PUYENG REGULASI INVESTASI: Omnibus Law Solusi Negeri?



Para pembesar negeri ini tampaknya sudah mulia jengah dengan rimba tatanan berlebih (over regulation) tetapi miskin pelaksanaannya ke arah perwujudan kesejahteraan bangsa dan bahkan membuat "puyeng" para pejabat dan warga biasa.

Tengoklah pendapat Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara yang mengakui bahwa selama ini aturan di Indonesia terlalu banyak. Menurutnya hal ini juga yang banyak dikeluhkan oleh investor jika ingin melakukan investasi dan membuka usaha di dalam negeri.

Suahasil selanjutnya menyatakan: "Saya yakin kalian di sini banyak yang memiliki usaha, bekerja di dunia perekonomian tahu persis salah satu fitur kerja di Indonesia adalah peraturan banyak, dan kadang-kadang jika mau buka usaha puyeng aja. Semua ada aturannya dan berjejer dan bikin puyeng sendiri,". Demikian ujar Suahasil di Hotel Kempinski, Kamis (30/1/2020).

Lalu Suahasil mengajukan jalan keluar berupa saran agar pemerintah berupaya untuk menyederhanakan aturan tersebut dengan membuat undang-undang Sapu Jagad yakni RUU Omnibus Law Perpajakan dan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Setali tiga uang dengan pernyataan Wamenkeu, Menkeu juga berpendapat yang sama bahwa jalan keluar masalah perekonomian Indonesia, khususnya tentang investasi adalah banyak dan berbelitnya aturan dan prosedur hukum. Sri Mulyani mengamini pernyataan Bank Dunia bahwa ada sekitar 115 Juta Rakyat RI Terancam Miskin. Seperti diberitakan oleh CNBC Indonesia, The World Bank menyebut kelas menengah telah tumbuh cepat dibandingkan kelas yang lain. Namun masih ada 115 juta masyarakat yang rentan untuk kembali miskin.

Menurut Bank Dunia, melalui World Bank Regional Director for Equitable Growth, Finance and Institutions, Hassan Zaman (Jakarta, Kamis (30/1/2020), Indonesia sudah melakukan kemajuan dan Indonesia masih bisa membuat calon kelas menengah supaya masuk ke kelas menengah, supaya ekonominya bisa aman.
 
Kendati demikian, Indonesia perlu memerhatikan masyarakat miskin yang baru saja keluar dari garis kemiskinan yang jumlahnya mencapai 45% dari penduduk Indonesia atau sebanyak 115 juta orang. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan berbagai reformasi untuk bisa memperluas kelas menengah. Caranya dengan menciptakan lapangan kerja, juga investasi pada keterampilan yang diperlukan, di samping diperlukan sistem perlindungan sosial untuk memberi dukungan bila ada guncangan. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani sepakat dengan pendapat pejabat Bank Dunia, Hassan Zaman bahwa untuk mencapai kelas menengah, mereka yang baru saja keluar dari garis kemiskinan memang memerlukan pekerjaan dengan gaji yang mumpuni. Lagi-lagi Sri Mulyani menyatakan bahwa selama ini menurutnya Indonesia selalu terkendala masalah regulasi yang panjang dan berbelit. Alhasil investasi sulit terealisasi. Padahal investasi yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Dan ia mayakini bahwa Omnibus Law menjadi salah satu yang mendorong kelas menengah dengan argumen bahwa karena tujuannya untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Benarkah? 

Banyak kalangan menilai bahwa pangkal tolak segala permasalahan di Indonesia ini adalah begitu banyak aturan dan berbelit-belitnya prosedurnya. Benarkah? Mengapa kita menyalahkan aturan yang kita ciptakan selama ini? Lalu apa pertimbangan dibentuknya sehuah aturan? Bukankah kita juga sudah mempunyai UU Tata Cara Pembentukan Perundang-undangan, yakni UU No. 12 Tahun 2011 yang kemudian diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019. Baru saja kita lakukan perubahan, tapi mengapa lalu kita gegap gempita dengan mengajukan proposal tentang umbrella act, bahkan dikatakan UU Sapu Jagad atau dikenal dalam percaturan hukum internasional dengan instilah OMNIBUS LAW (OL). Alasan utama OL dapat diduga sebagai breakthrough atas banyak dan berbelitnya aturan serta prosedur hukum yang dinilai menghambat INVESTASI yang dianggap sebagai jalan keluar mengatasi masalah perekonomian di negeri ini.

