Seiring dengan terjadinya gelombang “hijrah”, khususnya di kalangan pesohor, bankir, dan masyarakat awam, pertanyaan yang paling banyak saya dapatkan ketika mengisi kajian adalah, “Bagaimana agar kita tetap istiqamah dalam ketaatan dan dakwah?” Iya, karena, setelah berubah menjadi lebih baik, mereka tetap ingin istiqamah dalam ketaatan dan dakwah. Karena tidak ingin kembali dalam kehidupan lama mereka.
Dari sekian jawaban yang saya temukan, ada jawaban yang luar biasa dari al-‘Allamah Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, dalam kitabnya, al-Wabil as-Shayyib. Beliau menjelaskan, bahwa keistiqamahan kita ditentukan oleh dua faktor, yaitu hati dan anggota badan.
Keistiqamahan hati ditentukan oleh dua faktor:
Pertama, mendahulukan cinta kepada Allah atas semua yang kita cintai. Jika cinta kepada-Nya berbenturan dengan cinta kepada yang lain, maka cinta kepada-Nya harus didahulukan, mengalahkan cinta kita kepada yang lain. Secara teori memang mudah, tetapi praktiknya susah. Hanya saja, justru ketika ujian itu datang, saat itulah, kemuliaan atau kehinaan itu dibuktikan. Ketika kita diuji untuk memilih, antara mendahulukan titah Allah, atau titah nafsu, orang tua, istri, anak, guru, bahkan penguasa, ketika titah mereka tidak sejalan dengan titah-Nya, saat itu kita harus buktikan, bahwa cinta kita kepada-Nya melebihi cinta kita kepada yang lainnya. Itulah kemuliaan. Jika sebaliknya, itulah kehinaan.
Ketika kita mendahulukan cinta kita kepada yang lain, maka kita tidak akan mendapatkan apapun dari-Nya, kecuali adzab-Nya. Tak ada keridhaan. Tak ada kebaikan. Bahkan, tak ada keberkahan. Yang ada adalah kemurkaan-Nya, keburukan dan ketidakberkahan. Meski secara fisik dan materi tampak baik dipandang mata.
Kedua, hati akan tetap istiqamah, ketika hati itu menghormati dan mengagungkan perintah dan larangan-Nya. Ketika hati sudah tidak menghormati dan mengagungkan titah-Nya, itu pertanda sudah tidak lagi menghormati dan mengagungkan Dzat yang Memberi titah. Karena itu, Allah mencela orang yang menghormati dan mengagungkan-Nya, tetapi tidak menghormati dan mengagungkan titah-Nya.
Allah berfirman:
Ù…َّا Ù„َÙƒُÙ…ْ Ù„َا تَرْجُونَ Ù„ِÙ„َّÙ‡ِ ÙˆَÙ‚َارًا
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” [Q.s. Nuh [71]: 13]
Ibn ‘Abbas menjelaskan tafsirnya, “Mengapa kamu tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kebesaran-Nya.” [Lihat, Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz III/453; Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madarij as-Salikin, Juz II/495]
Mengutip penjelasan Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyyah, beliau menjelaskan, bahwa urutan pertama dalam menghormati dan mengagungkan Dzat yang Maha Memberi titah, Allah Subhanahu wa Ta’ala, adalah menghormati dan mengagungkan titah-Nya. Karena orang Mukmin mengenal Rabbnya, melalui risalah yang dibawa oleh utusan-Nya, Muhammad Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama, kepada seluruh umat manusia. Konsekuensinya harus tunduk dan patuh kepada titah-Nya. Itu hanya bisa diwujudkan dengan menghormati dan mengagungkan titah-Nya. Maka, ketika kita menghormati dan mengagungkan titah-Nya, itu artinya kita pun menghormati dan mengagungkan Dzat yang Maha Memberi titah.
Ciri orang Mukmin yang menghormati dan mengagungkan titah-Nya adalah memperhatikan waktunya, batasan, memeriksa rukun-rukunnya, kewajiban dan kesempurnaannya. Selalu berusaha menunaikannya tepat pada waktunya, bersegera menunaikannya ketika kewajibanya tiba. Sedih, menyesal dan merasa sayang ketika salah satu haknya tertinggal, apalagi terlepas.
