakit sejenis sars pada awalnya. 

Lebih lanjut dalam tulisan al ‘alim disebutkan bahwa para pejabat China tidak memperingatkan rakyat dari bahaya krisis pada desember hingga 31 desember dimana beijing memberitahu WHO. Pemerintah China mengatakan pada saat itu kepada WHO bahwa penyakit bisa dibentengi dan dikontrol. 

Perkara pertama inilah seperti yang diungkapkan oleh Mardigu WP dalam tulisannya sebagai sebuah false information yang akhirnya menyebabkan negara-negara lain tidak “aware” terhadap perkara ini. 

Kedua, Keterlambatan China dalam melakukan karantina wilayah (lockdown). Karantina wilayah atau di Barat dikenal dengan istilah lockdown merupakan solusi shahih dalam mengatasi wabah yang menular. Demikilah yang dinyatakan oleh al ‘alim dengan menyebutkan bahwa solusi yang shahih untuk penyakit ini adalah seperti yang ada dalam syariah Alloh SWT, dengan negara menelusuri penyakit tersebut sejak awal dan bekerja membatasi penyakit di tempat kemunculan sejak awal.
 
Imam al Bukhori telah meriwayatkan dalam shahihnya dari usamah bin zaid dari Nabi SAW, beliau bersabda: “jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”. 

Karantina wilayah yang diajarkan oleh islam ini telah mendahului solusi yang akhirnya telat diambil oleh China sebagai tempat awal munculnya wabah ini. 

Otoritas china telah membiarkan virus ini menyebar ke berbagai wilayah bahkan dunia karena rentang Desember sampai akhir januari adalah rentang yang cukup panjang (China baru menerapkan lockdown untuk Wuhan dan Provinsi Hubei sekitar 26 Janurari 2020). 

Mobilitas manusia yang cukup tinggi dari dan ke wuhan telah turut andil menjadikan virus ini jangkauannya cukup luas. Bahkan diperkirakan tidak ada satupun wilayah hari ini yang tidak disinggahi oleh virus ini, termasuk Indonesia. Pada akhirnya menjadikan load capacity dari pelayanan rumah sakit di setiap negara menjadi berlebih (over) karena ledakan jumlah korban. 

Dengan demikian, bukanlah faktor teknis semata yang menyebabkan sistem kesehatan negara-negara di dunia hampir collaps dengan serangan mematikan dan brutal dari virus ini. Terdapat kesalahan non teknis yang lebih disebabkan oleh penerapan ideologi selain islam termasuk komunis yang diadopsi oleh China. Mengapa China memberikan false information? Mengapa china terlambat untuk melockdown?

Jawabannya adalah karena faktor materi yang ada di seisi kepalanya. Ideologi selain islam hanya akan mementingkan perihal materi dan menomorsekiankan urusan hilangnya nyawa manusia. China punya terget ambisius PDB negerinya diangka 6% meskipun harus mengorbankan rakyatnya sekalipun. 

Italia sebagai negara dengan rasio kasus positif corona yang sangat besar mengumumkan ada 100 dokter yang meninggal karena menangani pasien terinfeksi corona. Data ini dilansir oleh Asosiasi Dokter Italia pada kamis, 09/04/2020. Pada hari tersebut, italia mencatatkan jumlah korban positif corona mencapai 140.000 jiwa dan jumlah penderita yang meninggal mencapai 17.669 (12%). Maka ada 100 dokter gugur untuk menangani pasien sejumlah 140.000 orang atau ada 0,5% jumlah keseluruhan penderita yang meninggal adalah dokter.

Sementara indonesia berdasarkan data dari katadata.co.id 12/4/2020, Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP FARKES/R) mencatat ada 44 tenaga medis meninggal dunia akibat terinfeksi covid-19. Rinciannya, 32 dokter dan 12 perawat. Pada hari itu jumlah positif covid 19 di indonesia mencapai 4.241 kasus dengan jumlah penderita yang meninggal mencapai 373 jiwa. Maka di Indonesia ada 32 dokter gugur hanya untuk menangani pasien sejumlah 4.241 kasus atau 8.5 % jumlah keseluruhan penderita yang meninggal adalah dokter. 

Wajar bila akhirnya Ketua Umum FSP FARKES/R Idris Idham mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan keselamatan petugas kesehatan yang menangani covid-19. Idris Idham memberikan saran,“Caranya degan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) yang memenuhi satndar dengan jumlah yang mencukupi,” ujar dia dikutip dari siaran pers, Minggu (12/4).

