KRITIK KEPADA PENGUASA DIANGGAP SEBAGAI UJARAN KEBENCIAN: Sebuah Paradigma Keliru?


Tersiar kabar kurang sedap, telah kembali terjadi penangkapan terhadap aktivis dakwah yang menimpa saudara Ali Baharsyah oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri pada Jum'at malam, 3 April 2020.

Menurut tribunnews.com, 4/4/2020, Direktorat Siber Bareskrim Polri menangkap saudara Ali Baharsyah karena diduga menyebarkan hoax atau ujaran kebencian di media sosial yang menyinggung orang nomor satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo.

Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Pol Argo Yuwono saat dikonfirmasi oleh Tribunnews.com, Sabtu (4/4/2020) membenarkan penangkapan saudara Ali Baharsyah pada Jumat (3/4/2020) malam di wilayah Jakarta Timur.

"Yang bersangkutan ditangkap Jumat (3/4/2020) di Cipinang, Jakarta Timur. Saat ini masih diperiksa intensif oleh penyidik Siber Bareskrim," ungkap Argo.

Dilangsir dari kumparan.com, Minggu (5/4/2020), Karo Penmas Mabes Polri dalam keterangannya menyatakan bahwa saudara Ali Baharsyah dijerat pasal 45 dan 45 A Undang-Undang ITE dengan ancaman pidana 6 tahun penjara, dan Pasal 14 dan 15 Undang-Undang No 1 tahun 1946 dengan ancaman penjara pidana 10 tahun penjara".

Saudara Ali Baharsyah dilaporkan oleh Ketua Cyber Indonesia Muannas Alaidid ke Bareskrim Polri pada Rabu (1/4/2020) atas tuduhan penyebaran ujaran kebencian dan hoax soal kebijakan darurat sipil dalam penanganan virus Corona (Covid-19).

Kritik kepada penguasa bukanlah hal baru dan menakutkan, karena aktivitas ini sudah dilakukan sejak masa Rasulullah. Di dalam Islam aktivitas ini dikenal dengan istilah “muhasabah al-hukkam”. Muhasabah berarti mengontrol dan mengoreksi, sedangkan al-hukkam berarti para pejabat pemerintahan. Jadi aktivitas muhasabah al-hukkam adalah aktivitas mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan sebagai wujud melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.

Sejatinya, pemimpin negeri adalah pemangku jabatan untuk mengurusi setiap urusan rakyat dimana rakyat secara menyeluruh akan terdampak dari setiap kebijakan yang akan diambilnya. Sekiranya wajar saja ketika ada keputusan yang dirasa kurang tepat, akan memunculkan kritikan dan koreksi dari rakyat yang masih memiliki sikap kritis.

Lalu, apakah setiap sikap kritis layak dianggap sebagai ujaran kebencian? Bukankah sudah seharusnya, seorang pemimpin siap untuk menerima kritikan, koreksi atas kebijakannya dan nasehat dari rakyat yang dipimpinnya?



A. Mengungkap Paradigma Keliru Menganggap Muhasabah al-Hukkam Sebagai Ujaran Kebencian yang Menggugah Empati di tengah Pandemi

Muhasabah al-hukkam atau kontrol dan koreksi terhadap pejabat pemerintah adalah wujud kasih sayang umat kepada pemimpin atau penguasa yang telah dipercayai untuk mengurus setiap urusan rakyat. Karena itu, sikap kritis rakyat yang berani memuhasabahi penguasa seharusnya mendapat apresiasi, dan sebagai pemimpin selayaknya mampu mendengar setiap suara rakyat yang memuhasabahinya.

Apalagi dalam situasi pandemi, dimana rakyat membutuhkan sosok pemimpin yang siap mengerti dan memahami kebutuhan rakyat. Pemimpin yang tegas dan tepat dalam setiap pengambilan keputusan serta selalu mengedepankan kepentingan rakyat. Pemimpin yang bisa dijadikan perisai dalam situasi apapun. 

Namun kenyataannya rakyat dipertontonkan kegagapan penguasa, dimana rakyat seakan disuguhi keputusan yang mencla mencle dan kurang koordinasi diantara pemangku jabatan, sehingga kerap kali pernyataannya saling tumpang tindih dan saling mengoreksi satu sama lain.

Disinyalir karena ketergagapan pemerintah dalam menghadapi pandemi inilah rakyat dibuat gemas. Pada akhirnya memicu munculnya kritik rakyat yang kian tajam, pedas dan mengganas, yang sayangnya disambut penguasa dengan sikap yang lebih represif lagi. Yaitu persekusi terhadap para aktivis dakwah yang kian nyaring suaranya menyuarakan kekurangtepatan keputusan yang diambil penguasa.

