Membentuk Polisi Progresif: Mungkinkah?


Kendati hukum dan keadilan sering dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang, namun harus diingat bahwa hukum itu berbeda sama sekali dengan keadilan. Menegakkan hukum tidak sekaligus menghadirkan keadilan, apalagi yang disebut dengan keadilan komprehensif. Saya mencoba melacak gerangan jenis keadilan apa yang dapat disejajarkan dengan keadilan komprehensif. Dalam literatur ditemukan jenis keadilan yang disebut perpect justice (Werner Menski, 2006). 

Menurut Menski, pencarian terhadap keadilan melalui hukum telah dilakukan orang dengan menggunakan 3 pendekatan yakni pendekatan filosofis—hasilnya adalah keadilan ideal, normatif positivis—hasilnya adalah keadilan formal dan socio-legal—hasilnya adalah keadilan materiil. Menski menawarkan jenis pendekatan keempat yang disebut dengan pendekatan legal pluralism. Jenis keadilan yang diharapkan lahir dari pendekatan legal pluralism adalah perpect justice yang dapat disetarakan dengan keadilan komprehensif. 

Hal ini sesuai dengan pernyataan Menski bahwa melalui pendekatan legal pluralism ini seorang pengambil keputusan hukum harus senantiasa memerhatikan kompleksitas perkara yang dihadapi. Kompleksitas itulah yang dijadikan dasar konstruksi penalaran hukumnya sebelum polisi, jaksa dan hakim memutus kebijakan tertentu.

Kompleksitas itu berupa state law (hukum negara), living law (sosio-legal) serta natural law (moral, ethics dan religion). Pengambil keputusan hukum yang mampu dan berani meramu dan menggunakan pendekatan legal pluralisme dalam rangka mewujudkan hukum progresif tidak mungkin dihasilkan melalui Pendidikan Tinggi Hukum yang biasa saja, melainkan Pendidikan Tinggi Hukum yang progresif pula. 

II. Permasalahan 
Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) di Indonesia, polisi menempati posisi yang sangat penting, yakni berada di garda terdepan dalam SPP tersebut, Dalam UU No 2 Tahun 2002, fungsi pokok polisi adalah (1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (2) memberikan pelayan dan perlindungan serta pengayoman kepada masyarakat; (3) menegakkan hukum. Fungsi yang paling menonjol adalah fungsi pokok sebagai penegak hukum. 

Sebagai penegak hukum yangberhadapan langsung kepada masyarakat, polisi seharusnya bertindak progresif apabila perlu menggunakan kewenangannya untuk menggunakan diskresi secara patut sebagaiman diatur dalam pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 

Polisi sebagai penegak hukum yang memiliki karakter hukum progresif perlu dianalisis lebih dalam dan tajam yang disertai argumentasi untuk menunjukkan bahwa potensi pembentukan polisi progresif itu bukanlah isapan jempol semata. Oleh karena itu permasalahan pokok yang penting diajukan adalah: 

(1) Polisi progresif, mungkinkah dibentuk di tengah maraknya model penegakan hukum yang konvensional, mekanistik dan deterninstik?

(2) Bagaimana cara membentuknya di tengah hegemoni kehidupan yang sangat praktis dan pragmatis ini?

III. Pembahasan 
A. Sebuah Pilihan: Menjadi Polisi “Nabi” atau Polisi Korup 

Miris saya menyimak pernyataan tentang lembaga terkorup oleh Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja pada kuliah “Upaya Pemberatasan Korupsi dan Anatomi Korupsi pada Pelaksanaan Pemilu", di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Senin (16/9/2013). Ia mengatakan, dibandingkan korupsi lembaga di negara-negara lain di Asia Tenggara, hanya di Indonesia yang anggota parlemennya melakukan korupsi, bahkan secara terstruktur. Menurutnya, di negara lain seperti di Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, lembaga yang paling korup adalah kepolisian. Dalam data yang dipaparkannya, Adnan menunjukkan, di Indonesia, DPR didakwa sebagai lembaga yang paling korup pada periode 2009 hingga 2011. Pada tahun 2012 dan 2013, peringkat pertama lembaga terkorup diduduki bersama oleh DPR dan Polri. 

Agak melompat sedikit hasil survey yang disajikan, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei soal tren persepsi publik tentang demokrasi, korupsi, dan intoleransi. Hasilnya, kepolisian, pengadilan, dan PNS menempati indeks korupsi yang tinggi. 