Hal senda juga disampaikan oleh Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI). PDUI  meminta ketersediaan APD di fasilitas kesehatan tingkat primer seperti Puskesmas. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua Umum PP PDUI Dokter Abraham Andi Padlan Patarai dalam konferensi persnya di Badan Nasional Penanggulangan Bencan (BNPB), Jakarta. (liputan6.com 13/4/2020).


Hal tersebut langsung ditanggapi oleh Presiden Joko Widodo. Dalam rapat terbatas kabinet pagi ini, Senin, 13 April 2020. Jokowi meminta agar jajarannya betul-betul memperhatikan pasokan APD serta ventilator agar tak ada keluhan kekurangan di lapangan. 

Informasi yang diungkap oleh gugus tugas percepatan penangan covid 19 (13/04) menyatakan bahwa jumlah kebutuhan ventilator mencapai 29.9 ribu unit. Pada akhir maret baru tersedia 8.4 ribu unit atau 28 % saja. Lebih lanjut, data yang ada hanya ada 4 provinsi yang memiliki jumlah ventilator yang melebihi setengah kebutuhan di wilayahnya yaitu Kalimantan Utara (72.7%), Bangka Belitung (69.8%), DKI Jakarta (55,9%) dan Sulawesi Barat (51.6%). Ketersediaan di provinsi lain hanya sekitar 20-30% saja. 

Dengan demikian, jumlah rasio kematian yang tinggi dari tenaga medis, adanya keluhan kekurangan APD dan ventilator menjadi indikator kuat bahwa sistem kesehatan Indonesia sangat tidak siap menghadapi pandemi global ini baik secara teknis maupun non teknis. Jika teknis adalah perkara yang sudah disebutkan, maka faktor non teknis berkaitan dengan lambannya pemegang kebijakan dalam merespon dan mengambil sebuah kebijakan atas wabah ini. Bahkan diantara mereka yakin corona tidak masuk Indonesia karena indonesia beriklim tropis. 

Faktor non teknis lainnya adalah jeratan ideologi kapitalis yang menjadi hati dan pikiran dari penguasa di negeri ini. Mereka nampak masih memikirkan dampak ekonomi bahkan kekuasaan dari pada dampak kematian yang mengancam setiap warga negara. Pilihan untuk menghidupkan pasal 7 UU No 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan menjadi pilihan yang sangat sulit, padahal termasuk obat yang dipilih oleh beberapa negara termasuk China dalam mengatasi wabah ini. 



B. Dampak Kegagalan Sistem Kesehatan ala Kapitalisme terhadap Usaha Mengatasi Pandemi Corona

Penyebab utama maju mundurnya banyak negara melakukan lockdown total adalah karena mereka ketakutan ekonomi lumpuh dan berantakan. Kembali ke konsep kapitalisme bahwa mereka menganggap ‘time is money’, apalagi Adam Smith mengatakan prinsip kapitalisme adalah dengan modal yang sekecil-kecilnya dapat mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Lumrah karena prinsip ini banyak para kapitalis menabrak segala aturan demi memenuhi birahinya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Solusi lockdown jelas membutuhkan biaya yang cukup besar. Karena negara bertanggungjawab penuh menjaga hajat hidup seluruh rakyatnya ketika lockdown dilakukan. Terlepas dari lockdown yang membutuhkan biaya yang cukup besar, sebenarnya penyelenggaraan kesehatan juga membutuhkan biaya yang cukup mahal dan tinggi. Karena nyawa seseorang lebih berharga dari apapun. Maka wajib negara menjaga nyawa dan darah rakyatnya jangan sampai tertumpah.

Tapi dalam lanskap kapitalisme, kesehatan dikapitalisasi masuk dalam industri untuk dijadikan bahan komoditas jualan layanan kesehatan. Beban negara menjaga kesehatan warganya dalam mainset kapitalisme dikembalikan kepada rakyatnya, sehingga beban biaya yang mahal dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas diserahkan ke pasar. Bagi rakyat yang banyak uang tentunya mereka bisa membeli pelayanan kesehatan yang bagus dan mahal. Bagi rakyat jelata harus siap meregang nyawa karena tidak mampu membeli pelayanan kesehatan yang mahal dan berkualitas.