Untuk apa hukum (aturan dan prosedurnya) dibuat oleh penguasa dengan melibatkan peran rakyat melalui dewan atau sarana lainnya? Adalah Steven Vago dalam bukunya Law and Society (2006) menyatakan bahwa ada 3 fungsi hukum yaitu, (1) Law as a tool of social control; (2) Law as a tool of social change; dan (3) Law as a system of dispute settlement. Pada akhirnya di negara demokrasi hukum memang tidak boleh hanya sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan secara represif. Bahkan, oleh Brian Tamanaha dalam bukunya On The Rule of Law dinyatakan bahwa secara substantif hukum yang dibentuk oleh negara harus mampu mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare). 

Dalam hal ini perlu diingat pula bahwa ketiga fungsi hukum di muka boleh jadi tidak dapat dijalankan ketika kita menemukan suatu keadaan yang disebut sebagai disfunction of law, yang meliputi:
(1) The law's conservative tendencies;
(2) The rigidity inherent in its formal structure;
(3) The restrictive aspects connected with its control functions;
(4) The fact that certain kinds of discriminations are inherent in the law itself.

Omnibus Law: Sebuah harapan baru mengatasi overlap dan over regulation.

Pada pidato pelantikannya sebagai Presiden RI 2019 sd 2024, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah bakal mengajak DPR untuk menerbitkan OMNIBUS LAW demi merevisi puluhan undang-undang. Omnibus law itu berarti (one for everything) satu UU yang dibuat untuk menyasar isu besar dan mungkin mencabut atau mengubah beberapa UU. 

Dalam hukum tata negara Indonesia belum pernah dipraktikkan, tapi di negara lain sudah sering dilakukan. Tampaknya Pak Jokowi ingin mempraktikkan ini karena terinspirasi dari negara-negara lain, sedangkan beliau memang menginginkan ada perampingan regulasi. Mekanisme pembuatan Omnibus law sama dengan UU lainnya. Perbedaannya pada prosesnnya dapat menghabiskan waktu sangat lama.

Mengapa perlu omnibus law? Adalah Dr. Ahmad Redi menyebutkan setidaknya ada 5 alasan perlu membentuk omnibus law---khususnya di bidang perekonomian dan investasi, yaitu:

1. Ditemukan 74 UU yang berpotensi saling mendistorsi satu dengan lainnnya---ini berart tdk ada sinkronisasi horizontal.
2. Lambatnya proses investasi
3. Jumlah perizinan yang masif, banyak dan berbelit
4. Regulasi dan permasalahan kelembagaan, terlalu banyak dan berpotensi tumpang tindih.
5. Kesulitan berinvestasi sehingga diperlukan UU "sapu jagat".

Omnibus law tidak familiar dilakukan pada negara-negara yg menganut sistem civil law, melainkan lebih banyak dilakukan di common law system. Namun demikian, bukan berarti kita tidak pernah memiliki peraturan perundang-undangan yg bersifat mirip omnibus law. Indonesia pernah mempunyai peraturan hukum sapu jagad, yaitu TAP MPR SAPU JAGAD.

Tap MPR No. I Tahun 2003 merupakan ketetapan yang melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan MPRS dan ketetapan MPR dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Latar belakang lahirnya Tap tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui Pasal 1 Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945, di mana MPR ditugasi untuk meninjau materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR. Oleh karena itulah Tap ini sering disebut ketetapan "SUNSET CLOSED" atau "tap sapu jagad". Karena Tap ini merupakan Tap yang bersifat reggeling dan Tap inilah yang terakhir dikeluarkan oleh MPR.

