Balada Ali Bahar: Pantaskah Menuduh Pejuang Khilafah Sebagai Penumpang Gelap?



Aktivis Islam, Alimudin Baharsyah ditangkap Polisi pada Jumat (3/4) malam, pukul 20.30 WIB, saat sedang berkumpul bersama tiga temannya. Penangkapan ini berawal dari adanya Laporan Polisi yang dilakukan oleh Muannas Alaidid yang mengaku sebagai Ketua Cyber Nasional.

"Dalam penangkapan ini juga diamankan 3 rekannya yang berada di TKP tersebut. 3 temannya ini sedang dilakukan pemeriksaan mendalam dan masih berstatus saksi," ucap Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Himawan Bayu Aji, dalam konferensi pers yang disiarkan saluran Youtube Tribrata TV, Senin (6/4/2020).

Oleh sebab itu, Himawan memaparkan Ali dijerat Pasal 28 ayat 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang ujaran kebencian dan SARA, Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa. Dari hasil pemeriksaan terhadap Ali, tambah Himawan, motif pemuda 33 tahun ini menghina Presiden Jokowi adalah karena ingin menyebarluaskan PAHAM yang diyakininya. Namun, Himawan tak menjelaskan dengan gamblang seperti apa paham yang diyakini Alimudin Baharsyah.

Pertanyaan besarnya adalah, apakah PAHAM yang dimaksud aparat itu adalah SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH? Kejelasan tentang hal tersebut tampaknya belum ada. Namun, apabila merujuk pada Surat Direktorat Siber Bareskrim Polri No. S.Tap/59/IV/2020/Dittipidsiber Tentang Status Tersangka, patut diduga bahwa yang dimaksud paham itu adalah khilafah dengan adanya pasal dugaan yang dilayangkan kepada Alimudin berupa: dugaan melakukan MAKAR melalui sarana media sosial facebook. Betulkah Alimudin telah melakukan MAKAR karena telah mendakwahkan khilafah yang disebut sebagai paham itu dan oleh karenanya lalu disebut sebagai PENUMPANG GELAP DEMOKRASI?

Terkait dengan penumpang gelap, masih ingatkah Anda ketika dalam sebuah aksi damai bentuk respons masyarakat terhadap peristiwa penindasan umat Islam India yang berlangsung di Kota Semarang pada Jum'at, 6 Maret 2020 siang bulan lalu, tersebar sebuah rekaman video yang mempertontonkan adegan adu argumentasi antara peserta aksi dengan petugas kepolisian di Kota Semarang. Perdebatan yang ditengarai adanya tudingan yang terkesan arogan dan tidak berdasar oleh seorang yang mengaku dari aparat petugas kepolisian, yakni menyebutkan adanya penumpang gelap yang terindikasi dari ormas HTI---yang dikenal memperjuangkan ajaran Islam sistem khilafah---di tengah berlangsungnya aksi damai tersebut.

Aparat itu menuding bahwa ada “Penumpang Gelap” yang ikut nimbrung dalam aksi tersebut karena mengusung ide Khilafah dalam sebuah spanduk yang dibentangkan, padahal menurutnya khilafah itu bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Tak pelak tudingan tersebut menyulut sebuah adu debat antara pihak aparat keamanan dan peserta aksi yang tidak terima dituding sebagai penumpang gelap karena mengusung ide Khilafah Islamiyyah sebagai solusi yang ditawarkan untuk menyelamatkan umat Islam yang banyak tertindas di berbagai belahan dunia khususnya umat Islam yang sedang ditindas secara brutal oleh "rezim" Hindu India saat akhir-akhir ini.

Penumpang gelap, sebuah ungkapan yang sangat bertendensi buruk karena menyiratkan adanya illegalitas sebuah kepesertaan dalam suatu kegiatan bersama yang digelar untuk misi tertentu. Misi yang mulia bisa tercemar akibat adanya peserta yang mendompleng tanpa suatu perizinan tertentu yang absah. Bila benar ada penumpang gelap, mungkin dapat dibenarkan tindakan aparat yang berwenang untuk memberikan sanksi kepada penumpang gelap tersebut, namun jika tuduhan itu dilayangkan lantaran kecurigaan yang tanpa alasan jelas bahkan cenderung sebagai ekspresi rasa phobia terhadap sebuah simbol, maka dapat dipastikan hal itu akan menyulut konflik bahkan kerusuhan.