Sekalipun kapitalisme menawarkan solusi jaminan kesehatan negara terhadap rakyat, tapi rakyatlah yang harus membayar iuran berdasarkan kemampuannya. Ini adalah bukti bahwa dalam pelayanan kesehatan ala kapitalisme dibedakan berdasarkan kemampuan rakyat dalam membayar iuran. Salah satu bentuk kejam dan zalimnya sistem kesehatan kapitalisme. Nyawa seseorang tak ada harganya dibanding dengan uang.

Selain itu, kapitalisme menjadikan pengobatan, sarana dan prasarana dalam dunia kesehatan masuk ke dalam pasar industri Kapitalisme. Kejamnya di saat pandemi covid-19 terjadi para kapitalis sibuk menguasai APD dan mampu merekayasa barang menjadi langka dan harga APD menjadi berlipat-lipat. 

Begitu kejam bukan? Nakes sebagai pejuang di garda terdepan dalam melawan covid-19 harus kehilangan nyawanya karena minimnya APD dan asupan imun dalam menangani pasien yang terdampak covid-19. Begitu pula masyarakat yang seharusnya dibekali dengan APD wajib seperti masker dan sanitizer dalam membentengi diri dari covid-19 harus kesulitan mencari APD tersebut dan harganya pun juga fantastis jika mereka harus membelinya.

Gagalnya kapitalisme dalam menangani pandemi covid-19 dapat dikerucutkan sebagai berikut,

Pertama, karena mereka tidak punya sumber pendapatan negara yang besar untuk menyelenggarakan kesehatan. Contohnya sumber daya alam yang seharusnya mampu dijadika sumber pendapatan negara dalam bidang kesehatan telah dikapitalisasi alias diserahkan kepada para korporat atas nama kerjasama dan investasi.

Kedua, walhasil kapitalisme menyerahkan pembiayaan kesehatan kepada rakyat itu sendiri. Di saat yang sama kesehatan juga masuk dalam industri kapitalisme yang dijadikan lahan basah para kapitalis meraup keuntungan.

Keitga, karena konsep dasar kapitalisme adalah sekulerisme yaitu memisahkan antara agama dan kehidupan. Kapitalisme melakukan pendekatan yang keliru dalam menangani pandemi covid-19. Seolah mereka berusaha mengentaskan wabah ini tanpa berpikir bahwa ada kekuatan Yang Maha Besar menguasai alam dan seisinya. Tentunya segala musibah datang tidak tanpa alasan, pasti ada sebabnya.

Disana kapitalisme menafikan adanya Yang Maha Mencipta dan Maha Mengatur Allah SWT sehingga mereka dengan angkuhnya memutar otak dan berusaha mencari solusi diluar dari yang telah Allah SWT wahyukan melalui Rasul dan kitab-Nya.

Dalam Islam datangnya musibah hanya karena dua alasan, pertama karena ujian bagi kaum atau negeri yang beriman dan taat. Tapi bagi kaum dan negeri yang maksiyat, zalim, dan munkar mengabaikan segala syariat-Nya. Musibah datang sebagai teguran. Supaya umat manusia berbondong-bondong taubat dan kembali kepada pangkuan syariat-Nya. Hal ini jelas tidak diambil dalam kacamata kapitalisme dalam mengani pandemi dan mengatasi penyakit yang mewabah.

“Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” QS. An-Nisa;: 79

“Tidaklah seorang mukmin terkena duri dan lebih dari itu melainkan Allah akan mengangkat derajat dengannya. Atau dihapuskan kesalahannya dengannya.” HR. Bukhori, (5641) dan Muslim, (2573).

Berkaca pada zaman Khalifah Umar Bin Khattab sebagai pemimpin negara saat Madinah ditimpa musibah gempa beliau mengatakan,

Ketika Madinah terguncang gempa, Khalifah Umar bin Khattab mengetukkan tongkatnya ke Bumi dan berkata, ''Wahai Bumi adakah aku berbuat tidak adil?'' lalu Umar berkata lantang, ''Wahai penduduk Madinah, adakah kalian berbuat maksiat? Tinggalkan perbuatan itu, atau aku akan meninggalkan kalian!'' (Ibnu Hajar al-Asqolani, Fath al-Bari. IX/244).

