Bagaimana Bisa pada "Religious Nation State" Kesepakatan Manusia Menjadi Hukum Tertinggi?


Menanggapi hasil wawancara wartawan Media Indonesia dengan Yudian Kepala BPIP yang baru, tampaknya kita perlu belajar lagi soal berhukum melalui junjungan Thomas Aqunias perihal eternal law, devine law, natural law dan human law. Menurut Thomas Aquinas, human law  itu bersumber pada 2 jenis hukum, yaitu devine law  (Kitab Suci, Tertulis dan natural law (Moral anda Ethic). 

Prinsipnya adalah kitab suci berarti di atas konstitusi. Dan hal ini sesuai dengan Pancasila. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa kesepakatan manusia itu menjadi hukum yang tertinggi? Ingat, kita bukan negara sekuler tapi religious nation state . Mana mungkin Human Law ditempatkan lebih tinggi dari Devine Law? Keterangan yang lebih lengkap dapat disimak pada uraian berikut ini.

Sebagai homo homini socius, manusia tidak dapat hidup sendiri dan memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa berhubungan dengan manusia yang lain. Mereka berinteraksi, berkumpul membentuk keluarga, masyarakat, bangsa hingga terbentuklah suatu negara.

Manusia menegara. Manusia menegara memiliki tujuan nasionalnya, bahkan tujuan imnternasional. Menurut J.J. Rosseau, bila ditinjau dari teori kontrak sosial, maka terbentuknya suatu negara bangsa tentu membutuhkan kesepakatan yang dalam negara demokrasi ditempuh dengan cara menjajagi volonte de tous (kehendak setiap orang) untuk menemukan volonte generale (kehendak semua orang). 

Di sinilah kita menemukan adanya hukum. Bila didasarkan pada pendapat Paul Bohanan, maka hukum yang disepakati oleh warga negara bangsa itu merupakan reinstitusionalisasi (pelembagaan kembali) atas nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang telah ada atau hidup di dalam masyarakat. Nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat itu dapat berupa nilai hukum agama maupun nilai hukum kebiasaan. 

Oleh karena suatu negara juga berhubungan dengan negara lain, maka nilai hukum juga meluas pada nilai hukum yang mondial, misalnya nilai hukum modern. Oleh karena itulah bahan untuk membangun hukum suatu negara bangsa dapat berupa bahan nilai hukum kebiasaan, nilai hukum agama dan nilai hukum internasional.

Indonesia sebagai negara bangsa oriental, tidak lepas dari pengaruh baik maupun buruk atas perkembangan global. Namun sangat disadari Indonesia memiliki dasar pengembangan negara bangsa untuk mencapai cita-cita atau tujuan nasionalnya. Dasar itu tidak lain adalah Pancasila. 

Bila kita simak secara seksama, maka ketiga nilai hukum itu sebenarnya telah terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai ketuhanan--dikatakan sebagai dasar dari segala sila, nilai hukum kebiasaan (persatuan, demokrasi, kesejahteraan) serta nilai hukum internasional (kemanusiaan, HAM). Ketiga nilai hukum tersebut kemudian mengejawantah menjadi kesepakatan membentuk negara berdasar hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945). Macam apa negara hukum yang hendak kita bangun itu? Negara hukum yang hendak dibangun itu adalah negara hukum yang berdasarkan atas KeTuhanan Yang Maha Esa. Lebih konkret lagi negara hukum itu adalah negara hukum transendental.

Sebagai negara hukum transendental, menurut Thomas Aquinas maka hukum yang direproduksi kembali melalui lembaga-lembaga supra dan infrastruktur negara (human law) seharusnya dijiwai nilai ketuhanan baik nilai hukum ketuhanan yang tertulis di kitab suci (scripture), maupun nilai hukum ketuhanan yang melekat pada alam (hukum alam/natural law). Sampai di sinilah secara logika sederhanapun kita bisa memahami dan menerima secara nalar bahwa kitab suci itu berada di atas konstitusi sebagaimana telah disebutkan di muka.

Bila penalaran ini kemudian kita tarik garis lurus, maka logikanya seharusnya disadari bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan kitab suci. Juga dapat kita nalar bahwa membaca, mengkaji, memahami, menjalankan bahkan menyebarkan (mendakwahkan) perintah Tuhan dalam kitab suci yang kebenarannya tidak perlu diragukan adalah sebuah kebolehan bahkan sebuah kewajiban bagi para pemeluknya. Inilah yang kita sebut dalam Islam: amar ma'ruf nahi munkar. Hal ini justru juga dilindungi oleh negara melalui Konstitusi, yakni Pasal 28 dan 29 ayat 2 UUD 1945. Kemerdekaan untuk memeluk, beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan sangat dilindungi sebagai HAM yang tidak dapat dikurangi (non derogable HR).

Jadi, masihkah dengan prinsip-prinsip yang kita pahami ini kita sebagai bangsa dan negara yang menempatkan Ketuhanan di atas segala dalil akan jumawa mengatakan bahwa human law (hasil kesepakatan) menjadi hukum tertinggi di negeri ini?.[]

Oleh: Prof Suteki
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar