DARI “SEL PERTAMA” HINGGA TERBENTUK “JAMAAH DAKWAH”


Saat usia Muhammad saw. telah memasuki 40 tahun, setelah sebelumnya, sejak umur 38 tahun, melakukan uzlah di Gua Hira’, untuk melakukan tahannuts, momentum yang luar biasa itu pun datang. Jibril yang saat itu menyapanya, dalam satu riwayat menyebutkan di dalam mimpi, dan dalam riwayat lain, ketika terjaga. Saat itu, Jibril memerintahkan kepadanya, “Bacalah, wahai Muhammad!” Baginda saw. menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Permintaan yang sama diulanginya hingga tiga kali, dan baginda saw. tetap dengan jawaban yang sama. 

Jibril pun mengajarinya membaca, “Iqra’ bismi Rabbika al-Ladzi khalaq..” [Bacalah dengan menyebut asma Tuhanmu, yang telah menciptakan]. Saat itu, Muhammad saw. pun menirukannya. Itulah ayat dan surat pertama yang diturunkan oleh Allah kepadanya melalui Jibril as. Dengan turunnya Q.s. al-‘Alaq ini menandai diutusnya Muhammad saw. sebagai Nabi. Setelah itu, baru Allah turunkan Q.s. al-Mudatstsir, yang menitahkan pengukuhannya sebagai Rasul. Dengan demikian, resmilah Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul. 

Setelah peristiwa itu, Nabi Muhammad saw. pun naik di atas bukit Shafa, sebagaimana dituturkan oleh Ibn Atsir, dalam kitabnya, al-Kamil fi at-Tarikh, menyampaikan pidato pertama, “Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya seorang pemimpin itu tidak akan pernah membohongi orang yang dipimpinnya. Percayakah kalian, jika aku katakan bahwa di balik bukit itu ada kuda yang berlari?” Mereka pun menjawab, “Percaya.” Nabi saw. melanjutkan, “Apakah kalian percaya, jika aku sampaikan bahwa aku adalah Nabi yang diutus oleh Allah kepada kalian?” Inilah pidato pertama kali yang disampaikan oleh Nabi saw. di atas bukit Shafa.

Dalam riwayat lain, Nabi saw. naik di atas bukit Ajyad, seraya mengatakan, “Wahai kaum Quraisy, ucapkanlah satu kata, yang jika kalian sanggup memberikannya, maka seluruh bangsa Arab akan tunduk kepada kalian, dan orang-orang non Arab akan membayar jizyah kepada kalian.” Mereka bertanya, “Gerangan apakah satu kata itu?” Nabi saw. menjawab, “Ucapkanlah, Lailaha illa-Llah Muhammad Rasulullah.” Itulah inti, ruh dan rahasia ajaran dan risalah yang dibawa dan diemban oleh Rasulullah saw. Itulah akidah Islam, yang merupakan ideologi dan kaidah berpikir yang digunakan oleh Nabi saw. untuk membangkitkan bangsa Arab. 

Karena itu, Nabi Muhammad saw. merupakan sel pertama [hilyah ula] dalam dakwah Islam, dan orang pertama yang mendapatkan petunjuk tentang Islam dan ideologinya. Setelah itu, Nabi Muhammad pun mengajak isteri tercintanya, Khadijah binti Khuwailid ra. untuk memeluk Islam, sebagaimana yang diyakini suaminya. Khadijah pun memeluk Islam di hadapan suaminya. Khadijah pun menjadi sel kedua dalam dakwah ini. Setelah itu, Nabi saw. pun mengajak teman baiknya, Abu Bakar as-Shiddiq ra untuk memeluk Islam. Dia pun menyambut baik ajakan sahabat karibnya itu. Setelah Abu Bakar meyakini Islam, sebagaimana keyakinan sahabat karibnya itu, maka Abu Bakar itu menjadi sel ketiga. 

Begitu seterusnya, sampai sel-sel tersebut berkembang, lalu dihimpun oleh Nabi saw. dalam sebuah halqah. Abu Bakar, adalah orang yang sangat mudah bergaul dengan orang, dan banyak teman. Karena itu, melalui Abu Bakar inilah, beberapa orang Quraisy yang kemudian menjadi sahabat Nabi, mendapat hidayah, dan akhirnya masuk Islam. Mereka adalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Utsman bin Madh’un, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Zubair bin al-‘Awwam, dan sebagainya. Sel-sel sebelumnya pun dibentuk menjadi halqah ula [halqah pertama]. 

Setelah terbentuk halqah pertama, maka terbentuklah halqah kedua, ketiga dan seterusnya. Mereka dibina, baik secara langsung oleh Rasulullah saw. maupun tidak langsung, melalui orang-orang yang terlebih dulu masuk Islam, dan ditugaskan Rasul untuk membina halqah-halqah ini. Ini seperti yang dilakukan oleh Nabi saw. saat mengutus Hubab bin al-Art untuk mengisi di rumah Sa’id bin Zaid dan Fatimah, adik kandung ‘Umar bin al-Khatthab. Sementara ‘Umar sendiri saat itu belum masuk Islam. Pembinaan-pembinaan ini berlangsung di rumah-rumah, di dekat bukit Shafa, bahkan kadang di dekat Ka’bah. 

