LOCKDOWN: Benarkah Menjadi Solusi atau Sekadar Mimpi?


Menyedihkan. Jumlah penderita Covid-19 di Indonesia kian meningkat. Hingga Senin (23/3), jumlah kasus positif virus Corona di Indonesia menjadi 579 kasus dan 49 orang meninggal dunia. Di tengah ancaman penularan virus mematikan, kelelahan mendera dan Alat Pelindung Diri (APD) yang tidak memadai, satu persatu paramedis pun berjatuhan. Bahkan beberapa dokter dan perawat garda terdepan penyembuhan pasien Covid-19 telah wafat sebagai pahlawan husada.  

Dari awal, rerata tenaga medis memang mengeluhkan minimnya APD yang standar penanganan Covid-19. Ibarat disuruh pasang badan tapi tidak dilengkapi dengan alat berperang. Tidak imbangnya ketersediaan ADP dengan jumlah pasien, membuat mereka mengenakan perlengkapan ala kadarnya seperti jas hujan atau kantong plastik sebagai pengganti baju hazmat atau pelindung badan.

Di sisi lain. Belum semua masyarakat memiliki kesadaran untuk meminimalkan penularan penyakit. Di berbagai wilayah, suasana tidak banyak berubah. Memang banyak sekolah diliburkan, akan tetapi kantor, tempat usaha, pusat perbelanjaan, dll. masih banyak beraktivitas. Beberapa kerumunan juga masih digelar. 

Wajar jika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta pemerintah segera menerapkan kebijakan lockdown atau isolasi diri. IDI berpendapat, cara itu merupakan langkah efektif untuk menekan penyebaran Covid-19 alias Corona. Menurut IDI, Indonesia perlu waspada mengingat ada potensi fenomena gunung es berkenaan dengan virus tersebut. 

Ada kemungkinan penambahan jumlah pasien secara signifikan jika pandemi ini tidak ditangani secara serius. Terlebih jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) dan positif Corona terus meningkat secara nasional. (republika.co.id, 22/3/2020)

Lockdown secara harfiah artinya dikunci. Jika istilah ini digunakan pada masa pandemi penyakit seperti sekarang, lockdown bisa diartikan sebagai penutupan akses masuk maupun keluar suatu daerah yang terdampak. Saat ini, beberapa negara telah memberlakukan kebijakan ini untuk mencegah penyebaran Covid-19 lebih meluas. 

Negara tersebut antara lain Spanyol, Itali, Perancis, Malaysia, Belanda dan Belgia. Lalu, akankah Indonesia menyusul negara-negara lainnya menerapkan kebijakan serupa?


/ Lockdown, Mengapa Tak Dilakukan?/

Meski beberapa kalangan mendesak pemerintah untuk menerapkan kebijakan lockdown, namun pemerintah memastikan tidak akan mengambil opsi lockdown di tengah virus Covid-19 yang semakin masif. Beralasan langkah ini sebagai bentuk kepedulian terhadap nasib rakyat, agar aktivitas ekonominya tetap berjalan. 

Karena Indonesia memiliki pekerja lapangan yang tinggi dimana mereka hidup menggunakan upah harian. Sehingga lockdown akan membahayakan terhadap roda ekonomi masyarakat. Menurut pemerintah, langkah paling efektif yang bisa diterapkan ialah social distancing atau menjaga jarak sosial antarmasyarakat.

Alasan pemerintah tidak mau lockdown demi ekonomi masyarakat ini tak diamini oleh sebagian kalangan. Mereka justru mempertanyakan apakah selama ini rezim memang sering memikirkan ekonomi rakyat. Di tengah penarikan berbagai macam pajak, kenaikan tarif listrik, pemaksaan iuran BPJS, dll., dapatkah dikatakan jika penguasa peduli pada rakyatnya? 

Maka ada dugaan bahwa tidak bersedianya pemerintah melakukan lockdown lebih karena lemahnya kehendak dalam mengelola kepentingan rakyat, juga keterbatasan dana yang dimiliki saat ini. Tak dipungkiri, Indonesia tengah mengalami badai ekonomi. Bahkan baru saja Bank Dunia menyetujui pinjaman sebesar US$300 juta atau setara Rp4,95 triliun dalam rangka mendukung pemerintah mempercepat reformasi di sektor keuangan demi mencapai target pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. 