Begitulah sedikit contoh pemimpin negara yang senantiasa ingat dan taat pada Al Khaliq, sedihnya belum ada pemimpin negara yang mampu meneladani ajaran Nabi Saw secara kaffah, mereka masih terbelenggu oleh sistem kapitalisme global yang dimotori oleh Amerika dan sekutunya. Semoga kapitalisme segara berakhir dan bisa hijrah kaffah menuju Syariah.



C. Keunggulan Sistem Kesehatan ala Syariat Islam Dibandingkan dengan Sistem Kesehatan ala Kapitalisme untuk Membangun Sistem Kesehatan yang Kuat Khususnya di Masa Pandemi

Kapitalisme yang menjadikan sekulerisme sebagai dasar kehidupan telah menciptakan kerusakan secara sistemis. Begitu juga di bidang kesehatan kapitalisme salah asuh dalam mengatasi penyakit yang mewabah di kala pandemi covid-19 menerpa. 

Tidak dipungkiri bahwa kesehatan yang berkualitas membutuhkan biaya yang tinggi. Pangkal kesalahan dari penanganan kesehatan ala kapitalisme adalah karena mereka menyerahkan pembiayaan kesehatan berkualitas yang mahal kepada rakyatnya. Kapitalisme tidak sumber pendapatan yang tinggi, karena aset-aset atau sumber daya alam yang harusnya dikelola negara. Telah diberikan pengelolaannya kepada para kapitalis.

Sehingga para kapitalis menjadikan kesehatan, pengobatan, sarana, dan prasarana masuk ke dalam industri kapitalisme. Dimana negara hanya sebagai regulator saja. Wajar jika uang lebih berharga dari nyawa. Karena dalam kapitalisme uang adalah segalanya. Nyawa tak ada harganya. Apalagi nyawa kaum proletar.

Selain itu, kapitalisme menihilkan peran agama dalam mengatasi segala masalah dan musibah. Atas dasar sekulerisme, mereka menggunakan pikirannya dan hawa nafsunya yang tak berdaasar dari tuntunan Tuhan Penguasa Alam Allah SWT dalam menyelesaikan masalah dan mengatasi musibah.

Dalam Islam, kesehatan adalah kewajiban dan tanggung jawab negara yang harus dijamin bagi rakyatnya. Keselamatan dan kesehatan warga negara menjadi perkara yang diutamakan dari pada perkara ekonomi atau yang lainnya. Sebagaimana dalam hadits nabi SAW yang menyatakan bahwa nyawa seorang muslim lebih utama dari pada dunia dan seisinya. Mainset inilah yang dimiliki oleh negara dalam menjalankan sistem kesehatan, bukan mainset bisnis atau yang lainnya.

Sistem kesehatan yang kuat dan sepenuh hati dalam melayani setiap warga negara tersebut tidak bisa hadir tanpa ditopang ole sistem ekonomi yang kuat dan berdikari. Oleh karenanya tentu sistem kesehatan sebuah negeri membutuhkan sistem ekonomi islam yang sangat jauh dari unsur menipu dan jud apalagi ribawi. 

Nagara-negara kapitalis hari ini bersandar dengan sistem kesehatan yang rapuh. Negara hanya menjadi sebuah regulator saja. Sementara mekanisme penjaminan kesehatan diserahkan layaknya sebuah perusahaan asuaransi dimana setiap warga negara wajib membayar sejumlah uang tertentu sebgai jaminan kesehatan baginya. Bahkan cara-cara ini telah melahirkan sebuah ungkapan yang pada akhirnya “orang miskin dilarang sakit” , mengutip judul buku Eko Prasetyo. 

Ada rekaman menarik tentang bagaimana Sistem Islam (khilafah) pada masa itu memeberikan layanan yang unggul kepada rakyatnya tanpa diskriminasi meskipun cuma-cuma. Dalam bukunya yang fenomenal Will Durrant berjudul Story of Civilization IV: The Age of Faith halaman 330, menyebutkan:

"Islam juga telah memelopori dunia terhadap peralatan & kompetensi bagi rumah-rumah sakit. Salah satunya yang didirikan oleh Nuruddin Zanki pada 1160 di Damaskus, dimana diberikan perawatan & pengobatan gratis disana selama tiga abad, tepatnya selama 267 tahun terus menerus. Ibnu Jubair yang tiba di Baghdad pada 1184 sangat mengagumi Bimaristan Adadi yang sangat besar, sebuah ruma sakit layaknya istana megah sepanjang tepian sungai Tigris, disini makanan dan obat-obatan diberikan cuma-cuma kepada pasien. Di kairo pada 1285 Sultan Qalaun memulai mendirikan Maristan al Mansur, sebuah rumah sakit besar abad pertengahan. 

