Konsekuensi Kalkulasi Ekonomi Ketika Pemerintah Mengambil Opsi Lockdown Berdasar UU No. 6 Tahun 2018


Virus corona covid-19 semakin tersebar tak terkendali. Pasien yang positif corona maupun orang dalam pemantauan semakin bertambah. Korban yang meninggal akibat virus tersebut juga semakin banyak. Mortality rate di indonesia akibat covid 19 juga masih termasuk tertinggi di dunia (8% lebih). Oleh karena itu, netizen tak henti-hentinya mengajak pemerintah untuk melakukan lockdown. Sekalipun physichal distanting sedang berlangsung, publik juga mendesak untuks segera dilakukan lockdown.

Opsi lockdown sejatinya sudah diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018. Ada beberapa macam karantina menurut UU No. 6 tahun 2018. Ada karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit, dan pembatasan sosial.

Pasal 1 poin 1 undang-undang itu mengatakan, “kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.”

Definisi karantina wilayah dijelaskan dalam poin 10 sebagai, “pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.”

Sementara definisi pembatasan sosial berskala besar terdapat pada poin 11, yakni “pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.”

Terkait penerapan kebijakan ini, Pasal 10 ayat (4) mengatakan harus melalui pembuatan Peraturan Pemerintah (PP).  Sementara aturan penyelenggaraan karantina di wilayah termuat dalam Pasal 49 ayat (1) sampai (3).

Pasal 49 ayat (1) menyatakan, “dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh Pejabat Karantina Kesehatan.”

Lalu ayat (2) menyatakan, “karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.”

Berkaitan dengan hal tersebut, LBH Jakarta melalui akun Twitter resmi menyampaikan situasi pandemi corona di Indonesia telah memenuhi kriteria sebagai situasi kedaruratan kesehatan masyarakat. Karenanya, penerapan karantina seharusnya dilakukan guna memotong rantai penyebaran pandemi corona. LBH Jakarta meningtkan jika opsi ini diambil maka pemerintah tidak boleh melupakan kewajiban yang harus ditunaikan. Lantas, apa saja tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pemerintah bila terjadi karantina wilayah?

Berdasarkan ketetuan Pasal 4, Pasal 6, Pasal 78, Pasal 80, dan Pasal 82 UU Kekarantinaan Kesehatan, ada beberapa hal dasar yang harus dipenuhi oleh pemerintah selama karantina wilayah diberlakukan.

Pertama, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggungjawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan; 

Kedua, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggungjawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan. 

Ketiga, pendanaan kegiatan penyenggaraan kekarantinaan kesehatan bersumber dari APBN, APBD, dan atau masyarakat. 

Keempat, penyelenggaraan informasi kekarantinaan kesehatan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 

Kelima, pemerintah pusat melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di wilayah dengan melibatkan pemerintah daerah.

Selama karantina wilayah terjadi, rakyat mendapatkan hak-hak yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Apa saja hak rakyat?

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 UU Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 5 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan juga merujuk pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rakyat mendapatkan hak selama karantina wilayah, antara lain:

1. Setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan;

2. Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayaan kesehatan dasar selama karantina;

3. Setiap orang mempunyai hak mendapatkan kebutuhan dasar medis selama karantina;

4. Setiap orang mempunyai hak mendapatkan kebutuhan dasar pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainya selama karantina;

5. Berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak oleh pemerintah, yang mana pelaksanaannya melibatkan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pihak terkait;

6. Bagi orang yang datang dari negara dan/atau wilayah Kedaruratan Kesehatan Mayarakat, ia mendapatkan pelayanan dari Pejabat Karantina Kesehatan yang meliputi (1) Penapisan, (2) Kartu Kewaspadaan Kesehatan, (3) Informasi tentang tata cara pencegahan dan pengobatan wabah, (4) Pengambilan spesimen/sampel, (5) Rujukan, (6) Isolasi.

7. Mendapatkan ganti rugi akibat mengalami kerugian harta benda yang disebabkan oleh upaya penanggulangan wabah.

Lock down menjadi opsi yang terus didengungkan oleh beberapa kalangan. Opsi ini ternyata jika berkaca pada UU menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah. Pada pasal 8 UU no 6 tahun 2018 maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainya selama karantina. 

Jika Indonesia mengambil opsi lockdown, yang menjadi pertanyaan serius adalah berapa stimulus yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat indonesia? Berikut akan kami ulas.

Pendekatan pertama adalah berdasarkan data yang ada. Data dari katadata.co.id (25/10, konsumsi beras nasional periode Januari-September 2018 mencapai 22,11 juta ton. Artinya, setiap bulan konsumsi beras nasional mencapai 2,5 juta ton atau 2,5 juta x103 kg. Jika harga beras diambil dengan harga HPP beras Bulog per 19 Maret 2020 yang mencapai Rp 8.300,- perkg, maka kebutuhan beras nasional perbulan mencapai Rp 20,75 trilyun. 

Berdasarkan data kementan (Kementrian Pertanian) 2018, kebutuhan telur nasional pada tahun 2018 perbulan mencapai 213.755 ton atau 213.755.000 kg per bulan. Maka dengan asumsi harga terul perkg mencapai Rp 25.000,-, maka kebutuhan telur nasional setiap bulan mencapai Rp 5.3 trilyun. 

Data kemendag (2019)  menyatakan bahwa kebutuhan minyak goreng nasional selama setahun mencapai 5.1 juta ton. Artinya kebutuhan minyak nasional minyak goreng per bulan mencapai 425 ribu ton. Dengan massa jenis 0.92 kg/m3, maka kebutuhan minyak goreng nasional perbulan mencapai 462 juta liter. Maka dengan asumsi harga minyak goreng Bimoli per liter Rp 15.500,-, maka kebutuhan minyak goreng nasional perbulan mencapai Rp 7.1 trilyun. 

Dengan demikian, jika Indonesia mengambil opsi lockdown dan harus memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya (makan nasi lauk telur), dibutuhkan dana segar hanya sekitar Rp 33.15 trilyun dalam waktu sebulan. Hemat bukan? 

Data BPS (2018) menyebutkan bahwa jumlah penduduk di Indonesia mencapai 260 juta jiwa. Jika seluruh kebutuhan pangan 260 juta jiwa rakyat indonesia ditanggung sebulan dengan asumsi kebutuhan makan  perhari setiap orang Rp 30.000,-. (harga nasi padang @Rp 10.000,0-), maka jumlah stimulus yang harus disiapkan oleh pemerintah mencapai Rp 7.8 trilyun saja. Lebih murah dari nasi telur kan? Lantas apa yang membuat pemerintah berat menjalankan UU sementara biaya stimulus tak sebanding dengan harga nyawa? Tidakkah pemerintah malu dengan pernyataan Presiden Akufo Addo yang menyatakan “we know how to bring the economy back to life. But we dont know is how to bring people back to life”.[]

Oleh Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice

Posting Komentar

0 Komentar