Problematik Omnibus Law: Anti-Democratic

Persoalan yang akan muncul ketika sudah dibentuk omnibis lawa adalah mengenai kedudukan UU hasil omnibus law ini. Secara teori perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU dari konsep omnibus law belum diatur. Jika melihat sistem perundang-undangan di Indonesia, UU hasil konsep omnibus law bisa mengarah sebagai UU Payung karena mengatur secara menyeluruh dan kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain. Tetapi, Indonesia justru tidak menganut UU Payung karena posisi seluruh UU adalah sama. Jadi, persoalannya ada pada tataran teori peraturan perundang-undangan, yakni mengenai kedudukannya. Kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sehingga, UU No. 12 Tahun 2011harus direvisi lebih dahulu.

Supaya tampak literasinya ori dan meyakinkan, saya cuplikkan perihal omnibus law ini dalam bahasa aslinya, bahasa Inggris. Apa itu omnibus law? An omnibus bill is a proposed law that covers a number of diverse or unrelated topics. Omnibus is derived from Latin and means "for everything". An omnibus bill is a single document that is accepted in a single vote by a legislature but packages together several measures into one or combines diverse subjects.

Because of their large size and scope, omnibus bills limit opportunities for debate and scrutiny. Historically, omnibus bills have sometimes been used to pass controversial amendments. For this reason, some consider omnibus bills to be anti-democratic.

Hukum bukan hanya persoalan aturan

Orang sering lupa bahwa hukum itu merupakan sebuah bangunan yang bukan hanya dikonstruksi oleh aturan-aturan. Hukum merupakan bangunan yang terdiri atas:
(1) Segi sistem peraturannya
(2) Segi ideologinya
(3) Segi kelembagaannya
(4) Segi struktur sosialnya
(5) Segi sarana fisiknya

Dengan demikian memperbaiki kehidupan hukum di suatu negeri tidak akan pernah cukup bila hanya dititikberatkan pada reformasi di bidang peraturan hukumnya dengan mengabaikan penyangga bangunan hukum lainnya. Apakah ada jaminan ketika peraturannya baik kemudian penegakannya juga baik? Ataukah ada sebuah kepastian bila peraturan hukumnya buruk, bolong-bolong, ruwet dan berbelit lalu buruk pula kehidupan hukum di suatu negeri? Bukankah ada ungkapan bijak yang berbunyi: THE MAN BEHIND THE GUN? Jadi the man adalah penentu utama bagaimana tujuan memanfaatkan the gun itu dapat terwujud. Sebaik apa pun the gun, tetapi ketika berada di tangan the man yang buruk, maka the gun tidak mungkin efektif bahkan boleh jadi melukai dan membunuh kawan atau diri the man sendiri. 

Pada tahun 1970-an, Robert B. Seidman melakukan penelitian tentang peranan lembaga informal dalam penegakan hukum di Afrika jajahan Inggris. Ketika Inggris datang ke Afrika, kehidupan hukum Afrika sangat buruk, banyak “bolong-bolong”-nya, inkonsisten, korup dan banyak intrik hukum serta politiknya. Inggris merasa tidak mungkin dalam waktu sekejap dapat dilakukan perombakan total terhadap sistem hukum di Afrika kala itu. Oleh karenanya, Inggris mencari cara untuk mengatasinya dengan menetapkan apa yang disebut dengan “English Gentlement” yang berisi karakter untuk (1) Tinggi hati (menjaga martabat), (2) Tidak korup dan tidak mau disuap, (3) Jujur dan, (4) Adil. Keempat karakter itulah yang menambal “bolong-bolong”-nya hukum Afrika saat itu sehingga kehidupan hukum menjadi baik meskipun yang dipakai adalah hukum yang buruk. Namun, ketika Inggris meninggalkan Afrika, kehidupan hukum Afrika menjadi terpuruk kembali.