Mengapa penguasa harus mengambil langkah represif? Padahal rakyat lebih membutuhkan pemimpin yang mengedepankan sikap empati saat mendengarkan suara rakyat, yang semakin lelah ditengah situasi pandemi. Disaat rakyat membutuhkan pemimpin yang mampu untuk melihat solusi shohih yang ditawarkan anak negeri, yang tentunya menginginkan perbaikan dan perubahan di dalam keterpurukan kondisi negeri saat ini.

Sambutan represif penguasa ini tidakkah seakan semakin memperlihatkan kebutuhan penguasa untuk menutupi ketidakmampuannya menghadapi situasi di tengah pandemi? Apakah ini suatu bentuk kebutuhan akan topeng, tameng yang semata-mata demi menutupi kelalaian, kesalahan atau kekeliruan dalam pengambilan keputusan? Ataukah sebagai wujud ketakutan akan kehilangan tampu kekuasaan, akibat semakin terkikisnya kepercayaan rakyat?

Bilamana kemungkinan-kemungkinan diatas benar adanya, maka wajar saja apabila sikap kritis rakyat sebagai bentuk muhasabah terhadap penguasa memunculkan paradigma keliru dan menganggap sikap kritis rakyat sebagai ujaran kebencian.

Pada akhirnya sekali lagi, penulis ingin menekankan bahwa muhasabah al-hukkam adalah bentuk cinta kasih rakyat kepada penguasa. Karena itu aktivitas muhasabah ini tidak seharusnya memunculkan paradigma keliru dan menganggapnya sebagai bentuk ujaran kebencian, yang kemudian berujung pada sikap represif penguasa kepada para aktivis dakwah. Berharap pemimpin yang lebih dewasa dalam menyikapi kritik, koreksi dan nasehat dalam situasi pandemi yang seharusnya lebih mengedepankan sikap empati.

B. Idealisme Seorang Pemimpin dalam Menyikapi Muhasabah dari rakyat yang Dipimpinnya

Menjadi sebuah keberuntungan yang sangatlah besar bagi kaum Muslimin dengan ideologi Islam yang diembannya, yang tidak pernah memisahkan persoalan politik dengan dinullah Islam. Dalam Islam berpolitik adalah semata-mata untuk mengurusi urusan umat sesuai hukum syara'.

Sehingga, ketika penguasa dikritisi, dikoreksi, dan atau dinasihati oleh rakyat tidak akan memunculkan reaksi lain kecuali yang muncul adalah ucapan rasa syukur, bahwa rakyat masih peduli kepadanya agar tidak salah dalam mengambil keputusan dan kebijakan ketika penguasa dihadapkan dengan masalah besar, seperti masalah pandemi corona yang saat ini tengah terjadi disegenap penjuru dunia.

Sangat berbeda memang ketika membandingkan pemimpin yang lahir dalam sistem Islam dengan pemimpin yang terlahir dalam sistem demokrasi. Dimana dalam sistem Islam setiap keputusan yang diambil penuh kehati-hatian, memiliki rasa takut bilamana menyalahi hukum syara' yang telah ditetapkan Allah Swt. 

Dari sistem inilah muncul pemimpin yang adil, amanah, dan hanya takut kepada Allah semata. Mari kita tengok kisah seorang Amirul Mukminin, Umar bin Khattab, yang suara terompahnya saja ditakuti oleh iblis, bagaimana reaksinya ketika dimuhasabahi seorang wanita.

Alkisah, seorang wanita dengan penuh keberanian melontarkan pertanyaan kepada Khalifah Umar yang baru selesai berkhutbah, “Wahai Amirul mukminin, apakah yang wajib kita ikuti itu Kitab Allah ataukah ucapanmu?”. Wanita itu menanggapi pernyataan Umar yang melarang memahalkan mahar. Umar membatasi mahar tidak boleh lebih dari 12 uqiyah atau setara 50 dirham. Seraya menyatakan, “Sesungguhnya kalau ada seseorang yang memberikan atau diberi mahar lebih banyak dari mahar yang diberikan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam pastilah aku ambil kelebihannya untuk Baitul mal.”

Muslimah pemberani itu pun kemudian mengutip ayat Allah, “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS: an-Nisa’ [4]:20)

Khalifah Umar menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, beliau membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang.