Oleh karena itu, kejelasan tentang siapakah, adakah, bagaimanakah eksistensi penumpang gelap itu menjadi perlu untuk diperbincangkan agar ke depan tidak timbul lagi tuduhan keji tanpa bukti terhadap para pihak yang secara nyata tidak merepresentasikan diri sebagai penumpang gelap. Lalu, pantaskah tercabiknya bahtera demokrasi serta merta menuduh penumpang gelap yang menjadi biang keladinya?

A. Eksistensi Penumpang Gelap dalam penyelengaraan pemerintahan baik dalam demokrasi maupun sistem pemerintahan Islam.

Istilah atau ungkapan ‘penumpang gelap’ disadur dari idiom bahasa Belanda ’zwarterijder’ (zwart = hitam, gelap, rijder = penumpang). Arti secara harfiah yaitu “penumpang pada suatu kendaraan (bisa bus, kereta api, kapal laut, dan lainnya) yang tidak membayar”. Secara kiasan “penumpang gelap” adalah ’orang yang menyamar’.

Konotasi “penumpang gelap” ini jelas negatif. Makna secara harfiah, “penumpang gelap” biasanya terjadi di daerah miskin. Makin kaya suatu daerah, makin sedikit penumpang yang kepingin gratis. Hanya saja, secara kiasan, “penumpang gelap” di sini tak sekadar tentang gratis naik kendaraan. Para “penumpang gelap” yakni orang atau kelompok yang mempunyai target besar. Dia masuk dalam sebuah komunitas untuk tujuan tertentu. Lalu apa dan siapa sesungguhnya “penumpang gelap” yang sering dimaksud dalam pemerintah yang berkuasa saat ini?

Belakangan ini, para tokoh pemerintahan kerap suka menyebut-nyebut istilah “penumpang gelap” sebagai dalang dan biang kerusuhan pada suatu agenda aksi unjuk rasa atau kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Namun, definisi atau arti dari "penumpang gelap" secara baku oleh pemerintah saja ternyata tidak ada, yang ada malah begitu terkesan lentur dan absurd. Bagaimana tidak, tatkala yang dianggap "penumpang gelap" tersebut cenderung menyasar orang-orang atau kelompok masyarakat yang cenderung aktif dan masif dalam mengkritik sejumlah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai berjalan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diagung-agungkan.

Sebagai contoh nyata terdapat di dalam kejadian penghantar di muka, aparat keamanan dalam video tersebut menyebut HTI sebagai "penumpang gelap". Mengapa demikian? Karena dengan menyebut HTI sebagai "penumpang gelap" tentu akan paling minimum risiko mengingat HTI telah di masukkan daftar sebagai ormas yang dibubarkan paksa oleh pemerintah sehingga dianggap telah dilarang keberadaannya. Sementara itu publik juga mengetahui bahwa selama ini ormas ini hanya aktif dan konsisten dalam mendakwahkan sistem pemerintahan Islam, khilafah sebagai tawaran untuk solusi berbagai problem umat, bangsa dan negara serta kelanjutan dan kemajuannya. Maka dari itu, HTI seringkali menjadi objek atau sasaran paling empuk untuk dijadikan incaran orang yang membencinya untuk dijadikan sebagai sasaran dan santapan "kambing hitam" terhadap berbagai kemelut dalam kehidupan pemerintahan demokrasi yang tengah berlangsung dewasa ini. 