Titah-Nya itu tak hanya harus dilaksanakan secara fisik, tanpa menyertakan hati dan rasa. Seperti shalat, ibadah maupun semua titah-Nya yang lain. Semuanya merupakan integrasi antara aktivitas fisik dan hati. Shalat, misalnya, ketika dilaksanakan tanpa hati dan rasa, ketika dilaksanakan tidak khusyu’, ibarat mayat tanpa ruh. Meski, syarat dan rukunnya telah ditunaikan semua, tetapi shalat kita hampa. Kewajibannya memang telah gugur, tetapi kita tidak mendapatkan apa-apa. Hukum di dunia gugur, tetapi pahala adalah masalah ghaib dan urusan akhirat. Boleh jadi di dunia kewajibannya gugur, tetapi di akhirat tidak mendapatkan apa-apa.
Karena itu, para ulama’ menjelaskan, syarat diterima dan sempurnanya amal kita ada dua. Pertama, harus ikhlas. Kedua, benar, mengikuti hukum syara’. Syarat kedua adalah syarat fisik, terkait dengan hukum dunia. Bisa diraba dan dilihat manusia. Tetapi, ini bukan syarat satu-satunya. Jika syarat ini terpenuhi, masih ada syarat berikutnya, yaitu ikhlas. Ikhlas ada di dalam hati. Sumbernya keimanan kepada Allah, dan pengabdian diri hanya kepada-Nya.
Karena itu, mengapa para sahabat selalu menangis, khawatir amal mereka tidak diterima, padahal amal mereka luar biasa? Mereka bisa mencopy paste perbuatan mereka dari Nabi, dalam konteks hukum dunia, yaitu hukum syara’. Tetapi, mereka tidak bisa memastikan keikhlasan mereka di sisi Allah. Karena ini perkara yang tak tampak. Allah Maha Tahu isi hati kita. Karena itu, dalam melaksanakan titah-Nya, kita tidak hanya diperintahkan untuk terikat dengan hukum syara’, tetapi harus membersihkan hati, dari riya’, sum’ah, ujub, dan sebagainya, agar tetap ikhlas melakukan perbuatan tersebut semata untuk-Nya.
Ketika kita melaksakan perbuatan, karena takut, jika tidak kita kerjakan, takut dicela dan dihina orang, atau takut akan sanksi dunia, kemudian kita taat pada aturan, maka ketaatan ini hanya menggugurkan kewajiban fisik, keterikatan pada hukum. Maka, ketaatan seperti ini mudah runtuh, karena tak ada yang melihat, atau mengetahui pelanggaran kita. Karena ketaatan kita tidak dibangun berdasarkan kesadaran hubungan kita dengan Allah.
Begitu juga ketika kita melaksanakan aktivitas dakwah, semata karena menggugurkan kewajiban di mata manusia, maka dakwah kita akan hampa. Tanpa rasa, apalagi kerinduan untuk menunaikannya. Beda, jika aktivitas dakwah itu kita laksanakan karena kesadaran hubungan kita dengan Allah, karena kemuliaannya yang begitu luar biasa, karena cinta kita kepada-Nya, maka kita pun menunaikan titah-Nya. Saat itu, ada kekuatan di dalam hati. Ada kerinduan. Ada rasa yang membuncah. Bukan karena taklif, atau yang lain. Tetapi, karena kesadaran kita, bahwa ini adalah titah-Nya.
Karena itu, membangun kesadaran hubungan kita dengan Allah ketika kita menunaikan titah-Nya adalah cara untuk memastikan kita tetap bisa istiqamah, baik ketika sendiri, maupun bersama orang lain. Dilihat, diketahui atau tidak oleh yang lain. Kesadaran hubungan kita dengan Allah itulah ruh, yang menjadikan aktivitas fisik kita terjaga. Ketika aktivitas fisik dan kesadaran hubungan kita dengan Allah itu menyatu, pada saat itulah, kita akan istiqamah dalam ketaatan dan dakwah di jalan-Nya.
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
0 Komentar