Di dalamnya terdapat sebuah bangunan persegi empat yang luas, empat bangunan menjulang di sekitar halaman yang dihiasi dengan koridor beratap, ditambah kesejukannya dengan air mancur dan sungai. Ada bangsal terpisah untuk beragam penyakit dan untuk pemulihan; laboratorium, apotik, klinik rawat jalan, dapur diet, pemandian, perpustakaan, tempat ibadah, ruang kuliah, dan khususnya akomodasi yang menyenangkan bagi penderita sakit jiwa. Pengobatan diberikan gratis kepada pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan setiap pasien yang telah sembuh diberikan sejumlah uang untuk bekal selama dia sakit (tunjangan selama tidak dapat bekerja karena sakit -ed), sehingga dia tidak perlu segera kembali bekerja. Mereka yang tidak bisa tidur disediakan musik yang lembut (terapi psikologis –ed), pencerita profesional, dan mungkin buku-buku sejarah. Rumah sakit jiwa ada di semua kota besar negeri- negeri Islam."


Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Bukanlah faktor teknis semata yang menyebabkan sistem kesehatan negara-negara di dunia hampir collaps dengan serangan mematikan dan brutal dari virus ini. Terdapat kesalahan non teknis yang lebih disebabkan oleh penerapan ideologi selain islam termasuk komunis yang diadopsi oleh China. Mengapa China memberikan false information? Mengapa china terlambat untuk melockdown? Jawabannya adalah karena faktor materi yang ada di seisi kepalanya. Ideologi selain islam hanya akan mementingkan perihal materi dan menomorsekiankan urusan hilangnya nyawa manusia. China punya terget ambisius PDB negerinya diangka 6% meskipun harus mengorbankan rakyatnya sekalipun. Jumlah rasio kematian yang tinggi dari tenaga medis, adanya keluhan kekurangan APD dan ventilator menjadi indikator kuat bahwa sistem kesehatan Indonesia sangat tidak siap menghadapi pandemi global ini baik secara teknis maupun non teknis. 

Faktor non teknis lainnya adalah jeratan ideologi kapitalis yang menjadi hati dan pikiran dari penguasa di negeri ini. Mereka nampak masih memikirkan dampak ekonomi bahkan kekuasaan dari pada dampak kematian yang mengancam setiap warga negara. Pilihan untuk menghidupkan pasal 7 UU No 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan menjadi pilihan yang sangat sulit, padahal termasuk obat yang dipilih oleh beberapa negara termasuk China dalam mengatasi wabah ini. 

2. Gagalnya kapitalisme dalam mengatasi pandemi karena tiga hal. Pertama, kapitalisme tidak punya sumber pendapatan yang tinggi yang dialokasikan untuk menyelenggarakan kesehatan. Karena aset-aset negara maupun SDA telah dikapitalisasi, sehingga tidak dapat dijadikan sumber utama pendapatamn negara. Kedua, kesehatan yang berkualitas dan butuh biaya tinggi telahdiserahkan ke pasar sehingga dijadikan lahan basah para kapitalis dalam meraup keuntungan. Ketiga, dasar sekulerisme yang memisahkan agama dan kehidupan telah melahirkan pendekatan yang keliru saat menangani penyakit yang mewabah. Seolah mereka menafikan adanya Yang Maha Mengatur dan Maha Mencipta. 

3. Dalam Islam, kesehatan adalah kewajiban dan tanggung jawab negara yang harus dijamin bagi rakyatnya. Keselamatan dan kesehatan warga negara menjadi perkara yang diutamakan dari pada perkara ekonomi atau yang lainnya. Sebagaimana dalam hadits nabi SAW yang menyatakan bahwa nyawa seorang muslim lebih utama dari pada dunia dan seisinya. Mainset inilah yang dimiliki oleh negara dalam menjalankan sistem kesehatan, bukan mainset bisnis atau yang lainnya.[]


Oleh: Ika Mawarningtyas
Dosol UNIOL 4.0 DIPONOROGO
MATKULOL RABU, 15 APRIL 2020, DI BAWAH ASUHAN PROF SUTEKI



Posting Komentar

0 Komentar