Musuh bersama bangsa ini adalah pahan ateis, komunisme, dan marxisme leninisme, bukan agama atau bagian ajaran agama tertentu, termasuk khilafah. Jika pemerintah mampu melihat secara objektif, di tubuh parlemen sendiri terdapat anggota DPR yang secara terang-terangan mengaku sebagai anak PKI yang menganut ideologi komunis, bukankah itu lebih layak disebut "penumpang gelap" yang menyimpang dari ideologi yang diusung dalam tubuh pemerintahan demokrasi ini? Akan tetapi, faktanya pemerintah tidak pernah menunjukkan sikap reaktif untuk memberantasnya dan bahkan terkesan melakukan "pembiaran". Benarkah begitu? Tentu membutuhkan riset yang lebih detai untuk memastikan kebenaran yang 100%, namun dugaan oleh beberapa kalangan memang mengesankan demikian adanya.

Terkait dengan aksi damai mengecam Pemerintahan India yang sewenang-wenang terhadap umat Islam itu, semua peserta dalam aksi tersebut adalah komunitas dari kaum muslimin secara umum, bukan kelompok tertentu. Mereka memiliki kesamaan misi dan bersepakat dengan tujuan untuk membela kaum muslimin India, mengkritik serta mengecam sikap pemerintah yang dinilai terkesan absen terhadap kekejaman umat hindu India, dengan seruan oleh peserta aksi yakni menyuarakan bahwa solusi satu satunya untuk menyelamatkan umat Islam di India adalah dengan menegakan sistem Islam Khilafah Islamiyyah. Mereka berpikir bahwa khilafahlah yang akan mampu menjadi pembela dan pelindung umat Islam dari aksi penindasan hingga pembantaian dari rezim Hindu anti Islam di India. Saya kira, sebagai umat Islam yang memiliki ajaran Islam tentang sistem khilafah, hal itu sah dan wajar mereka mengajukan wacana demikian, yang penting tidak ada pemaksaan dan penggunaan kekeraasan.

Jika bercermin dengan sejarah Pemerintahan Islam, yang disebut "penumpang gelap" adalah kelompok atau sekte yang membelot dari pemerintahan seorang Khalifah yang telah ditetapkan, salah satu dari kelompok ini yang sudah banyak dikenal yaitu kelompok Khawarij yang memberi banyak pengaruh terhadap gerakan ekstremisme dalam tubuh Islam di masa kepemimpinan Khalifah Ali bin Abu Thalib. Keberadaan mereka inilah yang menjadi awal membawa potret ajaran Islam yang rahmatan lil alamin menjadi wajah yang intoleran yang hari ini gencar dipropagandakan oleh para pembenci Islam. 

Permasalahan yang kemudian timbul adalah ketika institusi Pemerintah saat ini seakan menyamakan gerakan-gerakan dakwah kaum muslimin yang ikhlas dan lantang dalam menyuarakan aspirasinya dengan ide-ide dan sudut pandang Islam, seperti penyeruan sistem khilafah untuk negeri ini dianggap layaknya gerakan kaum Khawarij sebagai pemberontak radikal dan ekstrimis yang membelot dari pemerintah dan ketetapan UUD 1945 dan Pancasila.

Sementara itu, pada prinsip negara demokrasi sendiri, tidak ada ketentuan UU yang melarang penggunaan kata khilafah sebagai ajaran dan cita-cita umat Islam karena secara fikih terbukti bahwa khilafah adalah ajaran Islam. Ajaran Islam jelas tidak mungkin bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945. Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa yang penting adalah tidak ada penggunaan pemaksaan dan kekerasan apalagi makar. Oleh karena itu hendaknya Pemerintah lebih terbuka dalam meningkatkan literasi ajaran Islam di negara yang mengaku sangat menjunjung prinsip-prinsip demokrasi ini.

B. Keberadaan "Penumpang Gelap" yang selalu dianggap sebagai perusak sistem demokrasi yang telah dianggap mapan.

Konon demokrasi merupakan sistem yang sudah final untuk dianut di Indonesia karena dinilai lebih baik dibandingkan sitem-sistem sebelumnya. Hal ini tercermin dari sistem pemerintahan yang disebut-sebut dijalani bangsa Indonesia dengan pemilihan calon legislatif yang dipilih melaui pemilihan umum, kekuasaan berada di tangan rakyat, pemerintah berada di tangan rakyat, kebebasan pers, kebebasan mengeluarkan pendapat dan lain sebagainya. 

