Belajar dari Kisah MUSH'AB BIN UMAIR, Berubah untuk Mengubah

sumber foto: buletinmitsal.com

Berubah. Satu kata ini sudah tak asing di telinga kita. Banyak orang menyebut sebuah perubahan dalam hal kebaikan disebut sebagai hijrah. Banyak kalangan selebritis yang menyatakan diri berubah atau hijrah dan berusaha mengubah penampilan serta pemikiran mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Jika ingat kata berubah, kita akan ingat seorang sahabat Rasulullah bernama Mush'ab bin Umair. Konon Beliau adalah seorang warga kota Makkah yang mempunyai nama paling harum. Pemuda tampan yang gagah, mendapat kemewahan fasilitas dari orang tuanya. Sang idola gadis-gadis Makkah, yang jika Beliau berjalan, bau harumnya masih terasa di jalan-jalan yang dilaluinya.

Saat risalah Allah SWT sampai padanya, hatinya seketika terbuka. Beliau tinggalkan semua kenikmatan dunia demi Islam, demi keyakinan barunya, demi kesadarannya akan hubungannya dengan Sang Khalik yaitu Allah SWT. Meskipun sang ibu marah besar ketika mengetahuinya.

Sejak mengenal Islam Mush'ab berubah, dari lelaki tampan pujaan warga Makkah menjadi lelaki dengan baju penuh tambalan. Beliau juga berubah, dari lelaki penyembah berhala Latta dan Uzza menjadi lelaki dengan kekuatan iman dan kecintaan yang menggebu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Seindah-indahnya sebuah perubahan adalah berubah kepada cinta dan ketaatan kepada Allah SWT semata. Apakah kita tahu kapan dan di mana izin bernapas kita berhenti?.

Manusia sebagai hamba Allah, dinilai dari amal di akhir hidupnya. Apakah berakhir dengan baik atau husnul khatimah atau justru berakhir dengan buruk atau su'ul khatimah.

Adapun yang harus kita lakukan adalah terus berbuat kebaikan, bukan menebak-nebak bagaimana kesudahan akhir hidup kita. Jika selama ini kita berusaha mati-matian ingin hidup yang baik, maka tak ada salahnya jika saat ini kita pun harus mati-matian mengupayakan mati yang baik, yakni husnul khatimah.

Jika sebelumnya senantiasa berbuat amal saleh, maka hari ini dan seterusnya kita harus meningkatkan amal itu menjadi lebih istimewa. Itulah yang disebut perubahan.

Jika sebelumnya selalu berbuat kesalahan, maka hari ini dan seterusnya kita berhenti dari perbuatan itu dan bertobat. Berdoa supaya pintu maksiat tertutup untuk kita, supaya Allah hanya membukakan pintu taubat, dan kita tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan. Itulah yang disebut perubahan.

Namun, apakah perubahan dalam diri kita menjadi hak milik pribadi?. Rasulullah SAW bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” (HR Bukhari).

Seorang Mush'ab bin Umair, ketika menerima satu risalah, Beliau mendakwahkan. Begitu juga para sahabat yang lain. Ketika mendapatkan ilmu, Beliau juga menyampaikan kepada umat di sekitarnya. Hingga Islam semakin menggema dan dikenal di masyarakat.

Berubah menjadi baik, adalah sebuah proses. Maka sembari berproses dalam perubahan diri, ada kewajiban yang terpatri untuk turut mengajak orang lain dalam sebuah perubahan. Maka kita berubah sekaligus mengubah. Sehingga sejatinya dakwah adalah proses untuk mengubah diri kita.

Berubah, membutuhkan sebuah keistiqomahan. Butuh para motivator dan lingkungan yang bisa menjaga suasana ruhiyah yang sedang tumbuh di dalam diri. Maka bergabung dalam jamaah dakwah adalah hal yang perlu diupayakan.

Jamaah dakwah, akan memberikan penguatan kepada kita dalam melewati masa-masa sulit saat berproses menuju perubahan. Ghirah kita akan senantiasa terjaga dalam lingkungan yang kondusif.

Bersama orang-orang shalih kita akan senantiasa terjaga dalam kebaikan sekaligus bertugas menyampaikan kebaikan. Kita juga menjadi bersemangat mencari ilmu dan membagikan ilmu yang kita peroleh. Bara mabda' yang kita genggam tidak untuk kita sendirian, tapi ada hak orang lain yang perlu kita bagikan. Mencari ilmu dan berdakwah adalah dua hal yang sama-sama menjadi sebuah kewajiban.

Allah SWT berfirman:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 104)

Selayaknya Mush'ab bin Umair. Beliau terpilih menjalani tugas yang mulia. Demikian juga dengan kita. Kita diseru untuk menyeru. Kita dipanggil untuk memanggil. Maka ketika kita berubah, tak layak jika kita tak memiliki keinginan untuk mengubah.

Semoga semangat Mush'ab bin Umair mampu mencabut keegoisan kita yang cukup memuaskan diri sebagai pencari ilmu yang tak segera membagikan ilmu. Semoga Allah memudahkan kita menjadi pengemban mabda' suci ini, hingga sampai pada puncak kesejahteraan umat menerapkan syariat Islam kaffah.[]

Puput Yulianti S.Psi. S.Pd
Juru Kisah Nasional, Aktivis Muslimah & Praktisi Pendidikan

Posting Komentar

0 Komentar