Padahal lockdown bukan hal baru dalam perundang-undangan di Indonesia. UU Nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan dalam pasal 53, 54 dan 55 bicara tentang karantina wilayah. Inilah yang disebut lockdown. 

Syaratnya, harus ada penyebaran penyakit di antara masyarakat sehingga harus dilakukan penutupan wilayah untuk menangani wabah tersebut. Wilayah tersebut diberi tanda karantina, dijaga aparat. Anggota masyarakat tidak boleh keluar masuk wilayah yang dibatasi. Jika lockdown diterapkan, tak satupun bisa keluar rumah. Ada petugas yang akan menjaga supaya aturan tersebut dipatuhi. 

Dan sebagaimana diatur dalam pasal 55 UU Nomor 6 tahun 2018, seharusnya masyarakat tidak perlu khawatir atas kebijakan lockdown. Sebab semua kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina (lockdown) dijamin sepenuhnya oleh pemerintah. 

Idealitas dalam Undang-undang tersebut tak akan pernah terwujud jika kehendak melayani rakyat bukanlah “ruh” yang dimiliki penguasa. Apalagi wajah penguasa hari ini bercorak kapitalis dan terbiasa menjalankan pemerintahan ala korporatokrasi. Dalam sistem kapitalisme liberal, pertimbangan untung rugi menjadi prioritas utama. Tak lagi bicara atas nama kepentingan tau kemashlahatan rakyat. 

Jika yang dikhawatirkan dengan adanya lockdown adalah berpengaruh pada ekonomi, memang pasti akan berdampak. Ekonomi akan mandeg bahkan terpuruk. Tapi in syaa Allah semua itu bisa dipulihkan jika manusianya hidup, sehat dan terhindar dari serbuan virus Covid-19. 

Dan bicara keterbatasan dana, bukankah negeri ini dianugerahi sumber daya alam (SDA) yang luar biasa oleh Allah Swt? Yang jika dikelola negara secara baik dan benar maka harta milik rakyat ini hasilnya akan kembali pada rakyat untuk memenuhi kebutuhan  dan mengelola urusan kehidupan mereka. 

Jika demikian, tak selayaknya pemerintah mengeluh kekurangan dana sehingga solusinya dengan berutang pada luar negeri, menerima investasi swasta bahkan asing dan menarik pajak rakyat. Kembalikan pengelolaan SDA di tangan kita sendiri. Negara seyogyanya tak cukup sebagai regulator tapi sekaligus operator dalam mengelola kekayaan alam.

Sehingga terkait penanganan virus Covid-19, mana yang lebih diprioritaskan? Nyawa rakyat atau ekonomi? Sejatinya, pemerintah itu hendak menyelamatkan ekonomi rakyat atau kapitalis yang selama ini menguasai ekonomi negeri?  Menelisik pola pengelolaan negara ini selama ini, sepertimya mengorbankan nyawa tidak menjadi masalah asal urusan ekonomi (penguasa dan pengusaha) dan kekuasaan berada di tangan. 

Pertanyaan kami, bukankah negara hadir untuk melindungi sekaligus menyejahterakan rakyat? Bukankah kekuasaan dan ekonomi itu untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Jika rakyatnya mati, untuk apa pertumbuhan ekonomi? Bagi siapa kekuasaan terjadi?

/Lockdown Ala Islam: Solusi Pandemi/

Berbicara tentang lockdown memang masih menjadi 'debatable'. Baik di kalangan pemegang kekuasaan, tenaga medis, ulama dan rakyat. Ada yang menginginkan lockdown agar segera dilakukan, mengingat korban yang kian bertambah. Pun ada yang mengkhawatirkan ekonomi jika lockdown terjadi.

Namun jika kita menengok sejarah, karantina wilayah (lockdown) merupakan salah satu ajaran Islam. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, wabah penyakit bernama tha'un pernah menerpa kaum Muslimin. Seperti apa wabah tha'un itu?

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya yang berjudul Ath-Thibb an-Nabawi, secara bahasa, tha'un adalah sejenis wabah penyakit, demikian disebutkan dalam ash-Shihah. Sementara itu, di kalangan medis, tha'un adalah pembengkakan parah yang mematikan, menimbulkan rasa  dahaga yang amat parah dan rasa sakit luar biasa. Tubuh menjadi hitam, hijau, atau abu-abu.