Namun, dengan segala prinsip yang disebutkan di atas muncul pertanyaan apakah demokrasi di Indonesia sudah berjalan dengan prinsip-prinsip semestinya? Apakah demokrasi di Indonesia sudah benar-benar demokrasi yang sesungguhnya? Apakah demokrasi yang dijalankan sudah mampu dinilai mapan? Ternyata kesemuanya hingga kini belum ada bukti secara riil untuk membenarkannya, sehingga hal tersebut memunculkan suatu kesadaran masyarakat yang salah satunya dituangkan melalui koreksi dan aksi unjuk rasa atau media lainnya.

Sikap pemerintah yang kerap dinilai arogan dan represif terhadap kritikan atau aspirasi warga negara atas realitas dari kondisi penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang diagungkan adalah serangkaian bukti bahwa sistem pemerintahan demokrasi sendiri belumlah konsisten apalagi layak dikatakan mapan. Keberadaan warga negara yang memiliki kesadaran dan tingkat kritisisme serta aspirasi berupa ide-ide yang cemerlang untuk perubahan guna kemajuan bangsa bahkan seringkali dinilai sebagai "Penumpang Gelap" yang membelot dari konstitusi yang dianggap sudah harga mati.

Pada kenyataan sejarah telah terbukti bahwa sejatinya konstitusi bukanlah harga mati. Di mana pun negara bangsa dunia berada, tidak mengenal konstitusi harga mati karena perkembangan masyarakat sangat dinamis, baik di tingkat lokal maupun internasional. Perubahan internal dan eksternal negara bangsa akan sangat memungkinkan terjadinya perubahan sebuah konstitusi. Cepat atau lambat. Terhadap perubahan sebuah konstitusi tentu setiap komponen anak bangsa akan berbeda pandangan terkait dengan cara mengubah dan substansi yang akan diubahnya.

Memang benar, pada Pasal 37 UUD NRI 1945 telah ditegaskan bagaimana cara mengubah dan apa saja yang disepakati untuk tidak diubah, namun wacana untuk mengubah konstitusi jelas tidak dilarang. Ini adalah bagian dari hak rakyat atau kelompok rakyat untuk melakukan kritik yang bersifat membangun. Bukankah Indonesia tergolong sebagai negara yang disebut sebagai the open society dalam perspektif Karl Raimund Popper? Dalam negara the open society, maka kritik tidak boleh dianggap sebagai enemy, musuh yang harus diperangi, melainkan sebagai cara lain dalam membangun. Oleh karena itu, menuduh pihak tertentu sebagai penumpang gelap dalam sebuah negara demokrasi oleh karena pihak tersebut mengajukan berbagai kritik kepada pemerintah adalah tindakan yang terkesan ceroboh dan sangat keji. Apalagi hal itu disematkan akibat adanya phobia terhadap simbol agama atau ajaran tertentu.

C. Dampak Phobia Penumpang Gelap Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia.

Setiap ada kegiatan dari masyarakat yang dinilai tidak sejalan dengan rezim yang berkuasa, di situ juga kerap dicari-cari kesalahan sebagai alasan untuk menggagalkannya. Tudingan “penumpang gelap” kepada peserta aksi khususnya kepada umat pembawa ide Islam(Khilafah) selalu saja terjadi. Padahal Khilafah itu hanya baru berupa sebuah wacana yang hendak ditawarkan. Bukannya diajak berdiskusi secara sehat dan ditampung aspirasinya, pemerintah malah terkesan mengalami phobia atau ketakutan tingkat tinggi terhadap kelompok umat pembawa ide Khilafah yang mereka sebut sebagai “Penumpang Gelap" ini, yang akan memunculkan sekat dan ketidakharmonisan tersendiri antara pemerintah dengan golongan masyarakat yang mendakwahkannya.