Dalam survei yang dilakukan LSI, 10,7 persen responden pernah berurusan dengan polisi. Dari jumlah tersebut, 33,7 persen pernah dimintai uang. Hasil survei menyebut 2,4 persen responden berurusan dengan pengadilan. Dari jumlah tersebut, 21,6 persen pernah dimintai uang. Sementara itu, dalam pendaftaran PNS, ditemukan 3,5 persen responden pernah berurusan dengan instansi tersebut. Dari jumlah itu, 17 persen responden juga dimintai uang.

Ada kisah menarik yang dapat menggambarkan antagonisnya hasil riset tersebut dengan kisah polisi yang baik, karena kebaikannya itu hingga oleh media disebut sebagai “polisi nabi”. Tentu saja istilah ini masih debateable. 

Hasil survey hingga 2018 yang menempatkan institusi Polri sebagai institusi yang terkorup seolah mengoyak kisah Aiptu Sulaiman Harahap, anggota Polsek Panyabungan berjuluk ‘Polisi Nabi’ lantaran kebaikan dan kejujurannya selama 36 tahun mengabdi di korps berseragam cokelat itu. Hal itulah yang kemudian cukup mengusik jiwa hingga Kapolres Mandailing Natal (Madina) mengunjungi kontrakannya untuk memberikan apresiasi. HUT Bhayangkara ke-67 tahun waktu itu (tahun 2013) menjadi berkah dan akan selalu dikenang oleh Sulaiman. 

Bagaimana tidak, saat kehidupan sehari-harinya ditayangkan di salah satu media televisi nasional, sosoknya pun menjadi dikenal. Namun, kini bila Sulaiman membaca headline-headline surat-surat kabar daerah dan nasional mungkin akan terperanjat karena menyimak lembaganya ditempeli stempel dan stigma buruk sebagai lembaga terkorup kedua di Indonesia. Sekali lagi, kedua kisah itu sungguh tampak sebagai kisah antagonis.

Tigaratus tahun sebelum Masehi, Ulpianus telah menancapkan tiga prinsip utama hukum alam, yakni honeste vivere (hiduplah dengan jujur), alterum non laedere (terhadap orang lain di sekitarmu janganlah merugikan), dan suum cuique tribuere (kepada orang lain berikanlah apa yang menjadi haknya). Tiga prinsip dasar tersebut sebenarnya merupakan dasar sekalian moralitas manusia sehingga apabila ketiganya diposisikan sebagai perintah, maka perintah itu bersifat perintah yang tidak bisa ditawar-tawar oleh manusia (imperative chategories). Perintah itulah yang dapat memanusiakan manusia dan menjadikan penegak hukum yang humanis. Jujur, tidak merugikan orang lain dan adil adalah sifat-sifat penegak hukum yang humanis tersebut. 

Ketika hidup ini belum sedemikian complex dan complicated, ketiga sifat itu mungkin tidak selangka dalam kehidupan sekarang yang serba instan dan interaksi antar manusia bersumbu pendek, dan suka menerabas seperti istilah yang pernah dipopulerkan antropolog Koentjaraningrat (1980). 

Ada beberapa mentalitas buruk, menurut Koentjaraningrat, yang terus dipelihara sebagian besar bangsa ini dan diwariskan turun-temurun kepada generasi selanjutnya. Beberapa mentalitas buruk itu antara lain suka menerabas, meremehkan mutu atau kualitas, tidak percaya diri, berdisiplin semu, dan suka mengabaikan tanggung jawab. Menerabas itu melakukan pemintasan jalan guna meraih sesuatu secara cepat atau instan. Sebagian besar masyarakat kita tidak mau mengambil jalan yang semestinya dilalui karena memakan waktu lama. Mereka berpikir untuk apa susah-susah, padahal ada jalan yang lebih mudah. Menerabas juga sering diasosiasikan dengan mentalitas yang melangkahi rambu-rambu kepatutan.

B. Pekerjaan Polisi itu berlumuran noda (tainted occupation)

Kehidupan polisi adalah gambaran kehidupan yang complex dan complicated sehingga ilmu yang dimilikinya pun tidak bisa hanya bersifat monodisiplin namun harus multidisiplin bahkan interdisipliner. Tidak cukup ilmu hukum dan ilmu sosial, melainkan harus pula menguasai ilmu forensik, psikologi, politik, budaya, kemiliteran dan sebagainya. Terutama dalam kedudukannya in optima forma dalam criminal justice system, polisi adalah garda terdepan yang seharusnya mampu bertindak sebagai hukum yang hidup. Di tangan polisilah hukum itu mengalami pengejawantahan. 