Riwayat ini juga dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Kitab Al-Bidayah wa al-Nihayah. Menurut Imam al-Waqidi saat tha’un melanda seluruh negeri Syam, wabah ini telah memakan korban 25.000 jiwa lebih. Bahkan di antara para sahabat ada yang terkena wabah ini. Mereka adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, al-Harits bin Hisyam, Syarahbil bin Hasanah, Fadhl bin Abbas, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan dan Abu Jandal bin Suhail.

Diriwayatkan pada masa Umar bin Al Khaththab.

أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ. فَلَمَّا كَانَ بِسَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّأْمِ، فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ‏ ‏إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْه‏.

Khalifah Umar pernah keluar untuk melakukan perjalanan menuju Syam. Saat sampai di wilayah bernama Sargh, beliau mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin 'Auf kemudian mengabari Umar bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” (HR. Al-Bukhari).

Sebelumnya, Rasulullah Saw juga melakukan lockdown ketika terjadi wabah penyakit menular yaitu kusta. Sebagai langkah antisipasi, Rasulullah Saw melakukan karantina dan isolasi terhadap penderita kusta supaya penyakit tersebut tidak menular kemana-mana. Rasulullah Saw juga meminta untuk tidak mendekati atau pun melihat para penderita kusta tersebut.

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jauhilah orang yang terkena kusta, seperti kamu menjauhi singa.” (HR. al-Bukhari).

Rasulullah Saw juga pernah memperingatkan untuk lockdown kepada umatnya yaitu melarang mendekati wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya, jika sedang berada di tempat yang terkena wabah, mereka dilarang untuk keluar. Beliau bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

"Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu." (HR. Al Bukhari).
Inilah penjelasan singkat bahwa lockdown adalah ajaran Islam. Langkah lockdown ini efektif mencegah penularan wabah agar tidak merajalela. 

Alangkah baiknya pemerintah segera melakukan lockdown. Sekalipun saat melakukan penguncian interaksi pasti mempengaruhi kondisi ekonomi negeri. Tapi mau bagaimana lagi, bukankah lebih penting menyelamatkan nyawa manusia dari pada membahas soal hitung-hitungan materi dalam kacamata ekonomi.

Jikalau ekonomi ambruk,  in syaa Allah dapat dibangkitkan lagi ketika umat telah terbebas dari ancaman bawah virus Covid-19.

Sebagai bagian dari rakyat, kami mendamba lockdown sebagai solusi untuk segera mengakhiri penderitaan ini. Pelaksanaannya antara lain dengan: 

Pertama, menjaga perbatasan agar tidak ada warga asing yang masuk, atau pun warganegara yang keluar. Antarkota maupun provinsi juga dijaga ketat, tidak boleh ada lalu lalang. Lalu lintas dalam penjagaan agar lockdown berjalan sempurna. Jika ada yang keluar, ia mempunyai hajat syari. Semua beraktivitas di dalam rumah sambil bertaqarrub kepada Allah Swt agar wabah ini segera selesai.

Kedua, pemerintah harus menyiapkan dan menjamin kebutuhan pangan rakyat selama lockdown. Untuk masalah teknis jaminan pangan bisa menyesuaikan kondisi daerah masing-masing.

Ketiga, jaminan pelayanan kesehatan dan penjagaan terhadap tenaga medis. Untuk pasien yang telah positif Covid-19 agar mendapatkan pelayanan maksimal. Dan yang sedang dikarantina karena terduga terpapar virus juga mendapatkan pelayanan maksimal. Sehingga mereka diupayakan sembuh secara optimal.

Kurang lebih tiga poin di atas yang layak dipertimbangkan untuk dilaksanakan. Dalam kubangan sistem kapitalisme seperti sekarang, pemerintah tentu merasa kelimpungan mencari sumber dana untuk menyelenggarakan lockdown. Tetapi jika dalam sistem Islam, pelaksanaannya akan lebih mudah karena aset-aset strategis seperti SDA tidak dikuasai kapitalis asing dan melimpahnya SDA difokuskan untuk pelayanan umat.

Jika kita merindu terbebas dari wabah ini, maka solusi totalnya tak hanya dengan pelaksanaan lockdown, tetapi seiringnya, juga menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai sistem warisan Nabi Saw yaitu khilafah islamiyah 'ala minhajin nubuwah. Wallaahu a'lam.[]

Oleh: Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media) dan Ika Mawarningtyas( Analis Muslimah Voice) 

***Duet Dosol UNIOL DIPONOROGO 4.0 

Posting Komentar

0 Komentar