INDUSTRI HUKUM: Trial without justice


Sebagai seorang guru besar di bidang hukum saya juga prihatin melihat buruknya penegakan hukum di negara hukum ini. Trial by the press terkesan lebih dipercaya dibandingkan dgn Trial by The Rule Of Law sehingga yang muncul adalah trial without trust, sebagaimana dikatakan oleh William T Pizzi. Keadaan ini akhirnya akan berakhir dengan trial without justice.

Dalam dunia hukum itu dipercayai dalil: "berani menuduh harus berani membuktikan". Jangan menuduh tanpa bukti yang bisa dipertanggung jawabkan dan belum diuji kebenaran tuduhan itu. Di mana tempat menguji dan mempertanggungjawabkan tuduhan? Tidak lain di pengadilan melaluidue process of law. Di negara hukum itu pemali menggunakan sarana vandalisme: hantam dulu, urusan belakangan. Kasih sanksi dulu, urusan belakangan. Itu eigenrichting. Itu akan menjadikan pemerintah sebagai Extractive Institution sebagai lambang negara kekuasaan bukan negara hukum. Dan hal itu sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (Rule of Law) masih berada di tahap paling tipis ( the thinnest rule of law) di mana rezim penguasa hanya menggunakan perangkat hukumnya sebagai sarana untuk legitimasi kekuasaan sehingga kekuasaannya bersifat represif. 

Sebenarnya keadaan penegakan hukum yang bopeng itu dapat dimulai dari cara menjalankan perkerjaan polisi yang memiliki berbagai karakteristik, misalnya:

1. Polisi berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. In optima forma
2. Polisi sebagai hukum yang hidup, di tangannya suatu peraturan hukum mengalami perwujudannya.
3. Polisi bekerja di antara law and order sehingga ia memiliki diskresi yang sangat luas.
4. Polisi bekerja disertai dengan dibolehkannya penggunaan kekerasan yang terukur, bukan abuse of power.
5. Pekerjaan polisi itu berpotensi menjadi pekerjaan yang bersifat tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda).

Karakteristik pekerjaan polisi tersebut bila tidak dijalankan dengan benar dan menjadikan "good behavior" menjadi ukuran utama, maka langkah menyingkirkan keadilan dalam due process of law tahap awal sudah dimulai. Dan hal itu disinyalir akan merembet ke jenjang peradilan selanjutnya. 

Bahkan, sekalipun advokat itu seharusnya memperjuangkan pula keadilan klien, mereka bisa terjebak dalam perangkap pragmatis dunia kepengacaraan yakni: maju tak gentar membela yang bayar, bukan maju tak gentar membela yang benar untuk access to justice. Akhirnya sesuai kata Marc Galanter bahwa "a good advocate is like a good prostitution, if the price is right, she will warm client completely". 

Apa yang dikhawatirkan oleh Menkopolhukam tentang tercerabutnya nilai keadilan dalam penegakan hukum di negeri ini sangat mungkin telah dan menjadi kenyataan. Industri kejam di dunia penegakan hukum telah berdiri.

Menko Polhukam Mahfud Md dalam ILC tanggal 11 Pebruari 2020 menyebut industri hukum masih terjadi dalam praktik penegakan hukum. Dia menyebut masih ada praktik di mana orang yang benar dibuat bersalah, begitu juga sebaliknya. Ia mencontohkan dagang hukum bisa berupa mengalihkan perdata ke pidana, pidana ke perdata. Bahkan ada polisi yang membuat surat kaleng untuk dirinya sendiri supaya dapat menceraikan istrinya sendiri. 

Industri hukum yang dimaksud Mahfud yaitu penegakan hukum yang tidak berdasarkan asas keadilan. Sindiran ini dilontarkan Mahfud kepada penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, dan hakim.

Kalau ada Industri Hukum berarti ada:

1. POLICE CORPORATE
2. PROSECUTOR CORPORATE
3. COURT CORPORATE
4. PRISON CORPORATE dan
5. ADVOCATE CORPORATE

Bukankah begitu?

Yang terakhir akan terjadi: Indonesia Corporation. Bila demikian, maka sesungguhnya negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa yang berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolen. Yang tersisa boleh jadi tinggal hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Produsennya Negara dan Swasta sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya kepengurusan negara ini hanya sebatas profit bukan benefit. Itukah maunya Negara Hukum Kesejahteraan Sosial kita akan bermetamorfosis menjadi negara industri hukum?

Maka kata kuncinya adalah akhlak! Akhlak yang mana? Ukurannya apa? Itu yang harus dirumuskan dengan standarisasi yang tepat sehingga hukum tidak lagi diperdagangkan. Hukum dagang harus, dagang hukum jangan. Hukum Industri harus dipelajari, industri hukum jangan.[]

Oleh Prof Suteki
Pakar Hukum dan Masyarakat

(Short breef from ILC 11022020)



Posting Komentar

0 Komentar