PERNYATAAN KEPALA BPIP TENTANG 'MUSUH TERBESAR PANCASILA ADALAH AGAMA' DUDUGA MEMENUHI UNSUR TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA

[Catatan Hukum Pernyataan Kontroversi Kepala BPIP, Yudian Wahyudi]

Kurang lebih seminggu yang lalu, Presiden Joko Widodo resmi melantik Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi di Istana Negara (5/2). Namun, Yudian yang menggantikan Yudi Latif yang mundur sebagai kepala BPIP pada awal Juni 2018 yang lalu, saat ini ramai diperbincangkan publik.

Pernyataan Yudian yang menyebut "Musuh terbesar Pancasila adalah agama" nampaknya memicu kemarahan publik. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Yudian Wahyudi kepada tim Blak-blakan detik.com.

"Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan," Demikian, tegas Yudian (12/2).

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengkritik Pernyataan Yudian Wahyudi. Anwar bahkan mendesak agar Presiden Joko Widodo memecat Yudian secara tidak hormat. (12/2).

Penulis memandang Pernyataan Yudian Wahyudi ini terkategori pelanggaran hukum yang serius. Karenanya, Yudian Wahyudi wajib dimintai pertanggungjawaban baik secara hukum maupun politik.

Melanggar Hukum (Pasal 156A Tentang Penodaan Agama)

Tindak Pidana Penodaan agama atau disebut juga penistaan agama diatur dalam ketentuan Pasal 156 huruf a KUHP. Pasal  ini merujuk ketentuan Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No. 1/PNPS/1965) 

Pasal 156A KUHP berbunyi: 

”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”

Unsur-unsur pidana dalam ketentuan Pasal 156a KUHP ini pada terdiri dari  :

Pertama, Unsur Subjektif, yakni unsur terkait adanya niat atau kesengajaan dari pelaku untuk melakukan perbuatan. Kesengajaan atau opzet itu oleh pembentuk undang – undang telah dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a KUHP.

Kesengajaan atau niat untuk melakukan perbuatan itu terbaca dari satu Pernyataan yang disadari dan di insyafi oleh Yudian Wahyudi sebagai kepala BPIP, yang bergelar profesor. Tak mungkin, orang yang bergelar profesor tak memiliki kesadaran dalam membuat pernyataan, apalagi Pernyataan itu dibuat dalam kapasitasnya sebagai kepala BPIP.

Jika yang mengeluarkan statement anak SD, atau anggota PAUD, mungkin saja dianggap tak ada niat dan kesengajaan. Mungkin saja dianggap alpa atau silaf.

Kecuali, Yudian Wahyudi ditetapkan gila seperti wanita pembawa anjing di Masjid Sentul Bogor, unsur niat ini tidak mungkin terpenuhi. Bahkan, Yudian Wahyudi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum karena orang gila memang tak dianggap cakap hukum dan tak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum secara Pidana.

Kedua, Unsur objektif pertama dari tindak pidana pertama yang diatur dalam Pasal 156a KUHP adalah di depan umum. Dengan menyatakan ungkapan "Musuh terbesar Pancasila adalah Agama" dihadapan wartawan, sadar wartawan akan mewartakan wawancara, dan wawancara itu menjadi konsumsi publik, maka unsur didepan publik ini terpenuhi.

Kecuali, Yudian Wahyudi mengadakan rekaman wawancara di kamar mandi lantas hasil wawancara itu diretas dan dibocorkan ke publik, maka yang patut dipersalahkan adalah pihak peretas yang mengubah konten privat itu menjadi dapat dikonsumsi publik.

Dipakainya kata – kata di depan umum dalam rumusan tindak pidana tersebut itu tidak berarti, bahwa perasaan yang dikeluarkan pelaku atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu selalu harus terjadi di tempat  – tempat umum, melainkan cukup jika perasaan yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik, atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu dapat dilihat oleh publik. Dalam hal ini, ruang wawancara memang privat tetapi konten hasil wawancara merupakan area yang bersifat publik.

Kedua, Unsur "Perasaan yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia" jika ditinjau dari redaksi Pernyataan Yudian Wahyudi tidak saja ditujukan kepada agama Islam. Meskipun konteksnya menuding gerakan Ijtima' Ulama yang dianggap tak sejalan dengan Pancasila, namun redaksi ungkapan Perasaan yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama itu berlaku umum bagi semua agama resmi yang diakui di Indonesia.

Artinya, kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh Yudian Wahyudi ini lebih berat ketimbang kasus Ahok. Sebab, Ahok hanya spesifik menista agama Islam dengan menyebut "jangan mau dibodoh bodohi oleh surat Al Maidah ayat 51". 

Pernyataan Yudian sangat serius karena menistakan semua Agama, dengan menyebut musuh terbesar Pancasila adalah Agama. Karenanya, proses hukumnya tidak saja demi menjaga perasaan umat Islam, tetapi Juga perasaan keber-agama-an umat beragama secara keseluruhan.

Memang benar, ungkapan "musuh terbesar Pancasila adalah Agama" perlu ditafsirkan oleh ahli bahasa dan ahli agama. Sebab, unsur penodaan agama memang wajib dimintakan pendapat ahli, baik ahli bahasa, ahli agama dan ahli Pidana.

Namun, sebagai satu proses hukum Pernyataan ini telah mengganggu perasaan publik. Karena Delik penistaan agama bukan delik aduan, sudah selayaknya penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia segera melakukan penyelidikan terhadap kasus ini.

Tanggung Jawab Politik

Kepala BPIP adalah jabatan politik, sebagai pimpinan politik negara tertinggi selayaknya presiden segera mencopot jabatan Yudian Wahyudi. Dengan mencopotnya, setidaknya publik mampu melihat pertanggungjawaban kepala negara atas kelakuan pejabat yang dilantiknya.

Pencopotan jabatan Yudian Wahyudi tak perlu menunggu proses hukum berkekuatan tetap. Sebab, selain pertanggungjawaban Politik juga terkandung pertanggungjawaban moral kebangsaan.

Bagaimana mungkin presiden mempertahankan kepala BPIP yang diharapkan mampu menggawangi ideologi negara jika faktanya dalam bertutur cacat moral ? Lantas, apa efeknya secara moral bagi Pancasila, jika moral kepala BPIP saja sedemikian itu ?

Dikalangan masyarakat bawah akan muncul keyakinan, tak perlu lagi terikat dengan Pancasila. Sebab, etika dan moral pejabatnya tak mampu mengukur diri untuk beradaptasi sebagai pejabat publik.

Dengan kasus ini, sudah barang tentu kredibilitas BPIP dipertanyakan. Padahal, belum ada kasus ini saja publik banyak yang mempersoalkan peran dan fungsi BPIP.

BPIP dianggap lembaga yang hanya memboroskan anggaran negara tanpa manfaat yang jelas bagi rakyat. Dengan kasus ini, bukan mustahil aspirasi publik yang menginginkan BPIP dibubarkan semakin kuat. []

Oleh: Ahmad Khozinudin, SH
Ketua LBH Pelita Umat


Posting Komentar

0 Komentar