Khilafah sendiri merupakan bagian dari ajaran Islam yang merupakan bagian pokok yang dipelajari dalam KITAB FIKIH, misalnya di Kitab Fiqh Islam yang disusun oleh H Sulaiman Rasjid. Dalam Kitab itu Kitab Al-Khilafah dibahas pada Bab XV mulai halaman 495 s/d 507. Mendakwahkan ajaran Islam kepada siapa pun dengan baik justru melaksanakan nilai moral Pancasila khususnya nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan seharusnya juga tidak dapat dikatakan MELANGGAR HUKUM. 

Organisasi keagamaan ataupun ormas boleh berusaha mengarahkan perilaku hidup manusia Indonesia menjadi insan yang berperilaku baik dengan cara mengajak untuk dekat dan merasa diawasi oleh Alloh Tuhannya. Bila unsur tauhid ini sudah tertanam dalam sanubari insan Indonesia, maka akan sangat mudah membentuk pribadi-pribadi yang baik. Pribadi baik inilah yang akan menjadi basis untuk dapat menegakkan hukum sebaik-baiknya. Sebaliknya, bila ajaran Islam tidak diserukan, didakwahkan dengan baik maka mustahil manusia akan merasa takut kepada Allah. 

Bila dengan Tuhan saja tidak takut, apalagi dengan manusia dan hukum-hukum ciptaannya. Di sini cikal bakal asal kejahatan dari para PENUMPANG GELAP yang sesungguhnya itu tumbuh subur, seperti prilaku tindak pidana korupsi yang marak dilakukan oleh pengampu pemerintahan sendiri.

Bila aksi-aksi kritik dan aspirasi yang membangun justru ditempatkan sebagai enemy, bahkan dikatan sebagai ujaran kebencian dan nilai sebagai aksi Penumpang Gelap yang melakukan kejahatan, maka bisa dipastikan bahwa rezim yang tengah berkuasa adalah rezim yang represif. Lebih suka memukul dari pada merangkul. Lebih suka menggebuk dari pada mengajak berembuk. Akhirnya UU ITE berubah dari fungsinya untuk mengendalikan kejahatan di bidang transaksi elektronik menjadi semacam UU Subversif yang telah lama kita tinggalkan. Dan akan semakin menampakkan sebuah ambiguitas dan ketidakkonsistenan oleh pemerintah sebagai pihak penyelenggara negara terhadap prinsip atau program Pemerintahan yang dijalankan.

Hukum seringkali menjadi sebuah mantra ajaib yang dapat dipakai oleh penguasa sebagai sarana melanggengkan kekuasaannya (status quo). Mantra ini bisa mengoyak siapapun penghalang yang menghadang kekuasaan. Dengan dalih atas nama hukum semua mulut yang terbuka bisa dibungkam, tangan yang membentang bisa diringkus dan langkah kaki pun bisa dihentikan. Maka kemudian jika dinilai hukum dipakai hanya sebagai tameng kekuasaan yang biasa disebut sebagai alat legitimasi kekuasaan. Oleh Brian Z Tamanaha disebut sebagai THE THINNEST RULE OF LAW.

MANTRA ROL paling tipis ini akan lebih dahsyat lagi ketika diilhami oleh ideologi yang diklaim sebagai sosok mulia laksana berhala yang hendak disembah-sembah lantaran dianggap sebagai kalimah suci yang dianggap mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Ideologi suci dan Mantra ROL telah berkolaborasi menikam jantung misi negara hukum itu sendiri. Misi negara hukum kita pun bukan sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama BLACK LETTER LAW, namun lebih menuju pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill) dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam HUMAN RIGHT DIGNITY.

