Radikalisme, Topeng Borok Korporatokrasi

Isu Radikalisme Gagal, Ajaran Islam Dijegal

Radikalisme menjadi buah bibir yang tak henti-hentinya diperbincangkan di jagat publik. Mayoritas elit politik senantiasa berusaha mendendangkannya. Bahkan radikalisme tercium dijadikan sebagai permasalahan utama negri ini. Akhirnya meminggirkan permasalahan serius lainnya, seperti kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, korupsi yang menggurita, buruknya layanan kesehatan, seperatisme Papua, bahkan laju Indonesia menjadi negara korporatokrasi.

Dijadikannya radikalisme menjadi trend setter permasalahan utama negri ini terlihat dari beberapa indikator yang  mengkonfirmasi bahwa penguasa saat ini sangat berlebihan dalam menangani permasalahan yang sejatinya bukanlah masalah ini (baca: radikal). Salah satunya terlihat dari Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dikeluarkan oleh sebelas Kementerian dan Lembaga Negara. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, juga menilai bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penanganan radikalisme pada Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak akan memangkas radikalisme. 

Sebaliknya, adanya SKB ini seolah justru mengembalikan Indonesia pada era pra reformasi. Menurut Usman, aturan yang dimuat dalam SKB bersifat samar. Aturan itu juga tidak memiliki dasar yang kuat dan terlalu luas. (nasional.kompas.com 28/11/2019).

Lebih dalam, pakar hukum dan masyarakat, Prof. Suteki, S. H. M. Hum, pernah menyatakan bahwa istilah radikal tidak dikenal dalam nomenklatur hukum. Istilah ini tidak ada definisi baku yang disepakati bersama. Akibatnya radikal dapat didefinisikan secara 'obscure' dan lentur sehingga memungkinkan digunakan sebagai alat politik untuk menggebuk lawan yang berseberangan dengan pihak pemilik otoritas. Istilah radikal yang berkelindan di publik dan dinarasikan oleh penguasa juga sering dimaknai dengan makna peyortif bahkan destruktif. 

Padahal radikal merupakan bahasa yang bebas nilai jika dikembalikan ke makna aslinya yaitu akar dan mendasar. Tanpa menanggalkan baju obyektifitas, beberapa kalangan mengajukan pemaknaan radikal dengan makna yang lebih amelioratif yaitu  ramah, terdidik dan berakal.

Sasaran narasi radikal mudah ditebak. Layaknya seperti proyek war on terorism yang akhirnya terbuka tabirnya menjadi war on islam, radikalisme juga menyasar kepada islam dan pemeluknya. Hal tersebut terbukti dengan berbagai pernyataan yang hanya mengaitkan radikalisme dengan islam. Seperti pernyataan yang dilontarkan oleh salah satu anggota Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Megawati Soekarno Putri, yang menyatakan keprihatinannya terhadap masjid di lingkungan Kementerian yang terpapar dengan ajaran radikalisme (cnnindonesia.com 03/12/2019).

Ancaman Nyata dari Korporatokrasi
The Economist (2018) merilis data bahwa urutan demokrasi indonesia bertengger pada posisi 68 dari 167 negara. Posisi tersebut menempatkan indonesia dalam kategori negara dengan kategori "demokrasi yang cacat" atau flawed democracies (rentang 20 - 76). Indonesia memiliki skor rata-rata 6,39. Media AS itu menyebut bahwa posisi Indonesia dalam indeks tersebut merosot tajam 20 puluh peringkat dari penghitungan tahun 2016. Penyebab kemerosotan itu menurut The Economist dipicu oleh dinamika politik pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan bangkitnya gerakan sosial-masyarakat berbasis keagamaan. Bagaimanakah dengan fakta demokrasi di indonesia?
 Apakah masih mengikuti kredo demokrasi yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat?
Demokrasi di berbagai negara saat ini sedang menuju pada model korporatokrasi, tidak terkecuali di indonesia sendiri. Busyro Muqoddas (wakil ketua KPK) pernah menyatakan bahwa konsep ketatanegaraan kita sedang bergeser ke format baru, yaitu korporatokrasi. Beliau menyatakan, "Sekarang pelan-pelan bergerak dari demokrasi ke negara yang menuju suatu format baru, walaupun formatnya tidak ada penegasan, tetapi arahnya ke korporatokrasi" (kumparan.com 01/08/2017).