Baik buruknya wajah penegakan hukum dimulai dari tahap pertama ini. Di tahap ini pula apabila polisi tidak jujur, merugikan orang lain serta tidak dapat bertindak adil, polisi akan terjerumus dalam kubangan noda. Oleh karenanya, di beberapa literatur disebutkan bahwa pekerjaan polisi itu disebut sebagai tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda). Aiptu Sulaiman di Madina ternyata mampu menempatkan diri di luar kubangan itu hingga Sulaiman dijuluki “polisi nabi”, meskipun mungkin julukan itu terlalu berlebihan dalam konteks keagamaan. 

Yang saya persoalkan dalam tulisan ini adalah, mengapa “polisi nabi” itu baru muncul sekarang dan hanya disandang oleh seorang polisi berpangkat rendah yakni Bintara Tinggi Ajun Inspektur Polisi Satu—dulu Pembantu Letnan Satu---setelah bekerja sebagai polisi selama 36 tahun? Mengapa belum ada—atau belum diberitakan adanya-- “Kapolres nabi”, “Kapolda nabi”, “Kapolri Nabi”, Gubernur AKPOL nabi”, “Jenderal nabi”? Apakah karena semakin tinggi pangkat, semakin complex dan complicated kehidupan sehingga membuat penyandangnya sulit untuk memiliki sifat humanitas sehingga terus terjebak dalam kubangan tainted occupation? 

Apabila para petinggi polisi tidak mampu menjadi “polisi nabi”, lalu dapatkah dijamin bawahan-bawahannya dapat menjadi “polisi nabi”? Apakah Satuan-satuan di kepolisian belum memiliki “komandan polisi nabi”? Hal ini tentu membutuhkan pengkajian lebih intensif. Namun, secara sederhana mungkin dapat dipakai logika hipotesis bahwa semakin tinggi pangkat dan jabatan, semakin sulit orang untuk berbuat jujur, tidak merugikan orang lain serta bertindak adil dan mungkin juga semakin sulit untuk tidak korup. Sebagai sebuah hipotesis, tentu saja dapat terbukti dan dapat pula tidak terbukti di negara Pancasila ini.

C. Urgen: Reformasi perilaku dan birokrasi

Untuk menjadi polisi nabi dibutuhkan reformasi di berbagai bidang, bahkan reformasi itu tidak dapat dilakukan secara gradual dan partikular melainkan harus dilakukan secara sustainable dan sistematis. 

Sebenarnya polisi telah berbenah di tengah cemoohan dari berbagai pihak, lantaran beberapa kasus yang menerpa beberapa aparatur birokrasinya seperti perbuatan korup anggotanya. Maka, reformasi harus diteruskan khususnya mereformasi perilaku polisi dan sekaligus birokrasinya. Percuma mereformasi perilaku personil polisi apabila sistem birokrasinya tidak direformasi dan percuma direformasi birokrasinya apabila personilnya tidak direformasi. Kedua bidang reformasi tersebut sebenarnya beririsan pada satu titik, yaitu reformasi budaya polisi (police culture) atau juga lebih dikonkretkan dalam bentuk “police gentlement”. 

Pada tahun 1970-an, Robert B. Seidman melakukan penelitian tentang peranan lembaga informal dalam penegakan hukum di Afrika jajahan Inggris. Ketika Inggris datang ke Afrika, kehidupan hukum Afrika sangat buruk, banyak “bolong-bolong”- nya, inkonsisten, korup dan banyak intrik hukum serta politiknya. Inggris merasa tidak mungkin dalam waktu sekejap dapat dilakukan perombakan total terhadap sistem hukum di Afrika kala itu. Oleh karenanya, Inggris mencari cara untuk mengatasinya dengan menetapkan apa yang disebut dengan “English Gentlement” yang berisi karakter untuk (1) Tinggi hati (menjaga martabat), (2) Tidak korup dan tidak mau disuap, (3) Jujur dan, (4) Adil. Keempat karakter itulah yang menambal “bolong-bolong”-nya hukum Afrika saat itu sehingga kehidupan hukum menjadi baik meskipun yang dipakai adalah hukum yang buruk. Namun, ketika Inggris meninggalkan Afrika, kehidupan hukum Afrika menjadi terpuruk kembali.