Pembinaan-pembinaan dalam bentuk halqah, atau kelompok kecil ini dilakukan secara intensif. Materinya bisa dilihat pada ayat-ayat yang terkandung dalam surat Makkiyah. Isinya tentang akidah, mengkritisi praktik muamalah yang rusak di tengah masyarakat, dan bagaimana seharusnya menurut Islam. Selain pembinaan-pembinaan intensif dalam halqah, mereka juga dikumpulkan oleh Nabi saw. di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam, yang letaknya di bawah lereng bukit Shafa. 

Pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh Nabi saw. dan para sahabat ini pun sembunyi-sembunyi. Ketika mereka hendak menunaikan shalat, mereka pun harus menunaikannya dengan sembunyi-sembunyi, sampai di lembah-lembah di sekitar Makkah. Pernah suatu ketika, waktu itu Sa’ad bin Abi Waqqash sedang mengerjakan shalat, tiba-tiba ada orang Kafir yang menertawakan shalat Sa’ad, maka selesai shalat, orang itu pun dipukul oleh Sa’ad dengan tulang unta hingga terkapar bermandikan darah, dan akhirnya meninggal dunia. Peristiwa ini terjadi, sebelum dakwah Nabi saw. dan para sahabat dilakukan secara terbuka.

Hanya saja yang perlu dicatat, jika aktivitas mereka dilakukan sembunyi-sembunyi, tidak berarti bahwa dakwah mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. Tentu tidak. Karena dakwah harus tetap terus terang, terbuka, menantang, dan agresif. Itulah ciri khas dakwah. Namun, ketika itu yang disembunyikan adalah organisasi [kutlah] dan orang-orang-nya. Saat itu, orang-orang yang memeluk Islam didominasi oleh anak-anak muda, yang usianya 20 tahun ke bawah. 

Lihat saja, ‘Ali bin Abi Thalib umurnya ketika itu baru 8 tahun, Zubair bin al-‘Awwam 8 tahun, Thalhah bin ‘Ubaidillah 11 tahun, al-Arqam bin Abi al-Arqam 12 tahun, ‘Abdullah bin Mas’ud 14 tahun, Sa’id bin Zaid 20 tahun kurang, Sa’ad bin Abi Waqqash 17 tahun, Mas’ud bin Rabi’ah 17 tahun, Ja’far bin Abi Thalib 18 tahun, Shuhaib ar-Rumi 20 tahun kurang, Zaid bin Haritsah 20 tahun pas, ‘Utsman bin ‘Affan 20 tahun pas, Thalib bin ‘Umair 20 tahun pas, Hubab bin al-Art 20 tahun pas, ‘Amir bin Fakhirah 21 tahun, Mush’ab bin ‘Umair 24 tahun, al-Miqdad bin al-Aswad 24 tahun, ‘Abdullah bin Jahsy 25 tahun, ‘Umar bin al-Khatthab 26 tahun, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah 27 tahun, ‘Utbah bin Ghazwan 27 tahun, Abu Bakar as-Shiddiq 37 tahun, dan begitu seterusnya. 

Rata-rata usia mereka masih muda. Mereka ini dibina secara intensif oleh Nabi saw. secara sembunyi-sembunyi, dari rumah ke rumah, atau di tempat-tempat tertentu yang ditetapkan oleh Nabi. Meskipun dakwah menyampaikan pemikiran dilakukan secara apa adanya, terbuka, dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Setelah proses pembinaan yang dilakukan oleh Nabi saw. ini dianggap matang, dan mereka pun siap mengemban dakwah keluar secara lebih terbuka, ofensif dan menantang, ditambah dengan masuk Islamnya dua orang yang menjadi Ahl an-Nushrah, yaitu ‘Umar bin al-Khatthab dan Hamzah bin ‘Abdul Muthallib, maka Allah pun turunkan Q.s. al-Hijr, “Sampaikanlah secara terbuka apa yang telah dititahkan kepadamu, dan tentanglah orang-orang Musyrik.” 

Setelah itu, Nabi saw. dan para sahabat, berbaris dan melakukan thawaf, mengelilingi Ka’bah, dalam dua shaf. Satu shaf dipimpin oleh ‘Umar bin al-Khatthab, dan satu shaf lagi dipimpin oleh Hamzah bin ‘Abdul Muthallib. Peristiwa ini terjadi setelah turunya Q.s. al-Hijr, pada tahun ke 3 kenabian. ‘Umar bin al-Khatthab dan Hamzah masuk Islam, dalam kitab al-Mulk wa al-Umam, karya at-Thabari, disebutkan tahun ke 5 kenabian. Dengan demikian, peristiwa ini kemungkinan besar dilakukan tahun ke 5 kenabian, sekaligus menandai era baru, Tafa’ul ma’a al-ummah [interaksi dengan umat]. Pada saat yang sama, ini sekaligus menandai terbentuknya kultah dakwah, yang kemudian disebut Hizbu ar-Rasul.

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Khadimus Syaraful Haramain

Posting Komentar

0 Komentar