Buah Amal Kembali kepada Pelakunya



Segala perbuatan yang dikerjakan manusia pada hakikatnya akan kembali kepada manusia. Tatkala manusia mengerjakan perbuatan baik, sesungguhnya dia telah berbuat baik kepada dirinya sendiri. Demikian pula sebaliknya, ketika manusia mengerjakan perbuatan buruk, berarti dia telah berbuat buruk dan jahat terhadap dirinya sendiri. 

Kesimpulan ini didasarkan dalil yang amat banyak. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala: 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya (QS Fushilat [41]: 46).

Menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya berkata: Man ‘amila ‘amalan fa linafisihi, artinya sesungguhnya manfaatnya akan kembali kepada dirinya; waman asâ`a fa ‘alayhâ, artinya sesungguhnya keburukan itu juga akan kembali kepada pelakunya; wamâ Rabbuka bi zhullâm[in] li al-‘abîd, artinya Dia tidak menghukum seorang pun kecuali disebabkan oleh dosa, dan Dia tidak akan mengazab seorang pun kecuali telah tegak hujjah atasnya dan mengutus rasul kepadanya.”

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji (QS Luqman [32]: 12).

Menjelaskan ayat ini al-Baidhawi dalam tafsirnya berkata: Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Waman yasykur fainnamâ yasykur linafsihi, karena manfaatnya kembali kepada pelakunya, yakni terus berlanjutnya kenikmatan dan layak mendapatkan tambahan nikmat; dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Waman kafara fainnal-Lâh Ghaniyy[un], artinya Dia tidak membutuhkan syukur. Hamîd, artinya Dia layak dengan segala pujian, sekalipun tidak dipuji.

Juga firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya dia tidak menyukai orang-orang yang zalim (QS al-Syura [42]: 40).

Bertolak dari prinsip ini, dorongan manusia untuk beramal shalih menjadi amat kuat. Sebagaimana bekerja, seseorang akan bersemangat bekerja manakala pekerjaan yang dilakukan dapat memberikan hasil dan manfaat yang dapat dia nikmati. 

Sebaliknya, jika dia tidak memperoleh hasil atau tidak bisa menikmati hasil tersebut, tentulah dorongan bekerja itu sangat kecil. Itulah rahasianya, mengapa kita melihat dalam kehidupan sehari-hari manusia bersemangat dalam bekerja kendati tidak ada yang memerintah. Keyakinan dan bayangan bahwa aneka kebutuhan dapat terpenuhi dengan bekerja, memberikan dorongan amat besar. 

Apabila keyakinan yang sama juga dimiliki tatkala seseorang melakukan amal shalih, niscaya dia akan bersemangat. Ketika masuk surga dan terbebas dari neraka dipandang sebagai kebutuhan yang harus penuhi, maka akan memberikan dorongan amat besar bagi orang untuk beramal shalih. 

Bahkan sekalipun dihadang berbagai hambatan dan kesulitan tetap akan dihadapi. Semoga kita termasuk di antara mereka, Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb[]

Oleh: Ustaz Rokhmat S. Labib

Sumber: Wadah Aspirasi Muslimah


Posting Komentar

0 Komentar