Begitulah reaksi yang muncul dari seorang Amirul Mukminin Umar bin Khattab, tanpa malu tanpa ragu beliau membenarkan ucapan wanita tersebut dan mengakui kesalahannya. Sikap ini seharusnya dapat menjadi contoh bagi setiap pemimpin umat, sikap legawa seorang pemimpin dalam menerima kritikan dari rakyatnya.

Inilah contoh terbaik dari seorang pemimpin yang lahir dari sistem Islam, tidak lupa diri atas jabatan yang diembannya, karena yakin betul jabatannya adalah amanah yang kelak akan menuntut pertanggungjawaban di yaumul hisab. Beginilah beruntungnya bila hidup dalam sistem Islam, dengan ideologi Islam yang diemban oleh negara, sedangkan penguasanya tunduk kepada hukum syara’.

Atau mari kita lihat bagaimana sosok manusia mulia Rasulullah Saw. pemimpin Daulah Islam Madinah dalam menyikapi kritik, koreksi ataupun nasehat dari para sahabat. Ketika itu sedang berada di Badar, Rasulullah Saw memerintahkan untuk menguasai sumber air Badar sebelum dikuasai musuh. Lalu salah seorang sahabat, Khahab Ibn Mundzir ra bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah penentuan posisi ini adalah wahyu dari Allah atau hanya strategi perang?”

Beliau menjawab, “Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan strategi perang”. Kemudian Khahab menjelaskan, “Wahai Rasulullah, jika demikian tempat ini tidak strategis. Lebih baik kita pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat markas disana dan menutupi sumur-sumur yang ada di belakangnya. Kita buat lubang-lubang dekat perkemahan dan kita isi dengan air sampai penuh, sehingga kita akan berperang dan mempunyai persediaan air yang cukup. Sedangkan musuh tidak mempunyai persediaan air minum,” kata Khahab.

Rasulullah kala meyikapi kritik dan nasehat tersebut tidaklah marah atau pun tersinggung. Rasulullah tersenyum dan memuji pendapat Khahab. Kaum Muslimin pun kemudian memenangkan pertempuran itu dengan telak.

Tampu kepemimpinan adalah amanah yang harus ditunaikan dan dijaga sebagaimana mestinya yang pasti dimintai pertanggungjawabnnya. Maka, saat mengembannya, kiranya siap dengan segala bentuk goncangan baik itu dalam bentuk kritikan atau pun nasehat.

Seorang pemimpin harus mampu melihat secara visioner dengan pemikiran positif dalam menanggapi setiap kritik, koreksi dan nasehat. Menjadikannya sebagai muhasabah atas kepemimpinannya, karena sejatinya kritik adalah bentuk cinta dan kepedulian umat atas kepemimpinannya.

Menggenggam amanah kepemimpinan ini tidaklah mudah, itulah mengapa ketika amanah ini diminta oleh sahabat Abu Dzar al-Ghifari kepada Rasulullah Saw. dengan tegas Rasulullah mengatakan, “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah, kehinaan dan penyesalan pada Hari Kiamat. Kecuali orang yang mengambilnya dengan sesungguhnya, dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dengan baik.”

Rakyat butuh pemimpin yang mencintai mereka dan lebih mengutamakan urusan mereka dan mampu membela setiap kepentingan mereka, menjadi perisai dan berdiri di garda terdepan demi rakyatnya. Pemimpin seperti ini pastinya akan memperoleh cinta dari rakyatnya.

C. Sistem Islam Mewajibkan Umat untuk Melakukan Muhasabah a-Hukkam

Di dalam Islam, muhasabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkam) adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Swt. Perintah Allah Swt tersebut merupakan perintah yang bersifat tegas, yaitu untuk melakukan muhasabah terhadap para penguasa dan mengubah perilaku mereka jika mereka melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban-kewajibannya terhadap rakyat, mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum-hukum Islam, atau memutuskan hukum dengan selain wahyu yang telah Allah turunkan.

Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw. Pernah bersabda:

“Nanti akan ada para pemimpin. Lalu kalian mengakui kemakrufan mereka dan mengingkari kemungkaran mereka. Siapa saja yang mengakui kemakrufan mereka akan terbebas dan siapa saja yang mengingkari kemungkaran mereka akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridha dan mengikuti (kemungkaran mereka akan celaka).” Para Sahabat bertanya, “Tidakkah kita perangi saja mereka?” Nabi menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat.”