D. Menjadi Polisi Progresif itu Harus Responsif 

Reformasi budaya polisi seharusnya mengarah pada pembentukan polisi yang responsif sebagaimana diharapkan oleh Presiden SBY ketika memberikan sambutan pada HUT POLRI ke-67 ini (Kompas, 1 Juli 2013). Untuk menuju polisi responsif, polisi telah memiliki program Quick Wins. Quick Wins merupakan Program Akselerasi dan Transformasi Polri dalam rangka membenahi Polri sesuai dengan tugas pokok, peran dan fungsinya. Polri juga telah menetapkan Grand Strategi tahun 2005 s/d 2025 yang terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu 2005-210: trust building, 2010-2015: patnership building, dan 2015-2025: strieve for excellence. Salah satu program dalam Quick Wins Polri adalah Quick Respons Samapta, yakni ketanggapsegeraan Polri dalam pelayanan kepada masyarakat dengan salah satu Strategi Perpolisian Masyarakat (community policing) yang diharapkan mampu mewujudkan adanya kesetaraan antara Polri dan masyarakat serta kebersamaan dalam memecahkan bukan hanya masalah keamanan, namun juga persoalan pemberantasan korupsi. 

Watak responsif Polri saya kira tidak cukup diwujudkan hanya dengan menunggu laporan masyarakat, apalagi setelah ada laporan masyarakat tidak segera ditindaklanjuti karena pengutamaan perintah atasan dan prosedur yang kadang terlalu berbelit-belit (sangat birokratis). Bila seorang polisi dalam menjalankan hukum masih tetap terkungkung (caged) dengan prosedur rumit dan perintah serta petunjuk atasan saja, maka sangat sulit diwujudkan polisi responsif. Pada tataran teoretik, karakter responsif ini harus didukung dengan birokrasi yang bersifat postbirokratik (Nonet dan Selznick) yang secara konseptual mengutamakan tujuan (purpose) bukan prosedur saja serta tidak terkungkung oleh aturan (not rule boundedness), sehingga karakter responsif Polri ini pada akhirnya dapat menuntunnya menjadi polisi progresif yang tidak menabukan diskresi yang valid (valid discretion) dalam pelaksanaan tugasnya termasuk tugas sebagai garda pertama dalam pemberantasan korupsi.

Menjadi “polisi nabi” saya kira bukanlah sekedar utopia, namun sebuah harapan kuat yang disertai dengan tantangan dan hambatan yang kompleks. Kompleksitas kehidupan serta hambatan itu hendaknya tidak menyurutkan langkah untuk menjadi “polisi nabi” atau setidak-tidaknya menjadi polisi responsif dan progresif sehingga masalah keamanan dan ketertiban masyarakat serta pemberantasan korupsi dapat terwujud di segala wilayah hukum baik di tingkat Polsek, Polres, Polda maupun secara nasional. Untuk ini peran Kapolri menjadi kunci utama untuk meraih dan mengawal tujuan Grand Strategy Polri. 

Karakter pejuang (vigilante) dan berani (braveness) melakukan lompatan-lompatan baru sangat dibutuhkan Polri agar “polisi-polisi nabi” di belakang Aiptu Sulaiman bermunculan semakin banyak. Beranikah Kapolsek, Kapolres, Kapolda, bahkan Kapolri memulai menjadi “polisi nabi’ sehingga tidak korup. Kalau petinggi-petinggi polisi tidak mampu menjadi polisi nabi, bisakah kita terus berharap polisi-polisi yang masih berpangkat rendah menjadi pioner-pioner polisi nabi sehingga memiliki “police gentlement” seperti English gentlement di muka sehingga tidak menjadi polisi korup. Tindakan-tindakan polisi yang mengarah ke tindakan korup ke depan harus dapat dideteksi sedini mungkin sehingga tindakan para anggotanya tidak kontra produktif dengan Grand Strategy POLRI sebagai garda terdepan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Penanganan berbagai kasus oleh polisi mungkin dapat dijadikan contoh suatu upaya untuk membentuk karakter polisi yang memiliki watak progresif---karena unsur “kenabiannya” yang ingin menyelesaikan kasus dengan menghadirkan keadilan substantif, tidak selalu mengutamakan keadilan formal melalui jalur litigasi apalagi pidana. Bangsa ini telah memiliki begitu plural jenis hukum yang membingkai kehidupannya. Dalam penanganan kasus-kasus hukum di negeri yang serba plural seperti Indonesia ini, tidak cukup bagi kita bila hanya menggunakan hukum negara (state law) sebagai bahan dasar utama untuk mengonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum. Dibutuhkan kerja keras untuk mengikutsertakan faset-faset hukum selain faset hukum perundang-undangan mengingat hukum itu bersifat multifaset, interdisipliner dan berarti mesti komprehensif.