Korporatokrasi dalam terjemahan Wikipedia.org adalah sebuah istilah yang mengacu pada bentuk pemerintahan dimana kewenangan telah didominasi atau beralih dari negara kepada perusahaan-perusahaan besar sehingga petinggi pemerintah dipimpin secara sistem afiliasi korporasi (perusahaan). Dalam sistem ini, pengusaha secara praktis menjadi penyumbang utama yang “menghidupi” para politikus, pejabat-pejabat negara, dan kepala-kepala instansi negara. Sistem seperti itu, tentu, memiliki konsekuensi praktis pula. Di sana ada potensi negatif yang bisa muncul, yakni lahirnya kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan perundangan yang hanya menguntungkan para konglomerat, menindas golongan ekonomi lemah.

Oleh Syafarudin dalam rilis.id menyatakan bahwa rezim korporatokrasi pertama kali dikenalkan oleh John Parkins (2006) dalam bukunya yang berjudul “Confession of an Economic Hit man”. Perspektif ini belakangan begitu kuat diyakini Prof. Amien Rais untuk melihat dan menjelaskan sosok pemimpin di Nusantara yang banyak dikendalikan kekuatan gelap kapitalisme global yang sebenarnya mirip pengulangan sejarah kehadiran VOC Belanda. 
Bahaya korporatokrasi hitam diteriakkan lantang mantan Ketua MPR ini dalam buku Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (PPSK Press, 2008). Keperkasaan cukong yang memelihara dan dipelihara oleh elite berkuasa di Nusantara, sebenarnya sudah diingatkan pula sejak lama oleh Prof. Mohtar Mas’oed. Dalam disertasinya di Ohio State University yang dibukukan (LP3ES, 1989) berjudul Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, Mas’oed menyebutnya sebagai bagian  dari bentuk State-Corporatism.

Pasca pileg dan pilpres 2019 yang lalu, laju indonesia menjadi corporatocracy state terbuka lebar. Majalah tempo (5/10/2019) pernah menulis artikel dengan judul pengusaha kuasai parlemen. Dalam artikel tersebut, hasil penelusuran lembaga pemerhati isu sumber daya alam Yayasan Auriga Nusantara dan Tempo menemukan 262 atau 45,5% dari 575 anggota DPR terafiliasi dengan perusahaan. Nama mereka tercatat pada 1.016 perseroan terbatas yang bergerak di berbagai sektor. Syahrul Fitra selaku Direktur Komunikasi Yayasan Auriga Nusantara menyatakan kekhawatirannya terkait hasil temuan ini. Syahrul khawatir posisi anggota DPR tersebut akan menimbulkan konflik kepentingan saat dewan membahas rancangan undang-undang yang menyinggung bisnis mereka. 

Dampaknya produk legislasi hanya akan menguntungkan investasi mereka.
Sebelum hasil pileg dan pilpres 2019, kita sudah mengetahui beberapa produk undang-undang yang pro dengan kepentingan para kapitalis. Hasil legislasi para “wakil rakyat” tersebut misalnya UU Pertanahan, UU Mineral dan Batubara, UU Penanaman Modal asing (PMA), UU Sumber Daya Air (SDA) dan lain sebagainya. 

Muhammad Jamil dari Divisi Hukum dan Advokasi Jaringan Advokasi Tambang (jatam) menyatakan bahwa pemerintah melalui UU Minerba telah membuka ruang rente baru dalam bentuk surat izin penambangan batuan (SIPB). Zensi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional WALHI, terkait UU SDA menyatakan bahwa ada upaya pengalihan sumber daya air dari negara ke korporasi. Dari pernyataan tersebut kita bisa mengetahui siapa yang paling diuntungkan, tentu bukan rakyat jelata (mediaindonesia.com 16/10/2019).

Terbaru, semisal yang menjadi polemik dan sumir sangat menguntungkan korporat melalui tangan-tangan legislatif tentu adalah kemudahan berinvestasi tanpa harus mendapatkan AMDAL terlebih dahulu. Padahal keselamatan ekosistem lingkungan adalah masa depan yang harus kita wujudkan bagi anak cucu kita. Sekali lagi inilah bahaya dari corporatism state yang lebih nyata dari pada radicalism yang belum tuntas bahkan dari segi epistimologisnya.

Bagaiamanakah akhir dari recehan radikalisme? Patutlah para pengasong dunia yang menjual kehormatan dan kemuliaannya sebagai hamba Alloh memperhatikan dan merenungi salah satu firmanNya yaitu “Mereka hendak memadamkan cahaya (Agama) Alloh dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka., dan Alloh tetap menyempurnakan cahayaNya meskipun orang-orang kafir benci (TQS As Shaff (61): 8). 

Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice

Sumber artikel: FP Muslimah News. Id
https://www.facebook.com/812692572241893/posts/1395300913981053/?substory_index=0

Posting Komentar

0 Komentar