Kata shalat dalam hadis ini merupakan kinayah (kiasan) dari aktivitas memerintah atau memutuskan perkara dengan (hukum-hukum) Islam. Jadi menurut hadist ini, umat memiliki kewajiban untuk memuhasabi penguasa atas setiap kebijakan yang diambilnya, namun tidak boleh memerangi selama penguasa menerapkan hukum-hukum Allah ditengah-tengah mereka.

Wajibnya seorang muslim melakukan aktivitas muhasabah al-hukkam ini semata-mata untuk melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana termaktub dalam firman Allah berikut:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, ...” (QS. Ali Imran : 110)

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj : 41)

Sebagaimana dalam banyak hadist juga menjelaskan tentang amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi dasar wajibnya aktivitas muhasabah al-hukkam. Rasululah Saw. bersabda:

“Dan demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, maka hendaknya kalian memerintah kepada kema’rufan dan mencegah dari kemungkaran. Atau (tunggu) sampai Allah benar-benar menjatuhkan adzab dari sisi-Nya untuk kalian. Kemudian kalian berdoa, lalu doa kalian tidak dikabulkan.” (HR. Ahmad dari Hudzaifah)

“Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan kemungkaran, maka hendaknya mengubah dengan tangannya. Apabila tidak kuasa, maka hendaknya dengan lisannya. Apabila tidak kuasa, maka hendaknya dengan hatinya. Dan (niscaya) itu merupakan selemah-emahnya iman.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri)

Sedangkan hadist yang secara khusus memerintahkan untuk melakukan muhasabah terhadap penguas diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah, dari Abi Sa’id yang mengatakan, Rasulullah Saw. bersabda: 

“Sebaik-baik jihad itu adalah (menyatakan) kata-kata yang haq kepada penguasa yang dzalim.”

Karena pentingnya kewajiban muhasabah al-hukkam hingga dijadikan laksana jihad, bahkan merupakan sebaik-baik jihad. Bahkan ketika seorang muslim menemui kematiannya ketika melakukan muhasabah terhadap penguasa disetarakan dengan penghula para syuhada, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:

“Penghula para syuhada’ adalah Hamzah, serta orang-orang yang mendatangi penguasa yang dzalim, lalu menasehatinya, kemudian dia dibunuh.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak)

Jadi, apabila adanya kesadaran akan kewajiban muhasabah al-hukkam dari kaum muslim dalam mengiringi penguasa menjalankan tampu kekuasaan, dengan disertai paradigma shohih dari para penampu kekuasaan memandang sebuah kekuasaan sebagai amanah yang harus dijalankan sesuai aturan Allah Swt yang kelak ada pertanggungjawabannya, akan memunculkan sinergi yang saling melengkapi antara penguasa dan rakyatnya.

Penguasa tidak akan mudah tersinggung dan represif atas kritik koreksi nasehat terhadap kebijakan yang diambilnya. Menganggapnya sebagai bukti cinta rakyat terhadap penguasa agar kelak lebih meringankan tanggungjawabnya dihadapan Yang Maha Kuasa.

Dari pembahasan di atas dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Muhasabah al-hukkam yang dianggap ‘ujaran kebencian” yang layak dipenjarakan dan dibungkam disinyalir sebagai bentuk topeng untuk menutupi kedok penguasa yang tergagap dalam menghadapi pandemi corona, ditambah dengan ketakutan penguasa akan kehilangan tampu kekuasaannya seiring hilangnya kepercayaan rakyat atas kemampuan penguasa menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi ditengah pandemi.

2. Muhasabah al-hukkam adalah wujud kasih sayang umat kepada pemimpin seiring dengan pemahaman penguasa bahwa kekuasaan adalah amanah yang diembannya yang kelak akan meminta pertanggungjawabannya, akan memunculkan penguasa yang semakin bertambah rasa syukurnya ketika ada rakyat yang berani melakukan kritik, koreksi dan nasehat atas kebijakan-kebijakan yang diambilnya.

3. Muhasabah al-hukkam adalah kewajiban atas kaum muslim kepada penguasa sebagai bentuk amar ma’ruf nahi mungkar, yang kedudukannya disamakan dengan jihad bahkan sebaik-baik jihad. Kabar baik bagi para pengembannya bahwa ketika kematian didapatinya ketika melakukan aktivitas muhasabah al-hukkam disetarakan dengan kedudukannya dengan penghulu para syuhada.

Oleh : Dewi Srimurtiningsih
MATKUL UNIOL 4.0 DIPONOROGO



Posting Komentar

0 Komentar