E. Mencari Jalan Keluar 

1. Keadilan substantif lebih diutamakan 

Para hakim tidak boleh hanya sekedar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) dan tradisi konvensional yang menghambat kreatifitas dalam mewujudkan keadilan. Bukankah keadilan itu mesti diutamakan dari pada kepastian hukum seperti yang dikatakan oleh penggagasnya, Gustav Radbruch? Kendati hukum dan keadilan sering dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang, namun harus diingat bahwa hukum itu berbeda sama sekali dengan keadilan. Menegakkan hukum tidak sekaligus menghadirkan keadilan, apalagi yang disebut dengan keadilan substantif. Saya mencoba melacak gerangan jenis keadilan apa yang dapat disejajarkan dengan keadilan substantif. Dalam literatur ditemukan jenis keadilan yang disebut perpect justice (Werner Menski, 2006). 

Menurut Menski, pencarian terhadap keadilan melalui hukum telah dilakukan orang dengan menggunakan 3 pendekatan yakni pendekatan filosofis—hasilnya adalah keadilan ideal, normatif positivis—hasilnya adalah keadilan formal dan socio-legal—hasilnya adalah keadilan materiil. 

Menski menawarkan jenis pendekatan keempat yang disebut dengan pendekatan legal pluralism. Jenis keadilan yang diharapkan lahir dari pendekatan legal pluralism adalah perpect justice yang dapat disetarakan dengan keadilan substantif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Menski bahwa melalui pendekatan legal pluralism ini seorang pengambil keputusan hukum harus senantiasa memerhatikan kompleksitas perkara yang dihadapi. Kompleksitas itulah yang dijadikan dasar konstruksi penalaran hukumnya sebelum polisi, jaksa dan hakim memutus kebijakan tertentu. Kompleksitas itu berupa state law (hukum negara), living law (sosio-legal) serta natural law (moral, ethics dan religion).

Dalam penanganan kasus-kasus hukum di negeri yang serba plural seperti Indonesia ini, termasuk kasus korupsi, tampaknya tidak cukup bagi hakim seperti Artidjo bila hanya menggunakan hukum negara (state law) sebagai bahan dasar utama untuk mengonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum.

Dibutuhkan kerja keras untuk mengikutsertakan faset-faset hukum selain faset hukum perundang-undangan mengingat hukum itu bersifat multifaset, interdisipliner dan berarti mesti komprehensif. Bila faset UU tidak cukup mendorong hakim untuk bertindak progresif, maka faset moral, ethics dan juga religion lah yang akan mampu mendongkrak adrenalin hakim untuk berpikir, bersikap dan bertindak progresif dalam memeriksa hingga menyelesaikan perkara korupsi.

2. Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum 

Bila kultur hukum polisi dan kepemimpinannya kurang mendukung kreativitas dan progresivitas polisi dalam menangani suatu perkara, masihkah adakah harapan untuk menghadirkan keadilan kepada masyarakat? Tentu masih ada, yakni melalui reformasi Pendidikan Tinggi Hukum (PTH) dan Pendidikan Kepolisian (SPM, AKPOL dan PTIK). Hal ini perlu ditawarkan sebagai solusi mengingat ketiga lembaga pendidikan tersebut sebagai ibu asuh bagi para polisi. Mereka digodok dan dilahirkan dari sekolah-sekolah ini. PTH dan Pendidikan Kepolisian kita selama ini cenderung mengajarkan hukum hanya dalam satu faset, yaitu faset UU yang sebenarnya sangat kering dari aspek moral, ethics dan religion sehingga keras, kaku dan dingin layaknya sebuah skeleton. 

Tugas PTH dan Pendidikan Kepolisian adalam meruhanikan ilmu hukum sehingga berwatak humanis dan progresif, yakni (1) dengan kecerdasan spiritualnya (spiritual quoition) seorang penegak hukum termasuk hakim tidak terkungkung oleh peraturan bila ternyata peraturan hukum itu justru tidak menghadirkan keadilan; (2) penegak hukum mau melakukan penemuan-penemuan hukum (rechtsvinding) melalui pencarian makna yang lebih dalam (deep interpretation) dari suatu teks dan konteks hukum sehingga tidak terjebak dengan makna-makna gramatikal yang dangkal; dan (3) penegak hukum mau memiliki kepedulian dan keberpihakan terhadap rakyat, pihak-pihak yang lemah yang harus dijamin dan diindungi hak-haknya (compassion). PTH dan Pendidikan Kepolisian se-Indonesia mesti mau berbenah dan berubah untuk tanggap terhadap adanya krisis dalam penegakan hukum yang secara internasional kita menduduki ranking rendah, yakni 62 dari 126 negara yang disurvei oleh Global Justice Project. Keputusan dan kebijakan progresif di garda pertama SPP hanya bisa dihasilkan oleh polisi yang progresif. 

Polisi-polisi progresif hanya dapat dihasilkan oleh PTH dan Pendidikan Kepolisian yang progresif pula, yang tanggap terhadap ketidakcukupan hukum yang hanya dipandang sebagai peraturan perundang-undangan. Untuk ini seharusnya mulai dirintis perubahan kurikulum PTH dan Pendidikan Kepolisian serta perubahan mindset para dosen, pengajar-pengajar diklat profesi hukum menuju kurikulum pendidikan progresif, tidak lagi konvensional-legal positivistik. Pendidikan Tinggi Hukum dan Pendidikan Kepolisian di Indonesia seharusnya sudah berpikir untuk mengintrodusir satu mata kuliah yang dapat menyemaikan hukum progresif. Satu-satunya pendidikan tinggi yang pernah memasukkan mata kuliah hukum progresif ke dalam kurikulumnya adalah Akademi Kepolisian (AKPOL) di Semarang. Hal ini tidak terlepas dari upaya saya sebagai Direktur Eksekutif Satjipto Rahardjo Institute (SRI) untuk mencoba menawarkan perubahan mindset peserta didik di AKPOL / Sekolah Tinggin Ilmu Kepolisian (STIK) terhadap hukum dan bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Namun, sesuatu hal justru kini Saya tidak mengajar lagi di AKPOL dan tidak pula diperkenankan mengajar di PTIK.

Di Fakultas Hukum UNDIP sebagai tempat lahirnya hukum progresif hingga sekarang belum memasukkan mata kuliah tersebut ke dalam kurikulumnya. Materi hukum progresif hanya diselipkan ke dalam mata kuliah Hukum dan Masyarakat/Sosiologi Hukum. Sangat beruntung di Program Doktor Ilmu Hukum Undip mindset dosen telah banyak juga yang diwarnai dengan gagasan, pemikiran hukum progresif. Namun, sangat disayangkan juga kini Saya pun tidak dilibatkan dalam mengajar Hukum Progresif di PDIH Undip tersebut. Dalam pandagan saya, meskipun tampaknya sulit mencetak polisi progresif, namun kita tetap berharap lahirlah polisi yang dihasilkan dari pendidikan tinggi hukum dan pendidikan kepolisian yang sarat dengan nuansa progresifitas dengan mengusung hukum progresif Profesor Satjipto Rahardjo. Terus majulah penegak hukum progresif!

IV. Penutup 

Pengutamaan pencarian keadilan substantive serta adanya Pendidikan Tinggi Hukum (PTH) dan Pendidikan Kepolisian ( SPM, AKPOL dan PTIK) yang berkarakter progresif sebenarnya menjadi modal utama untuk membentuk polisi progresif di tengah hegemoni kehidupan yang serba praktis dan pragmatis. Karakter progresif itu ditunjukkan dengan perlilaku sebagai berikut: 

(1) Dengan kecerdasan spiritualnya (spiritual quoition) seorang penegak hukum termasuk polisi tidak terkungkung oleh peraturan bila ternyata peraturan hukum itu justru tidak menghadirkan keadilan; 

(2) Polisi sebagai penegak hukum mau melakukan penafsiran terhadap peraturan hukum khususnya dalam melakukan penemuan-penemuan hukum (rechtsvinding) melalui pencarian makna yang lebih dalam (deep interpretation) dari suatu teks dan konteks hukum sehingga tidak terjebak dengan makna-makna gramatikal yang dangkal; dan 

(3) Polisi sebagai penegak hukum mau memiliki kepedulian dan keberpihakan terhadap rakyat, pihak-pihak yang lemah yang harsi dijamin dan diindungi hak-haknya (compassion).[]

Oleh Prof. Suteki S.H. M.Hum



Posting Komentar

0 Komentar