Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Status Darurat Sipil dalam Tinjauan Hukum


[Catatan Hukum Atas Strategi "Perang Melawan Virus Covid-19" yang diadopsi Presiden Jokowi]


Hari ini, Senin (30/3), Publik dikejutkan dengan pidato resmi Presiden Jokowi Terkait Strategi Pemerintah dalam melakukan 'Perang' melawan virus Covid-19. Ada dua hal penting yang disampaikan dalam Pidato Presiden.

Pertama, Presiden Jokowi mengumumkan Pemerintah mengadopsi kebijakan menetapkan status bencana virus Covid-19 ini dengan status Pembatasan Sosial Berskala Besar. Status ini merujuk ketentuan pasal 1 ayat 11 Jo. Pasal 59 dan pasal 60, UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Didalam ketentuan pasal 1 angka 10 disebutkan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu
wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.

Sementara itu, tindakan yang bisa diambil pemerintah dalam status Pembatasan Sosial Berskala Besar berdasarkan ketentuan pasal 59 ayat (3), meliputi :

a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Padahal, tanpa pengumumaan status Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh Presiden, selama ini Dinas Pendidikan di banyak Provinsi dan Daerah Kota atau Kabupaten telah melakukan peliburan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Aktivitas Keagamaan yang bersentuhan dengan interaksi sosial juga sudah lama dihimbau oleh lembaga-lembaga Keagamaan agar sementara waktu ditiadakan dan dilakukan dirumah.

Dinas Pendidikan DKI Jakarta telah menetapkan pelaksanaan Kegiatan Belajar di rumah sejak tanggal 14 Maret 2020. Gubernur DKI Jakarta Anies Bawedan mengimbau kepada orangtua para pelajar untuk tidak mengizinkan anaknya bepergian keluar rumah setelah ditetapkan libur bagi sekolah di Ibu Kota.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat secara resmi juga mengumumkan untuk meniadakan aktivitas belajar mengajar siswa PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA di wilayah Jabar. Pemberlakuan kebijakan belajar di rumah tersebut berlangsung selama dua pekan, dimulai sejak 16 Maret 2020 hingga 30 Maret 2020 mendatang.

Bahkan, Pemprov Jabar melalui Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jabar memperpanjang pelaksanaan Proses Belajar Mengajar (PBM) di rumah hingga 13 April mendatang.

Banyak lagi Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten atau Kota lainnya yang juga memberlakukan kebijakan sama. Meliburkan siswa agar melakukan kegiatan belajar dirumah masing-masing.

Adapun Lembaga Keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), telah mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tanggal 19 Maret 2020, sebagai panduan umat muslim mencegah penyebaran virus korona, termasuk soal ibadah wajib di masjid seperti salat Jumat.

Kemudian, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) juga mengimbau agar ibadah dilaksanakan melalui siaran langsung secara online sehingga mengurangi pertemuan tatap muka demi penyebaran wabah virus corona tipe 2 yang menyebakan covid-19. (15/3).

Bahkan, Pemerintah juga sudah memberlakukan kebijakan Sosial Distacing yang kemudian diralat dengan kebijakan Physical Distancing

Artinya, Tanpa Pengumumaan Status Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh Presiden, secara substansial Pemerintah telah melakukan sejumlah tindakan yang memenuhi aktivitas Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 6 Tahun 2020.

Padahal, publik sebenarnya menunggu Pemerintah mengumumkan status Karantina Wilayah atau lebih dikenal dengan istilah Lockdown, baik secara lokal maupun nasional. Sebab, persoalan virus Covid-19 ini perkembangannya sudah sangat mengkhawatirkan. 

Hingga tanggal 30 Maret 2020, jumlah korban Covid-19  mencapai 1.414 orang, dengan 122 orang korban meninggal dunia dan 75 orang selamat (sembuh).

Publik meyakini, cara paling efektif untuk memutus rantai transmisi penyebaran virus Covid-19 adalah dengan melakukan Lockdown.

Memang benar, Lockdown atau Karantina Wilayah mewajibkan Pemerintah menjamin kebutuhan hidup dasar orang dan hewan ternak pada saat dilakukan Lockdown, sebagaimana diatur dalam pasal 55 UU Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Karena itu, tidak salah jika publik berpraduga Pemerintah tidak memberlakukan kebijakan Lockdown Karena khawatir dan tidak mau menunaikan kewajiban menjamin kebutuhan hidup dasar rakyat selama masa Lockdown.

Padahal, secara faktual virus Covid-19 ini tidak dapat lagi dicegah dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Harus dilakukan Lockdown.

Terakhir, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyarankan pemerintahan Joko Widodo segera melakukan lockdown atau karantina kewilayahan secara total di seluruh penjuru negeri sebagai upaya menghentikan dan memutus mata rantai penyebaran virus corona (Covid-19). (23/3).

Kedua, Presiden berencana menerbitkan status Darurat Sipil. Menurut Presiden status tersebut diperlukan agar kebijakan Physical Distancing dapat diterapkan secara tegas, disiplin, dan efektif. 

Itu artinya, Presiden hendak menggunakan kekuatan militer dan polisi untuk memaksa dipatuhinya kebijakan Physical Distancing. Karena dengan status Darurat Sipil, Presiden bisa memobilisir kekuatan TNI dan Polri secara langsung.