Lompatan raksasa dari misi ROL yang tertinggi adalah, tidak sekedar berorientasi pada legitimacy dan human right dignity tetapi pada misi untuk mewujudkan SOCIAL WELFARE. Ini yang disebut sebagai THE THICKEST ROL. Hal ini tentu tidak mungkin bisa dicapai ketika jalan menuju NEGARA HUKUM justru secara paksa dibelokkan (BIFURKASI) ke arah NEGARA KEKUASAAN. Jurang tengah menanti jatuhnya negara hukum ketika pilar-pilar negara hukum mulai dirobohkan oleh penguasa yang hendak melanggengkan dan mengokohkan tampuk kepemimpinannya. Pembubaran ormas yang tidak ditempuh melalui DUE PROCESS OF LAW nampaknya turut berkontribusi menggiring negara hukum itu ke bibir jurang negara kekuasaan itu.

D. Strategi yang Dapat Ditempuh Untuk Mengatasi Adanya Penumpang Gelap dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia?

Stigmatisasi "Penumpang Gelap" yang dilakukan oleh pemerintah, yang cenderung menyasar kelompok masyarakat yang terlibat dalam gerakan dakwah menyampaikan ajaran yang mulia merupakan suatu langkah yang tidak perlu dan tidak pantas dilakukan oleh suatu pemerintahan demokratis. Sedangkan fakta keptihatinan kita bersama atas banyaknya kader-kader partai dalam tubuh perlemen yang terbukti melakukan tipikor (tindak pidana korupsi), jual beli jabatan bahkan ada yang mengemban ideologi komunis yang menyalahi nilai-nilai Pancasila serta konstitusi itulah sebenarnya yang berpotensi dapat merubah wajah dan sifat konstitusi justru tidak pernah sekalipun distempeli oleh pemerintah dengan sebutan "Penumpang Gelap". Adilkah keadaan ini?

Bagaimana bisa rakyat berharap adanya sebuah keadilan bila pemerintahan dan aparat hukum dalam sistem demokrasi sendiri justru tidak mampu bersikap secara objektif dalam menunjukkan sikap yang seharusnya mengayomi masyarakat dalam menjalankan insitusi dalam kehidupan bernegaranya. Prinsip equality before the law tampak terciderai ketika perlakuan berbeda atau diskriminatif diterapkan.

Jika saja pemerintah mampu konsisten dengan azas 'Kedaulatan Ada di Tangan Rakyat' yang menjadi ruh dari penyelenggaraan sistem demokrasi, maka sikap arogan dengan tudingan berupa sebutan" Penumpang Gelap" kepada masyarakat yang menyuarakan aspirasinya hendaknya akan lebih baik dihindari. 

Demikian juga dengan aparat, harus memahami hakikat unjuk rasa atau penyampaian pendapat dalam bentuk lain adalah sebagai sarana bagi warga untuk menyuarakan isi hati dan pikirannya yang juga dijamin oleh Undang-undang. Di mana aparat negarapun harus sadar terhadap ajaran Islam. Biarkan masyarakat unjuk rasa yang penting bisa berjalan damai dan tidak rusuh. Kewajiban polisi adalah mengamankan aksi, bukan melakukan persekusi dan represi, apalagi "memanas-manasi" suasana aksi.

Kendati demikian, sebaik-baik sebuah institusi sistem pemerintahan yang dijalankan adalah apabila didasari oleh ideologi shahih dan akidah Islam. Di mana menempatkan kedaulatan pada hukum-hukum Allah yang sebaik-baik pembuat hukum. Hukum manusia dan hak masyarakat tetap dijamin dalam melakukan koreksi atau aspirasi selama tidak bertentangan dengan ketentuan hukum-hukum Syara'.

Penumpang Gelap dalam pandangan Islam adalah orang atau kelompok yang mengaku Islam namun berprilaku ataupun bergerak di luar garis yang diajarkan Islam. Sungguh di negeri ini banyak sekali yang lebih layak disebut dengan istilah dan sebutan Penumpang Gelap. Orang-orang Liberal, para Kapitalis dan Sekuleris yang menjadikan Islam sebagai identitas atau status agamanya, namun sikap perilaku dan kebijakan yang diterapkannya sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Bahkan di negeri ini juga terdapat Penumpang Gelap lainnya seperti kaum Komunis yang keberadaannya bagai bergerak di bawah tanah, tidak terlihat namun kenyataannya memang ada (latent).

