Authoritarianism and Civil Disobidience: Is our democracy in danger with "Darurat Sipil"?



Sebagaimana dikonsepsikan oleh Gustav Radbruch, hukum punya 3 nilai dasar keberlakuannya sekaligus menjadi muara dari hukum itu ditegakkan. Ketiga nilai dasar itu disebut dengan Triadism. Triadisme itu adalah:
1. Secara filosofis: nilai keadilan (justice)
2. Secara yuridis: nilai kepastian (certainty)
3. Secara sosiologis: nilai expediency (kebaikan, kebijaksanaan (wisdom, kemanfaatan (utility) dll).

Pertanyaannya adalah: Apakah hukum kita sudah memenuhi nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan, khususnya terhadap kesejahteraan sosial atau social welfare yang oleh Brian Tamanaha disebut sebagai "the thickest ROL"?

Ketika tiga nilai dasar hukum tersebut belum dapat diwujudkan, misalnya adanya fakta: disktiminatif (non equality before the law)---the unjust law is not law--LEX INJUSTA NON EST LEX, ngaret, ketimpangan, kesengsaraan, kemiskinan, ketidakbebasan, opresi, persekusi, dan juga sikap otoritarian, dll

Adanya "Lack" pada ketiga nilai dasar tersebut dapat menggerus MODAL SOCIAL yang berupa "TRUST" sehingga menjadi DISTRUST. Distrust akan menjadi trigger munculnya sikap DISOBIDIENCE. Pada bulan Mei 2019 di Indonesia sempat muncul issue untuk melakukan PEOPLE POWER untuk merevolusi kondisi negeri Indonesia. Namun, diyakini "cost"-nya terlalu mahal sehingga tidak terjadi oleh karena pemerintah juga melarangnya dengan penjagaan yang sangat ketat. Secara teoretik sebenarnya ada cara lain untuk memprotes kebijakan suatu tata pemerintahan yakni dengan melalukan CIVIL DISOBIDIENCE. Civil disobidience bisa jadi dapat mengganti peran people power yg "cost"-nya lebih kecil dari pada people power. Sebagai sebuah teori tentu sifatnya sangat umum dan bagaimana praktik di lapangan tentu disesuaikan dengan situasi dan kondisi, in context.

Selain distrust, civil disobidience juga dapat disebabkan oleh karena authoritarianism. Penggunaan dan pengutamaan pendekatan kekuasaan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Dan akhirnya authoritarianism ini dapat menyebabkan timbulnya DEMOCRACIES WILL DIE. Dalam bukunya How Democracies Die, Levitsky dan Ziblatt menyatakan bahwa "Donald Trump’s presidency has raised a question that many of us never thought we’d be asking: Is our democracy in danger? Harvard professors Steven Levitsky and Daniel Ziblatt have spent more than twenty years studying the breakdown of democracies in Europe and Latin America, and they believe the answer is "yes"." Authoritarianism is the one factor that cause how democracies die?

Apa pun bentuknya, dapat diprediksikan bahwa inequality before the law dapat memicu terjadinya civil disobidience. Bila negara tidak ingin ada disobidience, maka pemerintah harus berbuat adil serta tidak otoriter kepada rakyatnya. Apakah penerapan Darurat Sipil berpotensi terjadinya otortarianisme dalam penggunaan kekuasaan? Ya, sangat berpotensi bila Darurat Sipil dipakai untuk mempertahankan status quo sebuah rezim bukan dipakai untuk menyelesaikan kedaruratan bencana atau kondisi bahaya lainnya.

Sikap otoritarian selain membahayakan demokrasi juga dapat menjadi sebab disobidience, mungkin secara tidak langsung. Pemimpin yang otoriter memang "ditakuti" oleh anak buahnya karena cenderung menggunakan "tangan besi" dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya. 

Karakter ototitarian ini dapat dijumpai di berbagai lingkaran kekuasaan, termasuk di lingkaran kekuasaan militer. Untuk menggambarkan relasi antara sikap otoritarian ini dengan disobidience, saya meminjam analisis dari Sdr. Yogie. W Abbari dalam tulisan di akun fb yang bertitel: "ANDA TELAH KEHILANGAN PASUKAN ANDA, JENDERAL !!!"