Hanya saja, nampaknya presiden belum membaca secara utuh dasar Pemberlakuan Status Darurat Sipil sebagaimana diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Perppu A Quo disebutkan bahwa :

(1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:

1. keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau disebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;

2. timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;

3. hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Dari 3 (tiga) kondisi ditetapkannya status Darurat Sipil atau Darurat Militer, tidak ada satupun yang menyebutkan alasan berjangkitnya wabah penyakit (dalam hal ini virus Covid-19), yang menjadi dasar penetapan.

Satu-satunya alasan yang memungkinkan dijadikan alasan Presiden Jokowi adalah ketentuan pasal 1 ayat (1) angka 3 yang menyebutkan :

"hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara".

Tentu saja alasan ini tak bisa digunakan karena telah dikesampingkan dengan terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. 

Didalam UU ini disebutkan bahwa Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. (Pasal 1 angka 1).

Sementara di Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian Kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah
atau lintas negara.

Artinya, darurat yang disebabkan oleh virus Covid-19 adalah Darurat Kesehatan bukan Darurat Sipil. Dalam hal ini, UU Nomor 6 Tahun 2018 mengesampingkan ketentuan Perppu Nomor  23 Tahun 1959, berdasarkan Kaidah Hukum "LEX SPESIALIS DEROGAT LEX GENERALIS".

Artinya, Presiden dalam menangani kasus Kedaruratan akibat wabah virus Covid-19 wajib terikat dengan UU Kekarantinaan Kesehatan, bukan Perppu  Keadaan Bahaya.

Terlebih lagi, untuk menerapkan Darurat Sipil Presiden tak dapat lagi merujuk Perppu Nomor 23 Tahun 1959, karena meskipun belum dibatalkan Substansi Norma Perppu ini sudah Kadaluarsa.

Misalnya, dalam ketentuan pasal 3 ayat (2) Perppu Nomor 23 Tahun 1959, Disebutkan bahwa dalam melakukan penguasaan keadaan darurat sipil/keadaan darurat militer/keadaan perang, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari:

1.Menteri Pertama;

2. Menteri Keamanan/Pertahanan;

3. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;

4. Menteri Luar Negeri;

5. Kepala Staf Angkatan Darat;

6. Kepala Staf Angkatan Laut;

7. Kepala Staf Angkatan Udara;

8. Kepala Kepolisian Negara
 
Merujuk Perppu A Quo, siapa yang dimaksud "Menteri Pertama?". Apakah ada Nomenklatur Menteri Pertama Pada Kabinet Kerja Jokowi Jilid II ?

"Dalam penjelasan di Perppu, kita hanya diminta Periksa Penjelasan Umum angka 4. Sama dasarnya dengan yang berlaku bagi penguasa keadaan 10490 bahaya pada tingkat pusat."

"Disebutkan Unsur militer Lebih tampil kemuka daripada dalam keadaan darurat sipil. Dicatat bahwa penetapan jenis dan luas daerah-hukum sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini, diserahkan kepada Presiden yang barang tentu akan memutus setelah mendengar pertimbangan para pembantunya sebagai yang disebut dalam ayat (2) pasal 3."

"Dari ayat (1) pasal ini jelas juga bahwa, tidak selalu seorang Komandan dari Angkatan Darat yang akan ditunjuk sebagai Penguasa Darurat Militer. Dan jika masih dianggap perlu agar kepentingan Angkatan/Angkatan-angkatan lainnya diwakili pula dalam, penyelenggaraan penguasaan keadaan bahaya atas suatu daerah tertentu, maka dapat diadakan pengluasan daripada susunan yang tergambar dalam ayat (2)."

"Masih menurut penjelasan, Lagipula tidak tertutup kemungkinan untuk sama sekali menyimpang dari pola yang terlukis dalam ayat (2). Dengan rumusan yang termuat dalam ayat (1) dan dalam ayat (4) Pemerintah bermaksud pula untuk memberikan dasar bagi penetapan suatu keadaan dalam mana suatu daerah "istimewa" (lautan atau daratan -ataupun di-udara) berada dalam keadaan bahaya dibawah penguasa seorang Komandan Angkatan Laut atau Angkatan Udara."

Itu artinya, untuk menerapkan kebijakan Lockdown (Karantina Wilayah) ataupun Darurat Sipil Pemerintah memerlukan revisi sejumlah UU. Jika tidak memungkinkan, maka Presiden membutuhkan Perppu untuk mengeksekusinya.

Sayangnya, Presiden selama ini mengabaikan aspirasi publik. Baik terkait aspirasi untuk memberlakukan kebijakan Lockdown maupun aspirasi menerbitkan Perppu untuk menanggulangi musibah mewabahnya virus Covid-19. 

Penulis khawatir, Pidato Presiden ini akan diralat dan ditinjau ulang karena tidak melalui sejumlah kajian yang komprehensif. Sayang sekali jika hal ini sampai terjadi, sebab disituasi genting seperti ini semestinya Presiden tidak boleh keliru mengambil Kebijakan.[]

Oleh : Ahmad Khozinudin, SH
Ketua LBH Pelita Umat

Posting Komentar

0 Komentar