Penutup

Para tokoh pemerintahan acapkali menyebut istilah “penumpang gelap” sebagai kelompok yang berpotensi sebagai dalang dan biang kerusuhan pada suatu agenda aksi unjuk rasa atau kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Namun, definisi atau arti dari "penumpang gelap" secara baku oleh pemerintah saja ternyata tidak ada, yang ada malah begitu terkesan lentur dan absurd. Bagaimana tidak, tatkala yang dianggap "penumpang gelap" tersebut cenderung menyasar orang-orang atau kelompok masyarakat yang cenderung aktif dan masif dalam mengkritik sejumlah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai berjalan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diagung-agungkan.

Dalam sejarah Pemerintahan Islam, yang disebut "penumpang gelap" adalah kelompok atau sekte yang membelot dari pemerintahan seorang Khalifah yang telah ditetapkan, salah satu dari kelompok ini yang sudah banyak dikenal yaitu kelompok Khawarij yang memberi banyak pengaruh terhadap gerakan ekstremisme dalam tubuh Islam di masa kepemimpinan Khalifah Ali bin Abu Thalib. Keberadaan mereka inilah yang menjadi awal membawa potret ajaran Islam yang rahmatan lil alamin menjadi wajah yang intoleran yang hari ini gencar dipropagandakan oleh para pembenci Islam. 

Pemerintah terkesan mengalami phobia atau ketakutan tingkat tinggi terhadap umat atau para pihak yang mendakwahkan ide Khilafah bahkan mereka distempeli sebagai “Penumpang Gelap". Keadaan ini justru berpotensi akan memunculkan sekat dan ketidakharmonisan tersendiri antara pemerintah dengan golongan masyarakat yang mendakwahkan ajaran Islam.

Khilafah sendiri merupakan bagian dari ajaran Islam yang merupakan bagian pokok yang dipelajari dalam KITAB FIKIH. Bila ajaran Islam tidak diserukan, didakwahkan dengan baik maka mustahil manusia akan merasa takut kepada Allah. Bila dengan Tuhan saja tidak takut, apalagi dengan manusia dan hukum-hukum ciptaannya. Di sini cikal bakal asal kejahatan dari para PENUMPANG GELAP yang sesungguhnya itu tumbuh subur, seperti perilaku tindak pidana korupsi yang marak dilakukan oleh pengampu pemerintahan sendiri.

Bila aksi-aksi kritik dan aspirasi yang membangun justru ditempatkan sebagai enemy, bahkan dikatan sebagai ujaran kebencian dan nilai sebagai aksi Penumpang Gelap yang melakukan kejahatan, maka bisa dipastikan bahwa rezim yang tengah berkuasa adalah rezim yang represif. Akhirnya UU ITE berubah dari fungsinya untuk mengendalikan kejahatan di bidang transaksi elektronik menjadi semacam UU Subversif yang telah lama kita tinggalkan. Dan akan semakin menampakkan sebuah ambiguitas dan ketidakkonsistenan oleh pemerintah sebagai pihak penyelenggara negara terhadap prinsip atau program Pemerintahan DEMOKRATIS yang dijalankan.

Sungguh di negeri ini banyak sekali yang lebih layak disebut dengan istilah dan sebutan Penumpang Gelap. Orang-orang Liberal, para Kapitalis dan Sekuleris. Bahkan, di negeri ini juga terdapat Penumpang Gelap lainnya seperti kaum Komunis yang keberadaannya bagai bergerak di bawah tanah, tidak terlihat namun kenyataannya memang ada. Umat Islam tidak ingin menjadi penumpang gelap karena secara tulus memiliki misi mewujudkan negara ini menjadi bahtera utuh menuju negeri pulau yang baldatun toyibatun warobun ghofur. Andai pun ada bahtera demokrasi yang retak, saya yakin bukanlah umat ini perompaknya lantaran menjadi penumpang gelapnya.

Oleh Prof Suteki, Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar