Koreksi Asasi Atas Candaan Dusta: Prediksi Corona dalam Iqra'

 

Pesan Viral di WA (WhatsApp) belakangan ini, viral di grup-grup WA guyonan yang mengait-ngaitkan antara fenomena wabah virus Corona dan ejaan dalam buku Iqra', dimana di dalamnya disebutkan secara jelas "munculnya virus corona sudah diprediksi oleh seorang kyai asal Indonesia, beliau pengarang kitab Iqro'":

======

Jangan Terkejut..Ternyata fenomena Munculnya virus corona sudah di predikdi oleh seorang kyai asal indonesia..Beliau pengarang kitab IQRO..Silahkan di cek. Di jelaskan virus corona akan muncul saat zaman penuh dengan kebohongan.

Dengan contoh pesan viral dalam gambar:

Pertanyaan: 
 
"Bagaimana menanggapi pesan viral seperti itu?"
 

KOREKSI & TANGGAPAN:

Pertama, Harus ditegaskan bahwa pesan di atas dibangun di atas asumsi kelewat batas, menggunakan kaidah 'cocokologi', mengaitkan dua hal yang sebenarnya tidak relevan, bisa dipastikan tidak relevan, terlebih tidak jika diklaim itu adalah prediksi (sejenis ramalan?!) dari pengarang kitab Iqra'. Maka jelas kebatilan asumsi yang dibangun di atasnya sesuai kaidah:


كل ما بني على باطل فهو باطل

“Segala hal yang dibangun di atas asas yang batil maka ia pun batil.”[1]


كل ما بني على فاسد فهو فاسد

“Segala hal yang dibangun di atas asas yang rusak maka ia pun rusak.”


Bukti kesalahannya jelas: Dalam buku iqra’ hanya tertulis [قَ رَ نَ - خَ لَ قَ - زَ مَ نَ - كَ ذَ بَ], padahal dalam kaidah ta’rib (arabisasi dari abjad latin kepada arabi) lafal “corona” jelasnya tidak ditulis “قَرَنَ” melainkan “كورونا”, dan redaksi “قَرَنَ خَلَقَ زَمَنَ كَذَبَ” jelasnya bukan kalimat sempurna yang benar secara kaidah (jumlah mufiidah), karena kalimat yang benar untuk menggambarkan hal tersebut: “كورونا خُلِقَ فِي زَمَنِ الكَذبِ”.


Kedua, Menisbatkan apa yang termaktub dalam buku Iqra' dan fenomena wabah virus Corona sebagai prediksi (ramalan) dari pengarang buku tersebut jelas termasuk kedustaan mengatasnamakan orang lain (penyusun buku iqra’), mengingat beliau bukan lah seorang peramal ('arraf/kahin), dan tidak sedang meramal mengingat buku iqra' bukanlah buku ramalan, dan berdusta meskipun untuk goyunan atau candaan tetaplah suatu kedustaan yang wajib dihindari, terlebih jika kedustaan tersebut bisa mencoreng citra atau merugikan pihak lain (mengandung kezhaliman).


Bercanda itu sendiri pada prinsipnya wajib dilakukan sejalan dengan batasan syari’at, di antaranya tidak boleh mengandung kezhaliman dan kedustaan, sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: “Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah ﷺ, sesungguhnya engkau mencandai kami”, Rasulullah ﷺ bersabda:


«إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا»

“Sesungguhnya aku tidak akan berkata-kata kecuali kebenaran.” (HR. Al-Tirmidzi, Ahmad)


Menurut Imam al-Mubarakfuri, makna haqq[an] dalam hadits di atas yakni ’adl[an] (adil, tidak mengandung kezhaliman) dan shidq[an] (benar, jujur atau tidak mengandung kedustaan).[2] Hal itu termasuk ke dalam pesan yang mulia dari Rasulullâh ﷺ:


«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad & Malik)


Hadits shahih yang mulia di atas telah meletakkan prinsip yang agung dalam berbicara. Dalam ilmu ushul fikih, tuntutan perintah dalam hadits ini hukumnya wajib, yakni kewajiban mengucapkan perkataan yang benar, baik sesuai petunjuk syari’at, tidak boleh menyelisihinya, karena mengandung indikasi tegas (qarînah jâzimah); “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir”;


Ketiga, Prediksi atas kejadian masa mendatang, dalam perspektif akidah Islam jelasnya termasuk perkara ghaib, mengingat hal itu tersembunyi dan tidak dapat diketahui oleh manusia. Kata ghayb, secara bahasa (etimologis) berasal dari bahasa Arab; ghaba-yaghibu-ghayban, dalam Al-Mu’jam al-Wasîth (II/667) artinya lawan dari tampak dan hadir (khilâf syahida wa hadhara), yakni sesuatu yang tersembunyi. Apa yang terjadi di masa mendatang, jelas masuk dalam ruang lingkup sesuatu yang tersembunyi, sehingga wabah virus baru yang dinamakan virus corona, pada prinsipnya merupakan perkara ghaib bagi kyai penulis buku Iqra’ khususnya di masa tatkala beliau menyusun buku tersebut dan kalimat di dalamnya.


Dan apa-apa yang tak terjangkau oleh penginderaan (ghayb), maka ia tak terjangkau oleh ‘aql, maka wajib dikembalikan kepada dalil-dalil naqliyyah dari nas al-Qur’an dan al-Sunnah, jika tidak ada, maka tidak boleh berhalusinasi sendiri, sebagaimana ditegaskan Al-‘Allamah Al-Qadhi Taqiyuddin Al-Nabhani (w. 1397 H):


مَا لاَ يُدْرِكُهُ الحِسّ لاَ يُدْرِكُهُ العَقْل

“Apa-apa yang tak bisa terindera (oleh panca indera-pen.) maka ia takkan bisa dijangkau oleh akal (pikiran).”


Terlebih kunci-kunci keghaiban hakikatnya milik Allah, dimana Allah menegaskan bahwa tiada yang mengetahuinya kecuali Dia semata, sebagaimana firman-Nya:


وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ {٥٩}

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (QS. Al-An’âm [6]: 59)


Orang yang meramal dan memprediksikan perkara ghaib dengan suatu peramalan, maka ia dinamakan kâhin (dukun). Para ulama ketika menafsirkan QS. Al-Thûr [52]: 29, semisal Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1270 H) menjelaskan:


هو الذي يخبر بالغيب بضرب من الظن، وخص الراغب الكاهن بمن يخبر بالأخبار الماضية الخفية كذلك، والعرّاف بمن يخبر بالأخبار المستقبلة كذلك، والمشهور في الكهانة الاستمداد من الجن في الإخبار عن الغيب

(Dukun) adalah orang yang mengabarkan berita ghaib sejenis ramalan belaka, dan Imam ar-Raghib[3] mengkhususkan kâhin sebagai seseorang yang mengabarkan hal-hal yang telah terjadi yang bersifat rahasia. Adapun ‘arrâf (peramal) sebagai orang yang mengabarkan hal-hal yang akan terjadi.[4] Dan sudah menjadi hal yang masyhur dalam dunia perdukunan, (kâhin & ‘arrâf) memperoleh berita-berita ghaib dari bangsa jin.[5]


Kelima, Secara keseluruhan, pesan tersebut meskipun ringkas, tapi mengandung sisipan pendangkalan akidah, seakan-akan prediksi (peramalan) tersebut adalah hal yang lumrah, dan itu jelas batil, wajib dibantah dan diluruskan. Maka sebagai nasihat bagi kaum Muslim, hendaknya saling mengingatkan dan menjaga umat dari berbagai pendangkalan akidah, baik yang sifatnya halus tersembunyi maupun terang-terangan. Darimana masyarakat dibodohi dengan berbagai guyonan seperti itu, lebih baik diingatkan dengan peringatan-peringatan syar'i atas musibah yang terjadi di muka bumi:


Muhasabah Atas Musibah Wabah Penyakit.[]
والله أعلم بالصواب

وفقنا الله وإياكم فيما يرضاه ربنا ويحبه

 
Oleh: Irfan Abu Naveed, M.Pd.I
[Penulis Buku Menyingkap Jin & Dukun Hitam Putih Indonesia & Buku Jahiliyyah Menyikapi Musibah]

sumber artikel: irfanabunaveed.net

Daftar Pustaka:
[1] Prof. Dr. Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Damaskus: Dar al-Khayr, cet. II, 1427 H, juz I, hlm. 264; Abdul Muhsin bin Abdullah al-Zamil, Syarh al-Qawâ’id al-Sa’diyyah, Riyadh: Dar Athlas al-Khadra’, cet. I, 1422 H, hlm. 343.

[2] Abu al-‘Alla Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, juz. VI, hlm. 108.

[3] Ia adalah Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad ar-Râghib al-Ashfahani penulis kitab Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân.

[4] Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Damaskus: Dar al-Qalam, Cet. I, 1412 H, juz I, hlm. 728.

[5] Syihabuddin Mahmud bin ‘Abdillah al-Husayni al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa al-Sab’u al-Matsânî, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. I, 1415 H, juz 14, hlm. 36.

Posting Komentar

0 Komentar