Pada sub titel, "dalam hati siapa yang tahu" Abbari bertutur bahwa coretannya ini tak ada kaitannya dengan Dandim Kendari yang kabarnya dicopot oleh atasannya itu.
Ini hanyalah nasihat lepas kepada para komandan, agar bersikap baik kepada prajurit mereka, karena kalau sampai ada komandan yang nekat mengorbankan prajuritnya demi kepentingan pribadinya, ataupun demi kepentingan "lainnya" maka bersiaplah menanggung akibatnya, yaitu sang komandan akan "kehilangan pasukannya". 

Dalam kehidupan dunia militer, bawahan yang dipersalahkan itu memang takkan menolak, karena mereka sudah terlatih untuk tunduk, baik suka maupun tidak. Bibir mereka pasti akan mengatakan ikhlas dan rela, tetapi hati nuraninya tak akan bisa membohongi dirinya sendiri. Pada saat itu sebenarnya hatinya sudah bukan milik komandan lagi. Apalagi bila penghinaan diberikan itu lakukan secara terbuka, maka Prajurit lain akan mencatat perilaku komandan itu.

Abbari akhirnya menegaskan bahwa bila bisa memilih, jelas takkan ada lagi prajurit yang sudi bertempur di bawah komando komandan itu, manusia hina yang tega menumbalkan anak buahnya. Bila tak bisa memilih, yakinlah mereka akan bertempur tanpa hati. Hati mereka semua sudah bukan milik komandan lagi. Nah, di sinilah saya menyimpulkan bahwa sikap otoritarian seorang pemimpin dapat memicu terjadinya disobidience anak buahnya, meskipun tidak secara kontan seketika itu. 

Bila karakter otoritarian itu merembet ke lingkaran kekuasaan lainnya, bahkan massif terjadi, maka tidak menutup kemungkinan rakyat mengangkat "sumpah" untuk tidak taat lagi kepada pemerintahnya. Apa artinya pemerintah tanpa dukungan rakyatnya, atau taruhlah 50% rakyatnya melakukan "pembangkangan", maka dapat diprediksikan pemerintahan negara ini akan collaps! Ketika keadaan ini terjadi, maka sebenarnya "penguasa itu" telah kehilangan kepercayaan (trust) rakyatnya. 

Padahal sebagaimana pernah diungkapkan oleh Mahfud MD, bahwa pemimpin yang tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya mestinya malu dan mengundurkan diri. Kita bisa baca hal ini pada Tap MPR No. VI Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Pada Bagian Etika Politik dan Pemerintahan ditegaskan bahwa;

"Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara".

Akankah kita menjumpai keadaan seperti itu? Kemungkinan terjadi sangat kecil, tetapi tauladan pernah diberikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 di mana beliau berkenan mengundurkan diri karena merasa tidak mampu dan tidak dipercaya lagi oleh rakyat dalam menyelesaikan persoalan bangsa dan negara waktu itu. Itu karakter seorang ksatria, bukan?

Penerapan Darurat Sipil yang tidak tepat akan berpotensi menimbulkan karakter kekuasaan yang represif dalam rangka mempertahankan kekuasaan sebuah rezim di tengah penetapan situasi negara dan bangsa dalam keadaan bahaya atau darurat keamanan. Semua pihak harus berpikir ulang untuk diberlakukannya kedaan ini bila tidak ingin negara demokratis ini berubah menjadi negara diktator otoriter hanya karena pandemi suatu penyakit yang sebenarnya masih dapat dikendalikan dengan kebijakan LOCKDOWN dengan segala risiko yang harus ditanggung oleh semua pihak, khususnya oleh Pemerintah Pusat. 

Bila penerapan tidak tepat, dikhawatirkan Darurat Sipil justru akan memicu timbulnya sikap civil disobidience yang akan berakhir dengan chaos berkepanjangan. Jika demikian, maka bisa diprediksikan demokrasi kita dalam bahaya. Kita tentu tidak ingin hal itu terjadi bukan?.[]

Oleh Prof. Suteki
(Uniol 4.0 Diponorogo)


Posting Komentar

0 Komentar