Tigaratus tahun sebelum Masehi, Ulpianus telah menancapkan tiga prinsip utama hukum alam, yakni honeste vivere (hiduplah dengan jujur), alterum non laedere (terhadap orang lain di sekitarmu janganlah merugikan), dan suum cuique tribuere (kepada orang lain berikanlah apa yang menjadi haknya). 

Tiga prinsip dasar tersebut sebenarnya merupakan dasar sekalian moralitas manusia sehingga apabila ketiganya diposisikan sebagai perintah, maka perintah itu bersifat perintah yang tidak bisa ditawar-tawar oleh manusia (imperative chategories). Perintah itulah yang dapat memanusiakan manusia dan menjadikan penegak hukum yang humanis. Jujur, tidak merugikan orang lain dan adil adalah sifat-sifat penegak hukum yang humanis tersebut. 

Ketika hidup ini belum sedemikian complex dan complicated, ketiga sifat itu mungkin tidak selangka dalam kehidupan sekarang yang serba instan dan interaksi antar manusia bersumbu pendek, dan suka menerabas seperti istilah yang pernah dipopulerkan antropolog Koentjaraningrat (1980). 

Ada beberapa mentalitas buruk, menurut Koentjaraningrat, yang terus dipelihara sebagian besar bangsa ini dan diwariskan turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Beberapa mentalitas buruk itu antara lain suka menerabas, meremehkan mutu atau kualitas, tidak percaya diri, berdisiplin semu, dan suka mengabaikan tanggung jawab. 

Menerabas itu melakukan pemintasan jalan guna meraih sesuatu secara cepat atau instan. Sebagian besar masyarakat kita tidak mau mengambil jalan yang semestinya dilalui karena memakan waktu lama. Mereka berpikir untuk apa susah-susah, padahal ada jalan yang lebih mudah. Menerabas juga sering diasosiasikan dengan mentalitas yang melangkahi rambu-rambu kepatutan.

Saya kadang berpikir buruk tentang karakter manusia Indonesia ini. Sudah diatur pula perilakunya termasuk dalam hal berinvestasi dengan aturan yang rigid dan agak panjang saja masih banyak ditemukan mental menerabas seperti apa yang dikatakan oleh Koentjaraningrat, apalagi akan dibuat aturan yang sifatnya shortcut? Persoalan AMDAL misalnya, kita sudah membuat ketentuan baku tentang apa dan bagaimana, sebatas apa, ruang lingkupnya agar pembangunan dalam suatu kawasan tidak merusak lingkungan hidup bahkan harus diupayakan sustainabilitasnya. 

Apakah sebenarnya tujuan utama berinvestasi? Bukankah juga dalam rangka survivalnya hidup manusia? Lalu buat apa investasi ketika kegiatan usaha itu justru merusak lingkungan hidup? Itu yang sangat kita khawatirkan dengan omnibus law tanpa mengutamakan bagaimana pembangunan perilaku, karakter manusia yang menjalankan investasi dan hukum investasi.

Puyeng regulasi investasi tidak harus diatasi dengan reformasi regulasi yang membabi buta dengan melakukan breakthrough berupa shortcut kegiatan investasi yang berujung malapetaka. Justru yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah membentuk pribadi penyelamat lingkungan dan generasi masa depan. Dengan apa membentuk pribadi mulia itu? Sebagai negara yang dijuluki "Religious Nation State", maka jawqbannya hanya satu kita mesti kembali kepada aturan agama sebagai pokok penentu jatuh bangunnya peradaban umat manusia. Hal inilah yang disitir oleh Samuel Huntington yang menyatakan bahwa: "Religion is a Central Defining Of Civilization".

Akhirnya dapatlah saya katakan bahwa untuk mengatasi puyeng regulasi investasi bukan dengan omnibus law saja yang diutamakan melainkan adalah reformasi perilaku investor, penguasa pemerintahan dan sekaligus rakyatnya. Ingatlah bahwa perilaku baik adalah dasar penegakan hukum yang baik, termasuk di bidang investasi. Percayakah Anda?[]

Oleh: Prof. Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat)

Posting Komentar

0 Komentar